Pdt. Yakub B. Susabda
Kemajuan gereja seringkali membutakan orang terhadap realita yang
sesungguhnya. Sejak abad-abad Pencerahan/Enlightenment (abad 17-18)
manusia sudah menjadi begitu skeptik terhadap pernyataan gereja sebagai
satu-satunya institusi yang bisa menjelaskan tentang kebenaran Allah.
Wahyu Allah sebagai dasar otoritas Alkitab juga dipertanyakan. Bahkan
eksistensi Allah sendiri diragu-ragukan.
Tidak semua orang berani
mengekspresikan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam hati mereka.
Meskipun mereka masih berbakti di gedung-gedung gereja, jiwa mereka
gelisah oleh karena tingkah laku agama yang mereka lakukan tidak
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak heran jikalau banyak di
antara mereka yang menyadari bahwa Allah sebenarnya hanyalah simbol dari
kebutuhan spiritual manusia. Kehadiran dan campur tangan Allah hanyalah
"teologi" (logi atau ilmu tentang Allah) dan bukanlah suatu realita.
Dalam pengalaman praktis kehidupan sehari-hari manusia itu sendirilah
yang menentukan segala-galanya. Kegagalan oleh karena kesalahannya
sendiri, atau keberhasilan oleh karena jerih payahnya sendiri. F.
Nietzsche (1844-1900) mengatakan, "kalaupun Allah ada, Ia tidak dapat
mengubah apa-apa.". Seabad sebelumnya Thomas Paine menulis, "I do not
believe in the creed professed by the Jewish Church, by the Roman
Church, by the Greek Church, by the Turkish Church, by the Protestant
Church, nor by any church that I know of my own mind is my own church."
(Saya tidak percaya pada kredo yang dibuat gereja apapun juga. Pikiran
saya adalah standar satu-satunya).
Bagaimana dengan kita? Apa
yang sebenarnya sedang gereja lakukan saat ini? Apa artinya jikalau kita
mengatakan bahwa yang sedang kita perjuangkan adalah untuk
'menghidupkan kembali iman Kristiani?' Apakah kita sedang membela Allah?
Apakah kita sedang membela status Allah di mata manusia? Ataukah kita
sedang membela 'pengetahuan kita tentang Dia?' (formulasi doktrin yang
kita buat). Atau...kita sedang membela diri kita sendiri (harta rohani,
organisasi gereja, tradisi symbols, dsb). Sebagai umat Kristiani yang
'Injili,' kita berusaha keras untuk membuktikan kemurnian iman kita.
Sadarkah kita akan apa yang sebenarnya sedang kita perbuat?
Pembela-pembela Kehampaan
Sejarah
Gereja mencatat skandal yang menyedihkan di mana usaha pembelaan iman
justru menjadi bumerang yang melukai diri sendiri. Tahun 1799 Friedrich
Schleiermacher menulis sebuah buku yang berjudul "On Religion: Speeches
Addressed to Its Cultural Despisers". Tujuannya jelas untuk membela iman
Kristen, tetapi isinya justru merupakan benih-benih racun yang
menghancurkan kekristenan itu sendiri. Bagi Schleiermacher, tidak ada
perbedaan dasariah antara orang Kristen dan non-Kristen. Setiap individu
mempunyai 'sesuatu' yang memungkinkan dia mengenal dan bersekutu dengan
Allah. 'Sesuatu' itu ia sebut sebagai 'feeling of absolute dependency.'
Yaitu kesadaran 'intuitive' dari setiap manusia akan
'ketergantungannya' pada 'something beyond himself', yang disebut Allah.
Manusia yang sejati adalah manusia yang menghargai naturnya sebagai
"homo religiosus" tersebut. Dengan ide dari Schleiermacher ini, Nietzche
coba membuktikan bahwa 'Allah sudah mati.' Kalau Allah hanyalah
refleksi dari jiwa manusia, Allah yang selama ini disembah sudah mati.
Makin lama manusia semakin menyadari bahwa 'refleksi' semacam itu tidak
diperlukan lagi. L. Feurbach menyimpulkan bahwa agama tak lain daripada
psychological phenomenon: karena ide tentang Allah tak lain daripada
proyeksi dari self-consciousness manusia saja. Ia mengatakan, "The
divine being is nothing else than the human being, or, rather the human
nature purified, freed from the limits of the individual man, made
objective" (Allah tak lain daripada manusia itu sendiri, atau refleksi
jiwa manusia yang dibebaskan dari belenggu keterbatasannya naturnya).
Sejak
tahun 1859 iman Kristen sudah menghadapi gempuran yang berat. Terbitnya
"The Origin of Species" dari Charles Darwin telah mengubah konsep dan
sikap manusia terhadap agama dan hal-hal yang metaphysical. Evolusi
bukan hanya dimengerti dalam hubungan dengan kontinuitas antara manusia
dengan makhluk-makhluk lain. Evolusi bahkan menjadi pusat dari proses
perkembangan kebudayaan manusia. Dari manusia yang immature, yang
hidupnya beroritentasi pada agama, kepada manusia yang dewasa dengan
orientasi lain (science) dan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, agama
tidak lagi merupakan kebutuhan manusia zaman sain dan teknologi ini.
Mulai sejak itu umat Kristen kehilangan keberanian untuk membela agama
mereka. Umat Kristen dipaksa untuk membela iman (bukan agama) dengan
penjelasan-penjelasan yang ilmiah. Akibatnya unsur metaphysical
disingkirkan dari iman Kristen dan lahirlah iman Kristen tanpa Allah
yang supranatural.
Keadaan ini sangat tidak menyenangkan. Karl
Barth melihat bahwa kematian agama Kristen sudah di ambang pintu.
Sebagai pendeta Reformed ia sangat peka dengan apa yang sedang terjadi.
Tahun 1918 ia menerbitkan "The Epistle to the Romans," suatu usaha untuk
membela iman Kristen di tengah dunia yang sinis terhadap hal-hal yang
metaphysical dan transendental. Ia menekankan bahwa agama tidak sama
dengan iman. Agama (termasuk agama Kristen) adalah manifestasi dari
natur manusia "homo religiousus." Dalam agama tak ada ruang untuk Allah
yang hidup atau sesuatu yang supranatural dan transendental. Agama
hanyalah usaha manusia untuk membenarkan dirinya sendiri. Lain halnya
dengan iman Kristen yang sejati. Iman adalah pengalaman "encountering"
dengan Allah yang tak mungkin dapat diterangkan dengan bahasa apapun
juga. Sesuatu yang hanya dapat diimani dan diamini.
Suatu penjelasan
yang seolah-olah benar. Tetapi tanpa sadar natur iman Kristen sudah
bergeser. Allah yang sudah menyatakan diri di dalam Anak-Nya Yesus
Kristus sekarang kembali menjadi Allah yang "tidak dikenal." Alkitab
sebagai wahyu Allah kehilangan otoritasnya sebagai kebenaran Allah yang
objective. Apa yang tertulis tidak begitu saja dapat dipercaya sebagai
kebenaran firman Allah. Alkitab "hanya" menjadi firman Allah kalau, pada
saat membaca, manusia mengalami "encountering" dengan Roh Allah. Umat
Kristen tidak lagi menyebut Alkitab sebagai firman Allah. Alkitab
hanyalah buku yang "berisi firman Allah." Lalu siapakah yang mempunyai
otoritas menentukan bahwa pengalaman tertentu adalah pengalaman
encountering dengan Allah?
Usaha dari Barth untuk membela iman
Kristen pada akhirnya justru memasukkan iman Kristen dalam jerat
"pengalaman existential" tiap pribadi. Judgement dari tiap individulah
yang pada akhirnya menjadi otoritas tertinggi. Pembelaan-pembelaan
"kehampaan" ini juga dilakukan oleh Tillich, Brunner, Moltmann,
Pannenberg, Niebuhr, dsb. Bagaimana dengan kaum Injili? Apakah yang
sedang kita lakukan? Membela Allah? Membela tradisi? Membela doktrin,
atau membela diri sendiri? Apa yang sedang kita lakukan? Barangkali
pertanyaan serupa ini terlalu sulit dimengerti dan dirasakan sangat
tidak relevan bagi umat Kristen di Indonesia. Kehidupan dan kegiatan
Gereja mencerminkan suatu sikap "ignorant dan indifferent" (tidak acuh
karena kurang memahami persoalannya) terhadap natur dari persoalan yang
sedang kita bicarakan. Umat Kristen pada umumnya berasumsi bahwa mereka
sudah mengenal Allah dan apa yang mereka lakukan (melalui
kegiatan-kegiatan gereja) adalah pertanggungjawaban iman kepada Allah.
Dengan kata lain mereka percaya bahwa hidup Kristen memang berkisar pada
kegiatan-kegiatan gereja / rohani seperti yang sekarang ini dilakukan.
Cuma...motivasi dan tujuan manusia di belakang kegiatan-kegiatan inilah
yang perlu dimurnikan.
Jadi "nothing wrong/tidak ada yang salah"
dengan apa yang sekarang ini menjadi identitas gereja / kekristenan.
Sikap ini telah membuat gereja selama berabad-abad lumpuh dan kehilangan
power untuk bersaksi di tengah dunia. Apa yang gereja lakukan hanyalah
suatu kesaksian 'semu' dari orang buta yang mencoba menuntun orang buta.
Suatu "tradisi" yang di'budayakan'. Kegiatan yang ditularkan dari satu
kepada yang lainnya. Mengapa demikian? Sekali lagi kita kembali pada
persoalan semula. Kita bersaksi padahal kita sendiri belum mengenal
siapa yang kita saksikan. Allah adalah "the Greatest Unknown" dalam
kehidupan kita. Oleh sebab itu hanya belas kasihan Tuhanlah yang selama
ini membuat kesaksian seperti ini "ada hasilnya". Bagaimana kita dapat
membuktikan bahwa apa yang kita "alami" adalah pengalaman dengan Allah?
Untuk menjawab ini, ada beberapa hal yang perlu di-clear-kan.
I. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Tidak Sama Dengan Pengalaman Dengan Penghayatan Makna "Tradisi" Agama
Manusia
adalah makhluk rohani (mempunyai roh). Tingkah laku agamawi selalu
menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, entah ia atheist ataupun
ia penganut suatu agama. Setiap individu selalu terlibat dengan usaha
untuk mencari dan menemukan bentuk dan pola-pola tingkah laku agamawi
yang cocok / sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Semakin cocok dengan
kebutuhan peribadinya, semakin tinggi level kepuasan yang diperolehnya.
Agama
Kristen tidak identik dengan "iman" Kristen. Yang satu bisa semata-mata
manifestasi dari diri sendiri, sedangkan yang lain hanya terjadi
jikalau ada pengenalan dan hubungan pribadi dengan Allah yang hidup.
Agama Kristen (dengan ritus dan tradisi-tradisinya) bisa merupakan
manifestasi dari perkembangan kebudayaan dan kebutuhan "agamawi"
manusia. Oleh sebab itu kepuasan yang dihasilkan melalui keterlibatan
dan penghayatan dengan "agama" Kristen, tidak selalu menjadi pertanda
dari "iman Kristen" yang hidup. Dengan kata lain seorang individu
Kristen bisa aktif terlibat dengan kegiatan-kegiatan gerejani/kristiani
dan mendapat "kepuasan batiniah" bahkan...kegiatan dan pelayanan
tersebut membuahkan buah-buah yang baik tanpa ia sendiri mempunyai
pengenalan pribadi dengan Allah yang hidup.
Seorang hamba Tuhan
pernah mengatakan dengan tepat, "it is possible for a Christian to lead a
big and a growing church but he himself doesn't know the Lord. It is
possible for a Christian to write a good Theological book that deepen
thousands other believers, but he himself doesn't know the Lord. Even,
it is possible for a Christian like me, who is writing and talking about
this danger of 'apostacy' and I myself do not know the Lord." (Tidak
mustahil ada orang-orang Kristen yang melayani dengan sukses besar,
menjadi berkat bagi ribuan orang, bahkan dapat mengingatkan orang akan
bahaya 'mempermainkan Allah,' tanpa ia sendiri mengenal Allah.)
Jiwa
manusia begitu korup, sampai seringkali tanpa sadar seorang Kristen
bisa terlibat dengan penipuan terhadap Allah, sesama, dan diri sendiri.
Agama Kristen dalam segala "keindahannya" bisa merupakan manifestasi
permainan "religiositas" jiwa manusia semata-mata.
Permainan jiwa
ini seringkali berbentuk "defence mechanism" (mekanisme pertahanan
jiwa) yang disebut "Sublimasi". Banyak orang Kristen yang sadar
sesadar-sadarnya bahwa pengenalan mereka pada Allah merupakan pengenalan
"semu". Mereka tak punya pengalaman apa-apa dengan Allah. Jiwa mereka
diam-diam gelisah. Mereka membutuhkan keyakinan bahwa "mereka
betul-betul sudah mengenal Allah." Tetapi mereka tidak mampu membuktikan
pada dirinya sendiri kebenaran kesaksian tersebut. Jiwa manusia
melakukan "mekanisme pertahanan" yang disebut "Sublimasi". Maksudnya,
kebutuhan agama yang tidak terpenuhi melalui sumber yang satu sekarang
dapat terpenuhi melalui sumber / sarana yang lain. Manusia bisa mengajar
kepada jiwanya sendiri bahkan membuat jiwanya sendiri memiliki
keyakinan bahwa ia benar-benar sudah mengenal Allah. Caranya? Tak usah
dipikir. Yang terpenting adalah melibatkan diri dengan kegiatan-kegiatan
rohani (pelayanan; penginjilan; mengajar orang-orang lain tentang
firman Allah). Dengan demikian ia sudah masuk dalam suatu proses yang
akan dengan sendirinya, menghasilkan "perasaan yakin" bahwa ia
betul-betul sudah mengenal Allah. Inilah yang terjadi dan yang sudah
menjadi pengalaman banyak orang Kristen. Mereka tidak menyadari bahwa
apa yang sedang terjadi dalam hidupnya belum tentu merupakan suatu
pergaulan dengan Allah yang hidup.
Thomas Erskine mengatakan
bahwa "mungkin apa yang mereka lakukan semata-mata adalah tingkah laku
agamawi." Oleh sebab itu ia mengingatkan, "those who make religion their
god will not have God for their religion" (Siapa yang mengilahkan agama
takkan menemukan Allah dalam agama yang dianutnya).
Kita ingin
membuktikan keotentikan Allah yang kita sembah. Kita menyadari bahwa
pengalaman, penghayatan bahkan kepuasan dengan "tradisi" agama Kristen
hanya dapat menghasilkan pembuktian yang "semu". Kesalehan dan ketekunan
dalam hidup beragama bisa diperoleh melalui tradisi agama apapun juga
di dunia ini. Agama Kristen pada dirinya sendiri (terlepas dari iman
Kristen yang sejati) tidak unik.
II. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Tidak Sama Dengan Pengalaman Yang Mengesankan Dengan "hal-hal yang Supranatural"
Kesalahan
kedua dari umat Kristen dalam usaha membuktikan keotentikan pengalaman
mereka dengan Allah adalah keterlibatannya dengan pengalaman-pengalaman
supranatural (miracles, keajaiban-keajaiban). Memang Alkitab mencatat
tentang peristiwa-peristiwa keajaiban yang dilakukan baik oleh
nabi-nabi, rasul-rasul bahkan Tuhan Yesus sendiri. Oleh sebab itu hal
benar tidaknya "keajaiban dapat terjadi dalam hidup manusia" tidak perlu
dipertanyakan lagi. Yang perlu dipertanyakan adalah "apa maksud Allah
dan sampai di mana kepentingan dari pengalaman tersebut" dalam konteks
keselamatan? Untuk ini Alkitab memberikan beberapa tuntunan:
a. Keajaiban hanyalah sarana yang dipakai Allah untuk "menuntun" manusia kepada "iman".
Pengalaman
dengan keajaiban-keajaiban ilahi tidak sama dengan "pengalaman iman".
Keajaiban-keajaiban ilahi hanyalah "alat iluminasi / sarana untuk
menerangi hati manusia," dan iluminasi tidak sama dengan regenerasi
(kelahiran baru). Iluminasi bisa membawa orang ke dalam gereja, tetapi
iluminasi tidak memberikan jaminan keselamatan. Tidak heran jikalau
penulis surat Ibrani mengatakan, "Mereka yang pernah diterangi hatinya
(illuminated), yang pernah mengecap karunia surgawi, dan yang pernah
mendapat bagian dalam Roh Kudus dan yang pernah mengecap firman yang
baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang namun yang
murtad lagi..." (Ibr. 6:4-6).
"Being illuminated/diterangi hatinya"
tidak sama dengan "being regenerated/dilahirkan baru." Yang pertama
masih bisa murtad (melakukan apostacy/penghujatan) sedangkan yang kedua
hanya bisa jatuh dalam kesalahan yang tidak disengaja
(adokismos/backslidding). Setiap orang Kristen harus memahami bahwa
"keajaiban-keajaiban" (kalaupun benar-benar dari Allah) hanyalah
sarana/alat yang dipakai Allah untuk memberi illuminasi.
Keajaiban-keajaiban itu pada dirinya sendiri tidak memberikan pengenalan
pribadi pada Allah.
b. Iman yang sejati tak pernah dapat dibangun di atas landasan "pengalaman dengan keajaiban-keajaiban ilahi"
Umat
Israel selama 40 tahun (baca: empat puluh tahun) siang malam
terus-menerus melihat dan mengalami keajaiban-keajaiban ilahi. Sepuluh
tulah bagi bangsa Mesir, laut Teberau yang terbelah, manna yang turun
dari langit setiap pagi, tiang awan di siang hari dan tiang api di malam
hari, dsb. dan ternyata umat Israel tidak pernah menjadi umat yang
beriman oleh karena pengalaman-pengalaman tersebut. Tuhan Yesus
melakukan seribu satu macam miracle, dan murid-murid-Nya menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, dan toh tidak ada satupun dari mereka yang
membela Dia pada saat Dia ditangkap, dianiaya dan disalibkan. Paulus
sangat menyadari betapa "sekundernya" keajaiban-keajaiban" ilahi dalam
konteks iman. Oleh sebab itu meskipun sebagai rasul ia juga mendapat
anugerah-anugerah untuk mendemonstrasikan "keajaiban ilahi" (Lukas
mencatatnya dalam Kisah Para Rasul) ia tidak pernah sekalipun juga
bicara tentang peristiwa-peristiwa tersebut dalam surat-suratnya.
c. Iman yang sejati hanya dapat dibangun di atas landasan firman Tuhan (Alkitab)
Tuhan
Yesus pernah menceritakan perumpamaan tentang Lazarus dan orang kaya
(Lukas 16:19-31). Dalam bagian terakhir dari perumpamaan tersebut si
orang kaya mengatakan, "Kalau ada orang yang bangkit dari kematian,
pastilah saudara-saudaraku akan bertobat." Untuk pernyataan tersebut
Abraham menjawab, "Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan
para nabi (firman yang tertulis) mereka tidak juga akan mau diyakinkan
sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati."
Iman
hanya dapat dibangun di atas landasan firman Allah yang tertulis. Kalau
manusia tidak dapat mempercayai firman yang tertulis mereka sudah pasti
tidak akan percaya meskipun melihat orang mati bangkit dari kematian.
Ini betul-betul merupakan salah satu keunikan iman Kristen. Banyak orang
yang berpikir bahwa mereka akan percaya kalau mereka melihat
"bukti-bukti dan keajaiban-keajaiban". Dan memang ada ribuan orang yang
menjadi "Kristen" (datang ke gereja dan melibatkan diri dengan
kegiatan-kegiatannya) setelah melihat dan mengalami sendiri
keajaiban-keajaiban tersebut. Tetapi Alkitab mengingatkan dengan tegas
sekali bahwa illuminasi tidak sama dengan regenerasi. Hal datang ke
gereja dan terlibat dengan "agama Kristen" tidak sama dengan hal
"percaya dan diselamatkan".
Oleh sebab itu kepada Tomas yang
menuntut bukti, Tuhan Yesus berkata, "Berbahagialah mereka yang tidak
melihat bukti-bukti dan keajaiban-keajaiban, namun percaya" (Yohanes
20:28). Bahkan secara demonstratif Alkitab juga menyaksikan bahwa
"setiap pahlawan iman" (baca: Ibr. 11) "tidak memperoleh" apa yang
dijanjikan meskipun iman mereka telah memberikan kesaksian yang kuat
(ayat 39). Mereka yang sakit tidak disembuhkan, yang dipenjara tidak
dibebaskan, yang dianiaya tidak ditolong. Mereka tidak mengalami
"keajaiban-keajaiban ilahi" seperti apa yang mereka inginkan dan toh
mereka tidak kehilangan iman mereka. Iman yang sejati hanya dapat
dibangun di atas landasan firman Tuhan.
III. Pengalaman Dengan Allah Yang Sejati Adalah Pengalaman Dengan Kuasa Pembebasan dari Dosa
Tak
seorangpun yang dapat membuktikan bahwa pengalaman mereka adalah
pengalaman "yang otentik" dengan Allah yang sejati, kecuali mereka
mengalami tanda-tanda dari "kuasa pembebasan dari dosa".
Banyak orang
Kristen yang secara rasionil "sudah mengenal" kebenaran-kebenaran
firman Tuhan. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah dapat
mengembangkan konsep pemikiran teologi yang betul-betul dilandaskan atas
kebenaran-kebenaran firman Allah (Alkitab). Tetapi tanpa mereka
mengalami "tanda-tanda" kuasa pembebasan dari jerat dosa, mereka belum
dapat membuktikan "keotentikan" pengenalan mereka dengan Allah.
Keyakinan iman hanya menjadi salah satu tanda yang relatif. Masalah
"kesenjangan" antara "keyakinan dan pengalaman" ini merupakan salah satu
masalah yang terbesar dalam kehidupan iman.
Banyak orang Kristen
yang berusaha menutup atau memperkecil gap ini dengan upaya mereka
untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tetapi sekuat-kuatnya upaya
manusia tetaplah suatu upaya yang terbatas. Kebaikan yang dihasilkan
adalah kebaikan yang "inconsistent / tidak konsisten", yang tergantung
keadaan, tergantung konteksnya, bahkan tergantung seleranya sendiri.
Suatu kebaikan yang "unpredictable / yang tak dapat diduga dan yang tak
terjamin." Kebaikan yang tidak berasal dari sumber yang memang pada
dirinya sendiri "sudah baik atau berada dalam proses diperbaiki."
Dalam
1Kor. 13 Paulus mengingatkan tentang adanya orang-orang yang
"seolah-olah" sudah begitu baik (ayat 3). Tetapi kebaikan-kebaikan
manusiawi ini (yang berasal dari bakat maupun hasil suatu latihan) tidak
bernilai apa-apa dihadapan Allah. Seperti gong yang berbunyi atau
canang yang bergemerincing, yang cuma menarik perhatian sementara dari
manusia. Kebaikan, yang Paulus sebut sebagai kebaikan yang tidak berasal
dari Allah. Kebaikan yang tidak lahir dari kasih Agape. Kebaikan yang
bukan buah Roh Kudus (Gal. 5:22). Kebaikan yang tidak dihasilkan oleh
pengalaman pribadi dengan Allah.
Jadi, bagaimana seorang tahu bahwa
ia betul-betul sudah mengenal Allah? Untuk pertanyaan ini Alkitab
memberikan beberapa petunjuk antara lain:
a. Orang Kristen yang mengenal Allah adalah orang Kristen yang mengalami kebenaran firman yang membebaskan
Tuhan
Yesus berkata, "Jikalau kamu tetap di dalam firman-Ku, kamu benar-benar
murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan
memerdekakan kamu" (Yoh 8:31-32).
Dalam konteks ini Tuhan berbicara
tentang dua hal. Yang pertama ialah tentang "hubungan antara Dia dan
murid-murid-Nya." Dan yang kedua tentang "tanda dari hubungan tsb". Yang
pertama ditandai dengan "pengenalan dan kepatuhan" pada firman-Nya, dan
yang kedua ditandai dengan "kebebasan" dari jerat dosa (ayat 34).
Keduanya tidak terpisahkan. Pengalaman dengan Allah yang sejati adalah
pengalaman dengan kebenaran firman yang membebaskan. Tidak ada tanda
atau bukti "keotentikan" pengenalan dengan Allah yang lebih baik
daripada realita ini. Orang Kristen yang belum mengalami "tanda-tanda
pembebasan"dari jerat dosa adalah orang Kristen yang belum mengenal
Allah.
b. Orang Kristen yang mengenal Allah adalah orang Kristen yang mengenal dan bergaul dengan Allah Alkitab
Allah
Alkitab adalah Alkitab yang menyingkapkan diri-Nya melalui Alkitab. Ia
adalah Allah yang hidup, yang tidak dikenal dunia (1Kor. 2:9). Allah
yang unik yang mengutus anak-Nya ke dalam dunia untuk mati demi
pembebasan manusia dari jerat dosa. Banyak orang Kristen yang tidak
menyadari bahwa Alkitab merupakan penyingkapan diri Allah sendiri.
Mereka berpikir bahwa Alkitab hanyalah kitab yang menyingkapkan
"kehendak-kehendak Allah" dalam kehidupan praktis saja. Tidak heran
jikalau 90% dari eksistensi Allah tidak pernah benar-benar dikenal oleh
manusia. Kalaupun umat Kristen tahu bahwa Allah adalah Allah Tritunggal,
Allah yang menjadi manusia, Allah yang mengosongkan diri-Nya, mereka
tidak memahami apa hubungan antara eksistensi Allah tersebut dengan
realita kehidupan iman sehari-hari. Pergaulan dengan Allah bagi banyak
orang Kristen hanyalah pergaulan dengan "kehendak-kehendak Allah dalam
hal-hal praktis" saja. Akibatnya pergaulan dan perkenalan yang
sesungguhnya tidak pernah terjadi.
Dengan kata lain, banyak orang
Kristen yang "merasa" sudah mengenal Allah, padahal (barangkali) mereka
belum betul-betul mengenal Dia. Di tengah arus globalisasi dengan
semangat anti doktrin yang ada pada zaman ini pengenalan akan eksistensi
Allah seperti yang disaksikan Alkitab semakin sulit. Iman Kristen
dipaksa untuk menjadi "agama Kristen" di mana pengenalan akan keunikan
Allah seperti yang disaksikan Alkitab tidak mendapat tempatnya lagi.
Yang penting adalah "kesatuan dan persatuan" dan untuk itu umat Kristen
harus menanggalkan "keunikan-keunikan iman" yang bisa menjadi
tembok-tembok pemisah. Keunikan pergaulan dengan Allah Alkitab yang bisa
menghasilkan eksklusifitas dan intoleransi tidak perlu dipertahankan
lagi. Akibatnya umat Kristen semakin tidak mengenal Allah yang mereka
sembah. Di tengah kondisi yang seperti inikah umat Kristen hidup, dan
mereka harus menyaksikan "keotentikan" iman mereka. Apakah Allah yang
mereka sembah benar-benar adalah Allah yang hidup? Umat Kristen
menghadapi suatu dilemma. Satu pihak mereka menyadari betapa di tengah
arus globalisasi, kesatuan dan persatuan harus diperjuangkan, tetapi
pihak lain mereka juga terpanggil untuk menyaksikan "keunikan" iman
mereka pada Allah yang unik. Ini adalah dilemma yang tidak pernah akan
terselesaikan kecuali dalam iman yang sejati kepada Dia yang
membebaskan. Untuk itu umat Kristen membutuhkan "keberanian" yaitu
keberanian untuk mengutamakan pengenalan akan Allah yang unik tersebut
lebih dari segala-galanya. Mereka harus menyadari bahwa pengenalan yang
sejatilah yang akan memberikan kekuatan pembebasan dari segala macam
dilemma. Pengalaman dengan Allah yang sejati tak dapat dibuat-buat. Kita
sendiri tahu apakah kita sebagai umat Kristen benar-benar sudah
mengenal Allah yang sejati. Kita tahu apakah kita sudah memiliki
"tanda-tanda" pengenalan tersebut.
Sumber: Buletin Momentum No. 18 - Maret 1993.
Diambil dari : http://www.pemudakristen.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar