Pdt. Robert R. Siahaan
Banyak orang Kristen yang beranggapan, bahwa penyembahan (worship)
sebaiknya dilakukan di gedung Gereja dan dalam acara-acara ibadah Gereja
dengan iringan musik yang lengkap bersama pemimpin pujian (worship
leader) yang “berpengalaman.” Alunan musik yang “dahsyat” atau bagus
dianggap dapat membawa mereka pada perasaan penuh kekaguman akan
kehadiran Allah. Namun, apakah penghayatan pada kehadiran Allah dengan
segala atribut-Nya bergantung pada peranan musik dan kepiawaian pemimpin
pujian dalam merangkai kata-kata dan merefleksikan ayat-ayat Firman
Tuhan? Dalam ibadah-ibadah penyembahan yang dilakukan oleh gereja-gereja
tertentu , pun kadang-kadang terlihat bahwa penyembahan begitu
bergantung pada keindahan musik dan peran pemimpin pujian. Pemimpin
pujian terlihat seperti mempermainkan emosi jemaat dan mengendalikan
acara penyembahan sedemikian rupa. Ditengah suasana bernyanyi,
tiba-tiba saja ia berdoa dan tiba-tiba menyanyi lagi tanpa ada kata-kata
Amin atau aba-aba bahwa doa telah berhenti. Seolah-olah ia adalah
protokol yang memiliki hak untuk menentukan kapan berdoa kepada Allah
dan kapan berhenti berdoa.
Penyembahan sejati tidak dibatasi oleh ruang-ruang ibadah, dengan
suasana kondusif untuk memuji-muji Tuhan, yang seringkali, tanpa
disadari, justru dijadikan ajang pemuas perasaan dan menjadi ruang
pelampiasan emosi, bukan lagi untuk memuaskan hati Allah. Dengan
demikian, tanpa disadari, banyak orang Kristen telah terjebak pada
konsep dan cara-cara menyembah Tuhan. Mungkin mereka merasa bahwa mereka
sedang menyembah Tuhan, namun kehilangan inti dari penyembahan itu
sendiri.
Dalam Injil Yohanes 4:15-26, Tuhan Yesus bertemu dengan seorang
perempuan Samaria. Mereka terlibat dalam pembicaraan mengenai
kebiasaan dalam meyembah Allah. Pada waktu itu ada perbedaan dan
pertentangan keyakinan orang Samaria dan Yahudi mengenai berbagai hal,
termasuk mengenai tempat beribadah yang otentik. Perempuan itu berkata,
bagi orang Samaria, tempat beribadah yang benar adalah di Samaria.
Sementara orang Yahudi beranggapan bahwa Yerusalemlah tempat kehadiran
Allah dan tempat ibadah yang benar. Kemudian Tuhan Yesus menjelaskan,
bahwa pertentangan itu akan berakhir, dan perbedaan keyakinan itu pun
akan berakhir dengan kehadiran-Nya. Yesus berkata: “Tetapi saatnya akan
datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan
menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki
penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah
Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:23-24).
Penyembahan yang palsu adalah penyembahan yang memilih-milih dan
memutlakkan cara-cara tertentu dan tempat-tempat tertentu untuk
beribadah. Penyembahan yang benar tidak bergantung pada cara-cara
bagaimana penyembahan itu dilakukan dan tidak bergantung pada bagaimana
ekspresi wajah dan gerak tubuh orang yang melakukan penyembahan
tersebut. Dalam ayat di atas Yesus menegaskan bahwa penyembahan yang
benar tidak bergantung pada tempat dimana penyembahan itu dilakukan,
tidak ada suatu tempat paling kudus dan paling penting di mana Allah
berdiam disana, sehingga semua orang yang ingin menyembah Allah harus
datang ke tempat tersebut. Allah yang maha hadir dengan totalitas
keberadaan-Nya hadir di segala tempat dan berkuasa, serta berdaulat
dimana pun juga Ia berada (Yesaya 54:5).
Penyembahan Yang Benar
Penyembahan
yang benar adalah pertemuan antara manusia dan Allah di mana saja.
Barangsiapa ingin mencari Allah dan menyembah Allah dalam roh dan
kebenaran, ia akan menemui-Nya di mana saja. Menyembah dalam ‘roh dan
kebenaran’ tidak dapat dipisahkan dari status dan keberadaan seseorang
yang telah menjadi anak Allah dan telah menerima karunia Roh Kudus
(Yohanes 1:12, Galatia 4:6). Menyembah Allah dalam roh dan kebenaran
juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang Kristen yang selalu
hidup dalam kebenaran, dan selalu mau menyembah Tuhan dalam seluruh
aspek hidupnya. Sebab, tidak mungkin seseorang dapat berkata bahwa ia
menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, tetapi kenyataan dalam hidupnya
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Dengan demikian makna
penyembahan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas beribadah di
ruang-ruang gereja atau dalam kebaktian-kebaktian, tetapi memasuki
seluruh lapisan kehidupan sehari-hari. Hal ini selaras dengan pernyataan
rasul Paulus: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai
persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1). Implikasi dari ayat ini
adalah, bahwa setiap perbuatan harus dilakukan dengan motivasi yang
benar, tulus, murni sebagai persembahan hidup untuk kemuliaan Allah (1
Korintus 10:31). Dengan demikian setiap pikiran, setiap kata-kata dan
setiap tindakan harus dilakukan dalam kesadaran penuh dan dalam
kebenaran, jauh dari keinginan-keinginan untuk memuaskan dan memuliakan
diri sendiri, tetapi untuk kemuliaan Allah.
Mempersembahkan tubuh juga berarti mempersembahkan seluruh kekuatan
fisik, jiwa yang sehat, dan akal budi yang baik untuk dapat melakukan
hal-hal yang terbaik melalui segala keberadaan kita. Mempersembahkan
dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan,
sama artinya seperti waktu kita mempersembahkan “uang kita” kepada
Tuhan, kita tidak berhak memintanya kembali. Inti dari persembahan
adalah mengembalikan apa yang merupakan milik Allah, seluruh milik kita
dan hidup kita adalah milik Tuhan.
Suatu kali Tuhan Yesus memuji jawaban seorang ahli Taurat: “Memang
mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan
dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri
sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan
korban sembelihan.” (Markus 12:33). Setiap tindakan dan perbuatan baik,
dan setiap pelayanan yang kita lakukan haruslah merupakan tindakan
ucapan syukur atas kebaikan dan kasih Allah dalam hidup kita, dan
merupakan refleksi kasih kita kepada Allah. Jawaban ahli Taurat ini
menunjukkan penegasan bahwa motivasi dari semua aktivitas-aktivitas
ibadah dan pemberian persembahan-persembahan harus didasari oleh
motivasi mengasihi Allah dan sesama. Sebab sangatlah mungkin orang-orang
Kristen pergi beribadah dengan sangat giat dan dengan sangat
bersemangat memuji-muji Tuhan dalam ibadah-ibadah penyembahan, namun
gagal mempraktekkan kasih terhadap orang-orang terdekat disekitarnya.
Setiap
perbuatan baik adalah aktivitas penyembahan kepada Allah: “Demikianlah
hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat
perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius
5:16). Penyembahan yang benar adalah persembahan hidup yang benar-benar
dapat menjadi garam dan terang yang sungguh-sungguh memberkati kehidupan
orang disekitar kita dan bagi banyak orang lainnya. Penyembahan yang
sejati tidak boleh dibatasi dan dipersempit hanya dilakukan di
ruang-ruang ibadah. Ketika orang Kristen menyembah Allah dalam ruang
ibadah pun, ia harus harus benar-benar menyadari keberadaan siapa yang
harus menjadi fokus dalam ibadah tersebut. Hati siapa yang harus
dipuaskan dalam penyembahan tersebut. Tentu pribadi Allah dan kepuasan
hati Allah yang harus menjadi fokus dari setiap penyembahan, dan
penyembahan yang benar akan memberi dampak kepuasan dan kebahagiaan
sejati pada orang yang menyembah Allah dengan benar. Hidup penyembah
yang benar merefleksikan Kristus dalam kehidupannya. Soli Deo Gloria!
http://reformata.com/news/view/6206/penyembahan-yang-sejati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar