Oleh: Yuzo Adhinarta
Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan
menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang
perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil
dari padanya." (Lukas 10:41-42)
Kerap orang Kristen bertanya-tanya: Manakah yang lebih penting:
melayani atau mendengar Firman Tuhan? Manakah yang lebih penting:
keluarga, kuliah, pelayanan gereja, atau karir? Ada dua asumsi
bermasalah di balik pertanyaan-pertanyaan di atas yang kerap mengacaukan
penafsiran kita terhadap perikop ini.
Asumsi Bermasalah I: Pertumbuhan Rohani Menyebabkan Perbedaan Kebutuhan Rohani
Asumsi
bermasalah pertama adalah asumsi yang mengatakan bahwa semakin rohani
seseorang maka semakin berbeda pula kebutuhan rohaninya. Maria masih
butuh mendengarkan khotbah, sementara Marta, yang merasa diri lebih advanced,
berpikir bahwa khotbah tidak lagi relevan dan yang dia butuhkan adalah
justru mengaktualisasikan dirinya sebagai “kakak rohani” bagi Maria. Itu
sebabnya Marta memprotes Tuhan Yesus dan bertanya mengapa Maria tidak
membantu dirinya, bukankah melayani lebih penting daripada sekedar
mendengar?
Apakah benar melayani akan jadi lebih penting daripada
mendengar Firman Tuhan jika seseorang semakin bertumbuh dalam
kerohaniannya? Jelas sekali bahwa tak seorangpun di setiap tahap
pertumbuhan kerohaniannya yang tidak membutuhkan Firman Tuhan. Membagi
Firman Tuhan ke dalam beragam jenis menurut level pertumbuhan rohani
tidak bisa dilakukan sembarangan. Rasul Paulus pernah mengindikasikan
bahwa ada orang Kristen “bayi” hanya bisa menerima makanan lunak dan ada
pula yang siap menerima makanan keras. Namun tidak pernah Paulus
mengatakan bahwa ada orang Kristen yang tidak butuh makanan dan hanya
butuh olah raga. Semua orang butuh makanan rohani, yakni Firman Tuhan
(Mat. 4:4).
Keras atau tidaknya makanan rohani, dalam atau
sederhananya sebuah khotbah, tidak seharusnya mendefinisikan kebutuhan
kerohanian seseorang. Allah memberikan kepada kita Alkitab dengan
bagian-bagian yang sangat mudah dimengerti dan bagian-bagian lain yang
sampai dua ribu tahun masih diperdebatkan. Bukan berarti bahwa semakin
seseorang bertumbuh semakin dia tidak membutuhkan bagian Alkitab yang
mudah dimengerti. Agustinus mengatakan bahwa bagian Alkitab yang sulit
dimengerti adalah untuk melatih otot rohani kita supaya bertumbuh. Namun
semua orang Kristen selalu membutuhkan Firman Tuhan, terlepas dari
keras atau tidaknya. Makanan di piring kita tidak semuanya keras, bukan?
Sampah memang harus dihindari, namun makanan sebetapapun lunaknya tetap
adalah makanan dan baik untuk tubuh. Susu murni bukan hanya baik untuk
bayi, namun juga untuk orang dewasa sekalipun. Satu hal lain yang
penting, kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa dalam setiap
pemberitaan Firman Tuhan, Allahlah yang sedang berbicara, terlepas dari
kelemahan dan ketidaksempurnaan pengkhotbah sebagai alat di tangan
Allah. Tuhanlah yang menghadirkan setiap orang dalam sebuah kebaktian
termasuk diri sang pengkhotbah; Dialah yang berkehendak untuk berbicara
kepada setiap orang yang dihadirkanNya di sana melalui pengkhotbah yang
sudah dipersiapkanNya.
Jawaban Tuhan Yesus dalam hal ini jelas,
yaitu bahwa Maria “telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan
diambil dari padanya.” Maria memilih hal yang penting, yakni yang
terutama dikehendaki Tuhan Yesus SAAT Dia mengunjungi rumah mereka.
Menyampaikan Firman adalah tujuan utama Dia datang. Respon yang paling
pantas (“hanya satu saja yang perlu”) adalah apa yang dilakukan Maria
dan bukan yang dilakukan Marta. Apakah ini berarti bahwa mendengar
Firman Tuhan lebih penting daripada aktif melayani? Sama sekali tidak!
Tuhan Yesus tidak pernah melarang ataupun mengecam Marta karena
melakukan apa yang dia lakukan. Tuhan Yesus tidak pernah melarang
seseorang untuk melayani, namun jika pelayanan pada akhirnya menjauhkan
seseorang dari persekutuan dengan Tuhan, dengan FirmanNya, maka ini
menjadi tidak baik. Sesungguhnya orang sedemikian tidak sedang “memilih
hal yang terbaik yang tidak akan diambil dari padanya” melainkan
“menyusahkan diri dengan banyak perkara” yang tidak pada waktunya dan
tempatnya. “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah
langit ada waktunya” (Pkh. 3:1).
Asumsi Bermasalah II: Kelompok Melayani vs. Kelompok Dilayani
Asumsi
bermasalah kedua adalah asumsi yang mengatakan bahwa tiap orang
mempunyai tugasnya sendiri-sendiri, yang satu bertugas untuk melayani
aktif dan yang lain melayani secara pasif, atau lebih halusnya, ada yang
melayani susah payah dan ada yang melayani kurang susah payah. Para
‘Marta’ melayani secara aktif dan para ‘Maria’ melayani secara pasif,
demikianlah Allah menetapkan tugas tiap individu. Lebih celaka kalau ada
orang Kristen yang mengatakan, "Hamba Tuhanlah yang harus melayani
karena dia dibayar untuk itu! Saya kan sudah memberikan persembahan
kolekte tiap minggu, saya sudah melayani, kan? Apa saya masih harus
melakukan ini dan itu lagi?" Kelompok yang satu bekerja, yang lain
memberi duit!
Pengelompokan yang direfleksikan oleh asumsi bermasalah kedua ini, kalau ditelusuri, sebenarnya berakar pada pandangan hidup (worldview) Yunani kuno yang membagi tingkatan hidup menjadi dua, berdasarkan aktivitas kerja manusia itu sendiri: hidup berpolitik (political life) dan hidup produktif (productive/active life). Orang Yunani di masa sebelum Sokrates menganggap bahwa kekekalan (imortalitas)
manusia bisa dicapai dengan cara bekerja dan bersumbangsih di arena
publik, yakni melalui aktif dalam politik, menjadi negarawan maupun
pahlawan masyarakat, yang dikenang "sepanjang masa" oleh
generasi-generasi berikutnya. Sementara itu, hidup produktif adalah
ragam hidup yang hanya berfokus kepada kebutuhan materi yang sebenarnya
tidak jauh berbeda dari hidup binatang (animal life), yakni bekerja hanya untuk menyambung nyawa, menjaga supaya perapian di dapur tetap menyala.
Sokrates,
sebagaimana dilaporkan oleh Plato dalam Phaedo, mendobrak pemikiran ini
dan berpendapat bahwa kekekalan sejati manusia hanya ada dalam jiwa
manusia, bukan dalam nama baik. Menurut Sokrates, manusia harus
membebaskan pikirannya (yang merupakan bagian penting dari jiwa) dari
jerat penjara tubuh dengan cara berfilsafat, yakni berkontemplasi
(bermeditasi). Bagi Sokrates ada dua macam hidup manusia: 'hidup
kontemplasi' (contemplative life) dan 'hidup produktif.'
Pengelompokan
semacam ini diteruskan dan dikembangkan sampai ke Agustinus, Aquinas,
dan gereja-gereja di abad Pertengahan dalam wujud munculnya biara-biara
yang besar di dunia. Kehidupan membiara (monastic life) adalah refleksi dari keutamaan 'hidup kontemplasi' jika dibandingkan dengan 'hidup produktif.'
Pada
abad Reformasi, Martin Luther, Calvin, dan para Reformator yang lain
melakukan evaluasi ulang dan reformasi terhadap "theologi
pekerjaan/panggilan hidup" (theology of vocation) yang
diwariskan dari abad-abad sebelumnya. (Bahkan Gereja Roma Katholik di
abad XX, sebagaimana dinyatakan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II,
akhirnya juga menerima pandangan Reformasi ini.) Para Reformator menolak
pengelompokan hidup a la Sokrates, dan kembali menekankan doktrin
penciptaan yang terkubur di abad-abad sebelumnya. Manusia diciptakan
menurut rupa dan gambar Allah (Kej. 1:26-28), itu sebabnya manusia harus
bekerja secara aktif sebagaimana Allah juga terus bekerja secara aktif
(Yoh. 5:17; 2Tes. 3:10-11; band. Kej. 2:15).
Pembedaan antara
hidup kontemplatif dan hidup produktif sendiri tidak ditolak. Yang
ditolak adalah pengutamaan hidup kontemplatif di atas hidup produktif.
“Yang penting” bukan lagi ditentukan oleh APA yang seseorang kerjakan,
apalagi oleh besarnya uang/kekayaan yang dimiliki atau dikorbankan
seseorang, tetapi oleh BAGAIMANA seseorang bekerja atau berkarya dalam
hidupnya. Bukan lagi oleh KUANTITAS keuntungan (entah materi atau
non-materi) yang didapat (termasuk juga “berapa jiwa yang sudah
dimenangkan”??), tetapi oleh KUALITAS hidup seseorang di hadapan Tuhan
seperti kesetiaan, ketaatan, dan kerelaan memikul salib. Pekabaran Injil
yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam kurun waktu kira-kira tiga tahun
didengar oleh lebih sedikit jiwa jika dibandingkan dengan pekabaran
Injil yang dilakukan oleh Billy Graham di abad XX dan XXI. Namun apakah
itu menunjukkan bahwa pelayanan Billy Graham lebih penting daripada
pelayanan Tuhan Yesus? Tidak, bukan?! Kuantitas penting, namun kualitas
lebih penting. Ini berarti, seorang pendeta dengan ribuan jemaat tidak
otomatis mempunyai kualitas hidup lebih mulia karena profesi
kependetaannya, ketimbang seorang tukang sapu, pegawai administrasi,
atau pedagang di Pasar Atum atau Mangga Dua.
Pandangan Reformasi terhadap Pekerjaan
Gerakan
Reformasi mulai menggaungkan kembali prinsip bahwa semua orang percaya
terpanggil untuk aktif melayani, semua orang percaya adalah hamba-hamba
Tuhan!, atau yang biasa dikenal dengan prinsip "the priesthood of all believers."
Tidak ada lagi pembagian kelompok antara yang melayani secara aktif dan
yang melayani secara pasif. Luther mengumandangkan prinsip hidup
Kristiani sebagai coram Deo (God’s presence), hidup senantiasa di hadirat Allah. Selaras dengan Luther, Calvin menegaskan prinsip negotium cum Deo (business with God),
segala sesuatu selalu berkaitan dengan Allah. Menurut Luther dan
Calvin, bekerja secara aktif (hidup produktif) bukanlah akhir dari
pekerjaan itu sendiri. Semua pekerjaan yang dilakukan manusia dalam
masing-masing “pos kehidupan” (life station) harus dilakukan
untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria). Pengelompokan hidup yang dibuat
oleh orang modern, yakni antara yang “rohani dan duniawi” juga tentu
tidak sejalan pemikiran Reformasi.
Pos-Pos Kehidupan Kita
Apa
yang dimaksud dengan “Pos kehidupan” di sini? Pos kehidupan adalah
setiap predikat yang dimiliki seseorang, misalnya: seseorang ayah
memiliki pos kehidupan keayahan terhadap anak-anaknya, seorang pegawai
memiliki pos kehidupan kepegawaian terhadap perusahaan, rekan sekerja,
dan bosnya. Tidak terkecuali pula predikat-predikat lain, seperti
ciptaan, Kristen, anak, adik/kakak, tetangga, tuan rumah, majikan,
pedagang, pelajar, kepala sekolah, ilmuwan, filsuf, hamba Tuhan,
majelis, ketua sinode, panitia, dllsbg. Seseorang tidak mustahil bisa
memiliki lima, sepuluh, atau bahkan predikat lebih daripada dua puluh
predikat dalam suatu waktu.
Predikat-predikat yang dimiliki seseorang ada beberapa macam:
(1) yang bersifat alamiah (natural) dan tidak berdasarkan pilihan sendiri (involuntary), seperti misalnya: predikat sebagai ciptaan, anak, kakak/adik, Kristen, dll.
(2) yang bersifat lazim (ordinary) dan berdasarkan pilihan sendiri (voluntary), misalnya: predikat sebagai ayah/ibu, istri/suami, tetangga, tuan rumah.
(3) yang bersifat unik berdasarkan panggilan hidup (vocative) dan
berdasar pilihan sendiri (voluntary), yakni tidak lain adalah pos
kehidupan menurut profesi yang dipilih dan ditekuni, misalnya: profesi
sebagai pegawai, pedagang, ilmuwan, filsuf, hamba Tuhan, dll.
(4) yang berdasarkan kebutuhan untuk periode waktu tertentu (occasional) dan atas pilihan sendiri (voluntary), misalnya: predikat sebagai presiden, menteri, panitia, pengurus, majelis, ketua yayasan, relawan korban bencana alam, dll.
Macam
pos kehidupan (2), (3), dan (4), karena bersifat sukarela (atas
keputusan sendiri), melibatkan pengambilan keputusan. Setiap orang
Kristen yang rindu memberikan yang terbaik kepada Tuhan dalam hidupnya
yang terbatas senantiasa membutuhkan pertimbangan yang bijaksana dan
kebergantungan mutlak kepada Tuhan. Setiap kita HARUS serius bergumul
dan menemukan pos-pos kehidupan yang mana, apapun jenisnya, yang
melaluinya kita bisa mendayagunakan secara maksimal semua talenta yang
Tuhan sudah percayakan. Pertanyaannya bukan lagi “Profesi, jabatan, atau
predikat apa yang bisa mendatangkan keuntungan buat saya?,” (atau bisa
juga "Pelayanan apa di gereja yang gampang dan tidak butuh pengorbanan
banyak yang bisa saya lakukan?") tetapi “Profesi, jabatan, atau predikat
apa yang saya bisa lakukan untuk memberi kemuliaan terbesar buat
Tuhan?”
Jika menurut Anda dengan diri Anda menjadi seorang Hamba
Tuhan atau misionaris bisa membawa kemuliaan yang maksimal buat Tuhan,
maka mungkin profesi tersebut adalah profesi terbaik bagi Anda. Jika
Anda merasa diberi talenta musik yang besar, mungkin Anda perlu
mempertimbangkan untuk menekuni bidang musik dan melayani Tuhan di idang
itu. Satu hal yang juga perlu diingat, jangan sampai kita memilih untuk
menekuni sebuah pos kehidupan sedemikian rupa sehingga mengorbankan pos
kehidupan yang lain yang lebih penting, misalnya dengan lebih
mementingkan pelayanan sebagai majelis atau kepanitiaan acara di gereja,
yang bersifat sementara (occasional) dengan mengorbankan pelayanan
kepada keluarga yang sebenarnya sudah menjadi komitmen seumur hidup.
Dalam
hal memilih pos kehidupan ini ada dua kecenderungan yang harus
dihindari: terlalu rajin dan terlalu malas, atau terlalu berani dan
terlalu takut. Ada semacam orang tertentu yang selalu ingin berbuat
banyak, terlibat dalam banyak program, proyek, dan kegiatan, baik di
dalam atau luar gereja. Sebaliknya, ada pula semacam orang yang lain
yang selalu ingin menghindar dari kegiatan atau aktivitas. Prinsip
Alkitab dalam hal ini sangat jelas: Barangsiapa diberi banyak dituntut
banyak, barangsiapa diberi sedikit dituntut sedikit (Luk. 12:48). Jangan
terlalu percaya diri, jangan pula terlalu rendah diri. Selama kemurnian
motivasi untuk memuliakan Tuhan dipertahankan, kecenderungan jenis
kedua lebih berbahaya daripada yang pertama.
Mari kita gunakan
kesempatan yang ada dengan bijaksana, dan mendayagunakan cita-rasa-karsa
dan talenta yang ada semaksimal mungkin untuk Tuhan, itu saja. Mari
kita semua aktif melayani, namun bukan aktif sembarangan, melainkan
aktif melayani pada tempatnya, sesuai dengan apa yang Tuhan sudah
tanamkan dan perlengkapi dalam diri kita. Mari kita buang mentalitas
"mencari aman dan nyaman sendiri" dalam hidup kita!
Menyimak
prinsip-prinsip yang dijabarkan di atas, tidak mengherankan jika bagi
Calvin dilema Marta dan Maria bukan terletak pada apa yang mereka
lakukan (hidup produktif atau kontemplatif) tetapi terletak pada
kepekaan masing-masing terhadap pos kehidupan/aktivitas tertentu yang
dikehendaki Tuhan pada waktu itu. Kualitas melayani Tuhan bukan diukur
dari apa yang terlihat (kesibukan, jumlah jabatan, prestasi, dll.),
tetapi dari etos kerja (kepekaan, kesetiaan, dan ketaatan kepada
kehendak Tuhan). Pendeta yang malas lebih tidak berharga di mata Tuhan
daripada angota tim perkunjungan yang setia melayani dengan kasih yang
murni. Apa yang dilakukan oleh Marta dan Maria pada saat itu bukanlah
hal-hal yang berdosa. Tapi Maria melakukan yang lebih baik daripada
Marta karena Maria melakukan sesuatu yang Tuhan kehendaki, pada waktu
dan tempat yang tepat. Asal sibuk atau sibuk untuk sesuatu tidak pada
waktu dan tempat yang tepat adalah mengenaskan. Menyedihkan! Memilih pos
kehidupan yang salah (dan menolak pos kehidupan yang benar) dan
mencurahkan semua upaya untuk menggarapnya adalah sama dengan melakukan
investasi besar untuk hal yang sia-sia. Bersusah-susah dahulu, tenggelam
kemudian. Sangat mengherankan kalau ada orang yang masih mau melakukan
hal demikian. Hanya ada dua kemungkinan: akal sehatnya hilang, alias
sakit, atau tidak punya akal sama sekali.
Sebagaimana dengan
individu-individu, gereja juga perlu memikirkan tentang panggilannya di
tengah-tengah masyarakat. Predikat apa yang harus gereja kerjakan di
muka bumi ini. Program macam apa yang harus gereja canangkan untuk
membawa banyak jiwa datang kepada Tuhan, mendidik jemaat supaya
bertumbuh subur imannya, dan mengutus jemaat untuk menjadi berkat buat
sekitarnya. Banyak gereja dewasa ini memfokuskan programnya kepada
pembangunan fisik, dalam rupa gedung dan fasilitas, baik itu mega-church
atau ruko-church. Bukan berarti gedung dan fasilitas itu adalah hal
yang jahat dan sama sekali tidak berguna. Namun yang harus ditanyakan
adalah apakah proyek pembangunan gedung tersebut adalah yang terutama
yang harus dikerjakan? Kalau memang merupakan yang terutama pada saat
ini, bersifat mendesak, ya kerjakan dengan setia! Namun jika pembangunan
gedung tidak dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat, atau bahkan
mengakibatkan diabaikannya pembangunan hidup jemaat, yakni tubuh Kristus
yang sesungguhnya, maka ini adalah investasi yang bodoh, boros, dan
tidak bertanggung jawab.
Biarlah setiap anak Tuhan dan
gereja-gereja Tuhan semakin bijaksana dalam menggunakan kekayaan,
talenta, dan sumber daya yang Tuhan sudah percayakan, dan semakin jeli
dalam membedakan mana yang terutama dan yang tidak, mana yang harus
dikerjakan terlebih dulu dan yang bisa dikerjakan kemudian.
Konklusi dan Refleksi
Kembali kepada pertanyaan-pertanyaan di awal artikel ini:
Manakah yang lebih penting: melayani atau mendengar Firman Tuhan?
Manakah yang lebih penting: keluarga, kuliah, pelayanan gereja, atau karir?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut ternyata kurang tepat. Tidak ada yang lebih penting, semua
penting dan harus dikerjakan dengan seimbang, pada waktu dan tempat yang
tepat! Seharusnya kita bertanya:
Apakah saya sudah menjadi pendengar DAN pelaku Firman Tuhan yang baik?
Apakah
saya sudah menggarap semua pos kehidupan yang Tuhan sudah percayakan
secara maksimal untuk kemuliaan Tuhan dan bertanggung jawab? Apakah
pelayanan gerejawi yang saya lakukan mengorbankan keluarga saya? Apakah
fokus saya kepada karir melalaikan tanggung jawab saya sebagai sesama
anak Tuhan yang melayani anggota tubuh Kristus yang lain di gereja?
Jangan-jangan selama ini saya terobsesi oleh ambisi, harta, jabatan,
prestasi, atau bahkan oleh perasaan rendah diri saya sendiri, dan
melalaikan pos kehidupan yang Tuhan tawarkan dan percayakan?
Alangkah
memalukan jika seseorang aktif melayani di gereja namun keluarganya
terbengkalai. Yang tidak kalah memalukan lagi adalah jika seseorang
sedemikian terobsesinya dengan karir hingga melalaikan tanggung jawab
pelayanan dalam tubuh Kristus.
Semua pos kehidupan harus digarap
dengan seimbang, realistis, bertanggung jawab, dan mendatangkan
kemuliaan bagi Tuhan; sesuai dengan waktu dan tempatnya. Kita tahu
melakukan ini tidak mudah. Namun janganlah kita lupa bahwa mengikut
Tuhan itu satu-satunya gaya hidup yang bernilai kekal (“yang tidak akan
diambil dari padanya”) dan yang membawa kebahagiaan sejati bagi setiap
orang yang sudah mengecap anugerah Tuhan. Marilah kita garap pos-pos
kehidupan yang Tuhan sudah percayakan kepada kita masing-masing. Dengan
takut dan gentar, dan hati yang bersandar kepadaNya, kita mohon hikmat
dan kekuatan untuk menjadi anak-anak Tuhan yang aktif melayani Tuhan dan
sesama di tengah-tengah keluarga, di sekolah, di gereja, dan di manapun
kita berada.
Biarlah kita tidak lagi hidup untuk diri sendiri,
namun hanya untuk kemuliaan Allah yang Mahatinggi. "Sebab tidak ada
seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak
ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup,
kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi
baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan" (Rm. 14:7-8). — Haleluya!
http://terangdunia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar