Senin, 16 Januari 2012

Penyembahan Yang Sejati

Pdt. Robert R. Siahaan
Banyak orang  Kristen yang beranggapan, bahwa penyembahan (worship) sebaiknya dilakukan di gedung Gereja dan dalam acara-acara ibadah Gereja dengan iringan musik yang lengkap bersama pemimpin pujian (worship leader) yang “berpengalaman.” Alunan musik yang “dahsyat” atau bagus dianggap dapat membawa mereka pada perasaan penuh kekaguman akan kehadiran Allah.  Namun, apakah penghayatan pada kehadiran Allah dengan segala atribut-Nya bergantung pada peranan musik dan kepiawaian pemimpin pujian dalam merangkai kata-kata dan merefleksikan ayat-ayat Firman Tuhan? Dalam ibadah-ibadah penyembahan yang dilakukan oleh gereja-gereja tertentu , pun kadang-kadang  terlihat bahwa penyembahan begitu bergantung pada keindahan musik dan peran pemimpin pujian. Pemimpin pujian terlihat seperti mempermainkan emosi jemaat dan mengendalikan acara penyembahan  sedemikian rupa.  Ditengah suasana bernyanyi, tiba-tiba saja ia berdoa dan tiba-tiba menyanyi lagi tanpa ada kata-kata Amin atau aba-aba bahwa doa telah berhenti. Seolah-olah ia adalah protokol yang memiliki hak untuk menentukan kapan berdoa kepada Allah dan kapan berhenti berdoa.
Penyembahan sejati tidak dibatasi oleh ruang-ruang ibadah, dengan suasana kondusif untuk memuji-muji Tuhan, yang seringkali, tanpa disadari, justru dijadikan ajang pemuas perasaan dan menjadi ruang pelampiasan emosi, bukan lagi untuk memuaskan hati Allah. Dengan demikian, tanpa disadari, banyak orang Kristen telah terjebak pada konsep dan cara-cara menyembah Tuhan. Mungkin mereka merasa bahwa mereka sedang menyembah Tuhan, namun kehilangan inti dari penyembahan itu sendiri.
Dalam Injil Yohanes 4:15-26, Tuhan Yesus bertemu dengan seorang perempuan Samaria.   Mereka terlibat dalam pembicaraan mengenai kebiasaan dalam meyembah Allah. Pada waktu itu ada perbedaan dan pertentangan keyakinan orang Samaria dan Yahudi mengenai berbagai hal, termasuk mengenai tempat beribadah yang otentik. Perempuan itu berkata, bagi orang Samaria, tempat beribadah yang benar adalah di Samaria. Sementara orang Yahudi beranggapan bahwa Yerusalemlah  tempat kehadiran Allah dan tempat ibadah yang benar. Kemudian Tuhan Yesus menjelaskan, bahwa pertentangan itu akan berakhir, dan perbedaan keyakinan itu pun akan berakhir dengan kehadiran-Nya.  Yesus berkata: “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.  Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:23-24).
Penyembahan yang palsu adalah penyembahan yang memilih-milih dan memutlakkan cara-cara tertentu dan tempat-tempat tertentu untuk beribadah. Penyembahan yang benar tidak bergantung pada cara-cara bagaimana penyembahan itu dilakukan dan tidak bergantung pada bagaimana ekspresi wajah dan gerak tubuh orang yang melakukan penyembahan tersebut. Dalam ayat di atas Yesus menegaskan bahwa penyembahan yang benar tidak bergantung pada tempat dimana penyembahan itu dilakukan, tidak ada suatu tempat paling kudus dan paling penting di mana Allah berdiam disana, sehingga semua orang yang ingin menyembah Allah harus datang ke tempat tersebut. Allah yang maha hadir dengan totalitas keberadaan-Nya hadir di segala tempat dan berkuasa, serta berdaulat dimana pun juga Ia berada (Yesaya 54:5).
Penyembahan Yang Benar
Penyembahan yang benar adalah pertemuan antara manusia dan Allah di mana saja.  Barangsiapa ingin mencari Allah dan menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, ia akan menemui-Nya di mana saja. Menyembah dalam ‘roh dan kebenaran’ tidak dapat dipisahkan dari status dan keberadaan seseorang yang telah menjadi anak Allah dan telah menerima karunia Roh Kudus (Yohanes 1:12, Galatia 4:6). Menyembah Allah dalam  roh dan kebenaran juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang Kristen yang selalu hidup dalam kebenaran, dan selalu mau menyembah Tuhan dalam seluruh aspek hidupnya. Sebab, tidak mungkin seseorang dapat berkata bahwa ia menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, tetapi kenyataan dalam hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Dengan demikian makna penyembahan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas beribadah di ruang-ruang gereja atau dalam kebaktian-kebaktian, tetapi memasuki seluruh lapisan kehidupan sehari-hari. Hal ini selaras dengan pernyataan rasul Paulus: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Roma 12:1). Implikasi dari ayat ini adalah, bahwa setiap perbuatan harus dilakukan dengan motivasi yang benar, tulus, murni sebagai persembahan hidup untuk kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31). Dengan demikian setiap pikiran, setiap kata-kata dan setiap tindakan harus dilakukan dalam kesadaran penuh dan dalam kebenaran, jauh dari keinginan-keinginan untuk memuaskan dan memuliakan diri sendiri, tetapi untuk kemuliaan Allah.
Mempersembahkan tubuh juga berarti mempersembahkan seluruh kekuatan fisik, jiwa yang sehat, dan akal budi yang baik untuk dapat melakukan hal-hal yang terbaik melalui segala keberadaan kita. Mempersembahkan dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap kekuatan, sama artinya seperti waktu kita mempersembahkan “uang kita” kepada Tuhan, kita tidak berhak memintanya kembali. Inti dari persembahan adalah mengembalikan apa yang merupakan milik Allah, seluruh milik kita dan hidup kita adalah milik Tuhan.
Suatu kali Tuhan Yesus memuji jawaban seorang ahli Taurat: “Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” (Markus 12:33). Setiap tindakan dan perbuatan baik, dan setiap pelayanan yang kita lakukan haruslah merupakan tindakan ucapan syukur atas kebaikan dan kasih Allah dalam hidup kita, dan merupakan refleksi kasih kita kepada Allah. Jawaban ahli Taurat ini menunjukkan penegasan bahwa motivasi dari semua aktivitas-aktivitas ibadah dan pemberian persembahan-persembahan harus didasari oleh motivasi mengasihi Allah dan sesama. Sebab sangatlah mungkin orang-orang Kristen pergi beribadah dengan sangat giat dan dengan sangat bersemangat memuji-muji Tuhan dalam ibadah-ibadah penyembahan, namun gagal mempraktekkan kasih terhadap orang-orang terdekat disekitarnya.
Setiap perbuatan baik adalah aktivitas penyembahan kepada Allah: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:16). Penyembahan yang benar adalah persembahan hidup yang benar-benar dapat menjadi garam dan terang yang sungguh-sungguh memberkati kehidupan orang disekitar kita dan bagi banyak orang lainnya. Penyembahan yang sejati tidak boleh dibatasi dan dipersempit hanya dilakukan di ruang-ruang ibadah. Ketika orang Kristen menyembah Allah dalam ruang ibadah pun, ia harus harus benar-benar menyadari keberadaan siapa yang harus menjadi fokus dalam ibadah tersebut.   Hati siapa yang harus dipuaskan dalam penyembahan tersebut.  Tentu pribadi Allah dan kepuasan hati Allah yang harus menjadi fokus dari setiap penyembahan, dan penyembahan yang benar akan memberi dampak kepuasan dan kebahagiaan sejati pada orang yang menyembah Allah dengan benar. Hidup penyembah yang benar merefleksikan Kristus dalam kehidupannya. Soli Deo Gloria!

http://reformata.com/news/view/6206/penyembahan-yang-sejati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar