Pdt. Bigman Sirait
JEMAAT Smirna adalah jemaat miskin, tetapi dalam Wahyu 2:9 dikatakan
bahwa Smirna adalah jemaat kaya. “Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu –
namun engkau kaya...“ Itu dikatakan dengan kalimat yang jelas, tegas
dan lugas. Jemaat Smirna adalah jemaat yang miskin harta, itu fakta.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka miskin? Padahal Smirna
bukanlah kota yang miskin, ekonomi penduduknya cukup lumayan, tapi itu
tidak berlaku pada Jemaat Tuhan di sana.
Integritas Si Miskin
Orang
Kristen Smirna adalah Kristen yang memiliki prinsip. Ketika mereka
diminta menyembah Kaisar Tiberius, bentuk penghormatan rakyat Smirna
pada Roma, sebagai seorang Kristen mereka menolak. Penolakan jemaat
Smirna mengakibatkan mereka dicap sebagai pengganggu pengabdian Smirna
kepada Roma. Dianggap sebagai gerakan bawah tanah yang patut diisolasi
dalam pergaulan dan dipersulit dalam kerja dan usaha. Dalam berdagang
misalnya, ketika jemaat Smirna ingin membeli sesuatu, tidak seorang pun
mau menjualnya. Sebaliknya, ketika hendak menjual barang, tidak ada
satupun orang yang mau membeli. Ini bermuara pada sulitnya perekonomian
jemaat Smirna, membuat beban mereka semakin berat, dan sangat pahit.
Menariknya, kepahitan itu tidak lantas membuat mereka berhenti. Mereka
tetap mencintai Tuhan, dan mengabdi pada-Nya. Itu sebab Tuhan berkata,
“Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu – namun engkau kaya...“
Smirna,
miskin secara jasmani, miskin harta, tetapi tetap punya gairah hidup
yang luar biasa. Smirna kaya secara rohani. Orang Smirna muncul sebagai
jemaat yang punya kualifikasi, miskin, tapi terhormat. Miskin tidak
membuat mereka menjual diri, mengobral harga diri, apalagi bekompromi
demi kekayaan dan sesuap nasi, rela pergi ke kuil dan menyembah patung
Kaisar. Jemaat Smirna tidak rela menundukkan diri pada patung manusia.
Mereka tahu, Tuhan adalah Tuhan yang hidup yang ada dalam surga,
kepada-Nya-lah mereka berharap.
Smirna telah menunjukkan kualifikasi
yang sangat hebat, berbeda dengan jaman kita sekarang ini. Terlalu
sedikit orang mau miskin, sekalipun untuk sebuah kehormatan kerohanian.
Banyak orang justru rela melacurkan diri berkorupsi, menghalalkan
segala cara untuk mencari setatus pengakuan, dalam kehidupan sosial.
Pedih, sedih, tapi itulah kenyataannya. Anehnya, para Pendeta pun
merasa kurang Percaya diri (PD), kalau tidak terlalu kaya. Pendeta
sudah kehilangan gairah, sampai tidak tahu arah dan tujuan.
Miskin Tapi Kaya
Miskin
boleh saja, tapi kaya rohani, kaya dalam karya dan pengabdian pada
Tuhan, yang bahkan jemaat Smirna rela mati untuk mempertahankannya.
Smirna kaya dalam karya. Secara aktif Smirna melakukan iman yang mereka
pahami, memilih untuk mati, dihukum, daripada tunduk menyembah Kaisar.
Padahal, jika Smirna rela sujud, kehidupan yang layak dan ekonomi yang
mapan akan mudah didapat. Smirna tidak mau terhina karena hal itu.
Kaya
tidak salah, bukan dosa, yang salah dan dosa adalah kaya dengan
melanggar apa yang Tuhan tetapkan. Kaya, tapi mengangkangi dan
membelakangi Firman Tuhan. Kaya, tapi menghalakan segala cara. Karena
itu, kepada orang yang secara ekonomi jatuh dan miskin, asal jangan anda
miskin karena kemalasan dan kebodohan, yang tidak pernah disesali.
Sudah malas, bodoh, malah dinikmati. Tetapi jika anda miskin karena
kejujuran,karena kebenaran, tetapi merasa seperti sulit berkembang,
tertimpa, tertindih dalam pergumulan dan persoalan kehidupan.
Sepertinya pintu-pintu rejeki tertutup, kesempatan hilang, jangan
takut! Berkarya terus! Anda bukan yang pertama, orang Smirna sampai
mati karena itu. Kita mungkin cukup berkeringat saja bukan? Kita tidak
mati gara-gara itu to..?
Smirna, sebuah jemaat dengan keyakinan yang
begitu solid, kuat dan hebat. Pantas untuk dikenang dalam sepanjang
sejarah gereja. Orang Smirna memang miskin, tapi terhormat.
Kaya Tapi Miskin
Kondisi
jemaat di Smirna berbanding terbalik dengan jemaat di Laodikia. Dalam
wahyu 3:17, Laodikia disebutkan sebagai jemaat yang selalu bangga dengan
kehidupannya, kota yang hebat, industri wol hitamnya yang terkenal, dan
ilmu kedokterannya yang sudah maju. Ya.. kota kaya yang diidamkan
semua orang. Jemaat di Laodikia notabene adalah jemaat kaya, tapi
khilaf untuk peka. Kendati menjalankan kalender-kalender gereja, natal,
paskah dan sebagainya, kemungkinan besar menikmatinya dengan cara yang
hebat, tetapi sayang, mereka lupa. Mereka melakukan itu karena kekuatan
harta benda yang dimiliki, sehingga rasa kebergantungan kepada Tuhan
sudah tidak ada.
Kapital dan modal yang cukup untuk
menumbuhkembangkan sasaran dan harapan, dalam pesta pelayanan Kristen
yang dikerjakan, membuat Laodikia tidak lagi mawas diri, cenderung
menjadi sombong. Perangkap duniawi membuat mereka tidak lagi memiliki
kepekaan rohani. Berharap dapat menyenangkan Tuhan, tapi justru
menjengkelkan bagi Tuhan. Tak heran jika Laodikia disebut orang yang
suam-suam kuku. Beribadah, tapi bergantung pada harta benda. Hanya
menyenangkan diri atau organisasi, dalam kemampuan menyelenggarakan
pesta, konser atau apapun namanya yang dirohani-rohanikan. Laodikia kaya
dalam harta, tetapi miskin dalam karya. Kasat mata orang bisa melihat
karya hebat, dari pesta rohani satu ke pesta rohani lain. Tetapi karya
itu dimata Allah bukan apa-apa.
Smirna berbeda dengan Laodikia.
Smirna miskin tapi kaya, sebaliknya Laodikia kaya tapi miskin. Laodikia
miskin dalam pengabdian, karena memang tidak sedang mengabdi kepada
Tuhan, hanya mendemonstrasikan kemampuan keberagamaan mereka. Tidak
sedang mengabdi, karena hanya bergantung pada harta dan kekuatan diri.
Kaya Harta, Kurang Rasa.
Laodikia
adalah gambaran gereja masa kini, yang tumpang-tidih dalam projectnya,
tetapi kurang dalam mengasihi. Berteriak nama Tuhan, pesta rohani
digelar hebat, tapi sebenarnya hanya kepuasan diri dan kebanggaan yang
ingin dicapai. Supaya lebih dikenal sebagai orang yang rohani, penuh
cinta kasih, dan enteng menghamburkan rupiah yang dimiliki.
Miskin,
tapi terhormat! Miskin bukan aib, selama bukan karena malas. Miskin
jangan membuat anda terhina. Yang hina adalah penipuan dan
ketidakjujuran, sekalipun anda kaya dan mendapat kedudukan sosial
politik karenanya. Miskin, tetapi jangan sampai miskin rasa, hingga
tidak mampu merasai apa yang dirasa orang di sekitar kita. Apalagi
yang dirasakan Tuhan dalam batin-Nya, dan yang diinginkan-Nya dari kita.
Miskin, jangan sampai mati rasa, hingga tidak lagi punya rasa malu,
membuat orang menjadi terlena dalam kesesatan dan kekacauan yang tak
terhenti. Berbahagia kalau anda kaya, tapi awas, kaya bukan apa-apa,
kalau tidak kaya rohani, kaya karya, dan kaya pengalaman pengabdian pada
Tuhan.
Dunia sekarang kaya dalam harta, tapi miskin dalam karya.
Bangsa kita ini terpuruk, miskin harta, miskin masa depan, miskin pula
kejujuran dan kebenaran. Semua diputarbalikan hanya untuk
memperjuangkan “aji mumpung”, mumpung masih menjabat!. Semua orang
berambisi mencipta sensasi, menjamin hari -hari, di sini dan nanti,
dengan menipu, mengakal-akali dan tidak jujur. Orang tidak malu untuk
itu. Orang justru malu ketika berbicara keadilan dan kebenaran. Banyak
orang tidak malu menyuarakan suara kebencian, suara ketidakjujuran, atau
suara kemunafikan. Kita boleh miskin, tapi jangan hina diri!
http://reformata.com/news/view/6207/miskin-harta-kaya-rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar