Oleh Yuzo Adhinarta
“Karena itu, Saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan
kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang
hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu
yang sejati.” (Rm. 12:1).
Sudah banyak tekad/komitmen dan janji yang kita buat dalam perjalanan
hidup rohani kita, mungkin itu dalam acara Camp Remaja, Retreat Guru
Sekolah Minggu, kebaktian biasa maupun Kebaktian Kebangunan Rohani, di
tengah-tengah doa pribadi, atau acara-acara yang lain. Tetapi berapa
banyak tekad dan janji itu yang terlaksana? Mengapa kita sering lupa?
Mengapa kita sering merasa bahwa hidup rohani kita gagal?
Masalahnya
adalah bukan karena kita tidak tahu kasih Allah yang telah
mengaruniakan keselamatan kepada kita, bukan pula karena kita kurang
mengerti arti hidup baru, hidup dalam keselamatan. Masalah yang utama
bagi setiap orang Kristen adalah bagaimana agar kita senantiasa sadar
bahwa kita sedang menjalani hidup di dalam keselamatan Allah itu.
Kerapkali
orang Kristen kurang mendapatkan dukungan dari luar (komunitas
sekitar), mis.: keluarga, para hamba Tuhan, rekan-rekan sekomisi tempat
kita bersekutu, atau saudara seiman di gereja tempat kita beribadah.
Dukungan semacam ini sangat penting, tapi bukan yang terpenting. Yang
lebih penting daripada itu ialah tanggung jawab masing-masing pribadi
untuk memelihara tekad dan janji untuk hidup setia di dalam Tuhan. Dan
banyak orang Kristen bertanya: “Bagaimana memiliki kehidupan rohani yang
stabil?” Untuk itu ada beberapa hal yang dapat kita lakukan
masing-masing secara pribadi sesuai dengan nasihat dan teladan rasul
Paulus dalam Roma 12:1, yaitu 3R:
I. Reorientasi Hidup (Mengarahkan Ulang)
Bertitik
tolak dari kenyataan apa yang Tuhan kerjakan dalam hidup orang berdosa
sebagaimana yang dipaparkan oleh Paulus dalam 11 pasal pertama surat
Roma, kita bersama sampai pada satu kesimpulan praktis tentang hidup
ini, yaitu bahwa hidup Kristiani adalah sebuah ibadah (life is a
doxology). Dan ibadah itu diarahkan kepada Allah yang kita sembah. Hidup
orang Kristen adalah hidup beribadah, hidup yang berpusatkan kepada
Allah (theocentric life).
Seperti seluruh planet di tata surya
ini bergerak mengelilingi matahari sebagai pusatnya (heliocentric), maka
segenap aktivitas hidup sehari-hari orang Kristen harus terus mengarah
kepada Allah sebagai pusat hidup mereka. Idealnya, tidak ada satu
aktivitas pun yang secara sadar kita lakukan tidak untuk Tuhan dan
kemuliaan-Nya, keluar dari orbit!
Banyak pusat hidup yang
ditawarkan oleh dunia, bahkan lebih gencar daripada gereja yang hanya
mendapatkan waktu rata-rata kurang dari 24 jam seminggu netto untuk
menawarkan (promosi) dan mengingatkan orang-orang Kristen. Akibatnya:
Banyak orang Kristen tergiur untuk mencoba-coba pusat hidup yang baru
sekalipun dengan aktivitas yang sama sehingga tanpa sadar, sekalipun
masih bergerak, bernafas, dan beraktivitas, namun hidupnya sudah
kehilangan arah, keluar dari orbit! Jika benda-benda langit itu menjauh
dari pusatnya, keluar dari orbitnya, maka makin lama akan semakin tidak
merasakan panasnya matahari dan ... crasshhh!! Hidup orang Kristen akan
menjadi semakin hambar, tidak merasakan sentuhan-sentuhan kasih karunia
Tuhan dalam kehidupannya, dan hidupnya cepat atau lambat akan
porak-poranda.
Beranikah kita merinci (menginventarisasi),
menguji, dan menata kembali satu per satu komponen hidup kita?
Bersediakah kita kembali merenungkan kemurahan kasih Allah sebagai
satu-satunya motivasi hidup kita?
II. Rededikasi Hidup (Mempersembahkan Terus-menerus)
Mengarahkan
ulang sangat perlu sebagai titik awal, tetapi tidak boleh berhenti di
sana. Arah yang benar harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hidup sebagai ibadah bukan hanya diarahkan tetapi harus dijalani. Bukan
semata diketahui tetapi dilakukan. Paulus menasihatkan setiap orang
Kristen supaya “mempersembahkan tubuh sebagai persembahan” (“to present
your body as a sacrifice ...”). Artinya: menunjukkan/menghadirkan
seluruh hidup sebagai persembahan.
Ibadah sejati tidak berhenti
di konsep dan doktrin yang benar (orthodoxy, ps. 1-11), apalagi doktrin
yang salah, tetapi harus berlanjut kepada aksi dan tingkah laku
sehari-hari yang sepadan (orthopraxy, ps. 12-15). Paulus (Alkitab) tidak
pernah memisahkan antara pengetahuan dan tingkah laku. Bahkan bagi
Paulus tingkah laku seseorang itu adalah konsekuensi/cermin/buah dari
pengenalan-Nya akan Tuhan. Misalnya: jika seorang Kristen bermain-main
dengan dosa itu hanya menunjukkan bahwa ia kurang mengerti tentang murka
dan keadilan Allah, dll. John Calvin pernah menulis: “Omnis recta
cognitio Dei, ad obedientia nascitur,” yang artinya: “Pengenalan yang
benar akan Allah, lahir dari ketaatan.”
Mempersembahkan hidup ini
tidak dilakukan semaunya dan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan
kehendak Tuhan yang disembah, dan ini memerlukan disiplin rohani yang
serius. Mengapa? Karena kita sedang berperang melawan kedagingan yang
selalu menghalangi kita untuk sadar dan menarik kita untuk menjauhi
sumber-sumber kekuatan rohani kita seperti misalnya: waktu doa, baca
Alkitab, pelayanan, persekutuan, kebaktian, dll.
Untuk menjadi
perenang yang handal seseorang harus berlatih keras beberapa jam setiap
hari, untuk menjadi pelari yang cepat seseorang harus memaksa dirinya
tidak makan sembarangan dan terus berlatih beberapa jam setiap hari,
dll. Tetapi mengapa untuk menjadi orang Kristen yang tangguh kita hanya
menyediakan waktu-waktu sisa untuk melatih kepekaan rohani kita? We
definitely need to actively rededicate our lives every day as a living
sacrifice!
III. Rekonstruksi Antar Sesama (Membangun Satu Sama Lain)
Sama
seperti arang akan lebih bertahan nyalanya bila dia bersama-sama dengan
banyak arang yang lain, maka orang Kristen memerlukan orang Kristen
yang lain untuk saling membangun. Orang Kristen memerlukan komunitas
Kristen.
Orang Kristen memerlukan bukan hanya perhatian dan
kasih, tetapi juga teguran dan nasihat. Paulus memberi teladan dengan
melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen terhadap
saudara seimannya, yaitu: memberi nasihat kepada jemaat di Roma untuk
kembali mengingat kasih Tuhan dan hidup menurut kemurahan-Nya. Bayangkan
jika Paulus mengambil sikap seperti yang sekarang dilakukan oleh banyak
orang Kristen, cuek, tidak peduli, atau malah mengkritik secara tidak
sehat! Tindakan itu bukan membangun sesama tetapi malah menjatuhkan
(baik secara aktif maupun pasif). Bagaimana orang Kristen bisa dibangun
bila di dalam komunitasnya sendiri pertumbuhan rohaninya tidak didukung
tetapi malah “dibiarkan” melemah atau “dijatuhkan”?
Masalah
menegur/menasehati memang bukan hal yang mudah bagi setiap kita. Pada
saat kita menegur orang lain, kita juga harus bersedia untuk ditegur
untuk hal yang sama. Atau yang lebih baik adalah jika kita menguji diri
sebelum menegur orang lain. Ini pola yang sehat. Yang tidak sehat adalah
jika kita menegur orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditegur. Dan
yang juga tidak sehat adalah jika ketika dalam pengujian diri ternyata
kita melakukan hal yang sama lalu kita tidak berani menegur dan
membiarkan orang lain berada dalam kesalahannya. Coba renungkan Kolose
3:16!
Kita harus menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang cukup
ideal untuk menegur kesalahan orang lain, namun setiap orang yang
mempunyai motivasi murni untuk membangun berhak untuk menegur saudara
seimannya.
Perintah Tuhan Yesus untuk “Jangan menghakimi!” (Mat.
7:1-5) tidak dimaksudkan agar di antara orang Kristen tidak boleh ada
saling tegur dan menasehati, tetapi hal tegur-menegur dan
nasihat-menasihati tidak boleh dilakukan tanpa kesediaan diri untuk
dikoreksi dan/atau dengan motivasi untuk menjatuhkan sesama. Kita jarang
menegur dan menasehati orang lain mungkin karena kita takut untuk
disalahpahami atau karena kita belum terbiasa, namun jika hal ini
membawa berkat kepada sesama, mengapa tidak?! Siapa takut?!
Kalau
seorang Kristen tidak pernah ditegur ketika ia jatuh dalam dosa, maka
ia akan semakin jauh dari Tuhan dan mungkin ia akan merasa tidak
diperhatikan atau malah merasa bahwa yang dilakukannya itu disetujui
oleh orang lain (karena yang lain diam, tanda setuju). Dengan demikian,
sebagai orang yang tahu dan tidak menegur, kita sedang membantu dia
secara tidak langsung untuk mempermainkan anugerah Allah dalam kehidupan
orang tersebut. Anugerah Allah yang mahal tiada taranya itu dianggap
murah dan diremehkan.
Akhir kata, bagaimana agar kita senantiasa
sadar bahwa kita sedang menjalani hidup di dalam keselamatan Allah itu?
Kita perlu melakukan beberapa hal: (3R)
1. Reorientasi (Mengarahkan Ulang)
2. Rededikasi (Mempersembahkan Terus-menerus)
3. Rekonstruksi (Membangun Satu Sama Lain)
Maukah
Anda memulainya? Keputusan Anda hari ini menentukan kehidupan Anda
kemudian. Filipi 2:12, “Kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan
gentar!!”
"Not" Our Daily Bread
Tidak ada komentar:
Posting Komentar