Sudah
tujuh tahun Onesimus melayani Tuhan sebagai pendeta di sebuah gereja
dan selama itu hampir setiap minggu ia berkhotbah di gereja yang
digembalakannya. Mungkin, buat kebanyakan hamba Tuhan hal seperti itu
sangat berat, tetapi tidak bagi Pendeta Onesimus. Pelayanan mimbar
baginya merupakan pelayanan yang sangat menyenangkan karena ia merasa
bahwa Tuhan memberinya talenta khusus dalam bidang ini. Jemaat pun
berpendapat demikian. Karenanya, ia tidak pernah merasa stres dengan
tugas berkhotbah setiap minggu, bahkan tidak jarang ia berkhotbah dua
tiga kali seminggu dengan khotbah yang berbeda.
Tetapi
akhir-akhir ini, ia merasa bosan dengan pola khotbahnya. Selama tujuh
tahun ia telah berkhotbah secara topikal, entah sudah berapa ratus topik
ia khotbahkan, atau juga secara tekstual dengan mengangkat satu dua
ayat sebagai dasar khotbahnya. Kadang ia ingin berkhotbah secara
ekspositori, sayangnya ia sendiri tidak memahami dengan jelas apa
khotbah ekspositori itu. Seingat dia, pada waktu di bangku kuliah
teologi, dosennya pernah berkata bahwa khotbah dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu khotbah topikal, tekstual, dan khotbah ekspositori. Dua
macam khotbah yang pertama itu jelas bagi dia, tetapi yang terakhir
masih samar-samar. Hanya kesan dia, khotbah ekspositori itu rumit dan
banyak penjelasannya seperti seorang dosen yang mengajar di ruang
kuliah. Ia juga telah berusaha membeli beberapa buku dan mencari
informasi tentang khotbah ekspositori di internet. Walaupun usaha itu
sedikit banyak telah membantu pengertiannya, sejujurnya ia masih bingung
dengan arti sebenarnya khotbah ekspositori itu.
Pendefinisian Khotbah Ekspositori
Apa
yang dialami oleh Pendeta Onesimus merupakan pengalaman kita bersama.
Kita telah mendengar istilah khotbah ekspositori, mungkin, jauh sebelum
kita menjadi pengkhotbah. Bahkan kita mungkin juga telah mengikuti
pelatihan-pelatihan tentang khotbah ini. Tetapi bila kita diminta untuk
mendefinisikan
apakah khotbah ekspositori itu, maka mungkin akan ada keraguan dalam
diri kita. Salah satu sebabnya adalah karena khotbah ekspositori oleh
para ahli homiletik telah didefinisikan dengan beragam cara menurut
sudut pandang dan kriteria masing-masing sehingga tidak jelas definisi
mana yang benar. Hal ini juga diamati oleh Harold T. Bryson, seorang
profesor khotbah dan direktur dari Institute of Christian Ministry di
Mississippi College di Amerika. Namun kemudian, dia dengan cermat
mengklasifikasi definisi-definisi yang ada dalam tiga macam pendekatan,
yaitu berdasarkan etimologi, morfologi, dan substansi.[1]
Berdasarkan Etimologi.[2] Menurut Bryson, kata ekspositori mempunyai akar kata expose yang berasal dari kata exposen (Inggris), exposer (Perancis), atau exponere (Latin). Dalam bahasa Latin yang lebih modern (180- 600 M.), pengertian dari exponere berarti
“menafsirkan atau menjelaskan.” Berdasarkan pendekatan ini, maka dalam
khotbah ekspositori faktor yang dominan adalah penjelasan, sedangkan
faktor-faktor lain, seperti pendahuluan, ilustrasi, aplikasi, dan
penutup khotbah hanya berfungsi sebagai penopang penjelasan. Pada abad
ke-16, John Calvin memahami khotbah ekspositori dengan pengertian ini.
Itu sebabnya, pola khotbah Calvin diawali dengan menjelaskan pengertian
suatu teks dari ayat ke ayat
kemudian menerapkannya ke dalam kehidupan pendengarnya.[3]
Berdasarkan Morfologi.[4] Pendekatan
ini lebih menekankan definisi khotbah ekspositori berdasarkan bentuk
khotbahnya. Menurut Bryson, pendekatan morfologi menghasilkan paling
tidak empat macam
pendefinisian, yaitu khotbah ekspositori yang didefinisikan berdasarkan:
(1)
Panjang-pendeknya teks yang dikhotbahkan. Dalam pendekatan ini khotbah
diklasifikasikan sebagai khotbah topikal, tekstual, dan ekspositori.
Salah satu tokohnya adalah Andrew W. Blackwood. Dalam bukunya Expository Preaching for Today, ia
mengartikan khotbah ekspositori sebagai khotbah dari teks Alkitab yang
panjangnya lebih dari dua atau tiga ayat yang berurutan.[5] Pendapat
ini tampaknya dilatarbelakangi oleh usaha Blackwood untuk membedakan
khotbah ekspositori dari khotbah tekstual yang hanya bertumpu pada satu
atau dua ayat berurutan dan dari khotbah topikal yang bertumpu pada
banyak ayat dari berbagai tempat.
(2)
Pengambilan teks secara seri atau berurutan dari satu kitab sebagai
dasar khotbah. Beberapa ahli homiletik, seperti William M. Taylor dan F.
B. Meyer, memahami khotbah ekspositori sebagai khotbah yang
mengkhotbahkan teks-teks Alkitab dalam satu kitab secara berurutan
setiap minggunya.
(3)
Perlakuan terhadap teks. Ahli homiletik lainnya, seperti Charles W dan
Nolan Howington, berpendapat bahwa khotbah ekspositori adalah khotbah
yang berpusat pada teks dan setiap poin dan sub-poin dalam kerangkanya
diperoleh dari teks yang sedang dikhotbahkan.
(4)
Tafsiran yang berjalan. Sebagian ahli homiletik memahami khotbah
ekspositori sebagai khotbah yang mempunyai format seperti sebuah buku
tafsiran di mana khotbah berjalan dari kata ke kata dan ayat ke ayat
tanpa menghiraukan kesatuan amanat, kerangka, dan dorongan persuasif
yang ada di dalam teks tersebut. Di dalam sejarah khotbah, beberapa
pengkhotbah yang sangat luar biasa, seperti John Chrysostom, Martin
Luther, Ulrich Zwingli, dan John Calvin, menggunakan pendekatan ini.[6]
Berdasarkan Substansi.
Menurut pendekatan ini bukan etimologi atau morfologi yang penting,
melainkan substansi. Substansi dalam khotbah ekpositori adalah bahwa
berita khotbah harus bersumber dari amanat teks Alkitab sebagaimana yang
dimaksudkan oleh penulisnya.[7] John A. Broadus, yang termasuk dalam kelompok ini, mendefinisikan khotbah ekspositori
sebagai:
Khotbah
yang terutama diisi atau didominasi dengan eksposisi Alkitab. . . .
Teks yang diambil bisa berupa perikop yang panjang, atau yang sangat
pendek, bahkan bisa hanya sebagian kalimat. Selain itu bisa juga teks
yang diambil berupa satu seri, atau satu bagian yang berdiri sendiri.[8]
Merrill F. Unger dalam bukunya Principles of Expository Preaching mendukung pendekatan substansi. Bagi Unger, kriteria yang menentukan sebuah khotbah dapat digolongkan dalam khotbah ekspositori bukan panjang-pendeknya teks, melainkan cara pengkhotbah menafsirkan teks tersebut. Bila pengkhotbah menafsirkannya sedemikian rupa sehingga ia dapat menemukan makna yang sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan pendengar masa
kini, maka khotbah tersebut dapat digolongkan sebagai khotbah ekspositori.[9]
John W. R. Stott juga berpandangan yang sama. Dalam bukunya yang klasik, Between Two World, ia menyatakan bahwa dalam khotbah ekspositori,
teks
yang dikhotbahkan bisa saja hanya satu ayat, atau satu kalimat, atau
bahkan hanya satu kata. Itu tak berbeda dengan satu paragraf, atau satu
pasal, atau satu kitab penuh. Panjang-pendeknya teks tidak penting,
sejauh teks itu adalah teks Alkitab. Yang penting adalah apa yang kita
lakukan dengan teks itu. Entah teks itu panjang atau pendek, tanggung
jawab kita sebagai ekspositor adalah mengungkapkannya sedemikian rupa
sehingga amanatnya[10] berbicara dengan jelas, apa adanya, akurat, relevan, tanpa tambahan, pengurangan atau perubahan.[11]
Haddon Robinson, dalam bukunya yang sangat populer, yakni Biblical Preaching yang terbit pertama kali pada tahun 1980, berada pada jalur pemikiran yang sama dengan Unger dan Stott. Ia sama sekali tidak melihat khotbah ekspositori dari sudut bentuk (morfologi). Baginya, “khotbah
ekspositori pada hakikatnya adalah lebih berupa suatu filsafat daripada suatu metode.”[12] Karena itu, ia mendefinisikan khotbah ekspositori sebagai:
Khotbah
yang “mengkomunikasikan suatu konsep alkitabiah, yang diperoleh dari
dan disampaikan melalui penyelidikan historis, gramatikal, dan
kesusastraan suatu teks di dalam konteksnya, di mana Roh Kudus
pertama-tama menerapkannya kepada kepribadian dan pengalaman
pengkhotbah, kemudian melalui pengkhotbah, menerapkannya kepada para
pendengar.”[13]
Pada
dasarnya, definisi khotbah ekspositori Robinson, demikian juga Unger
dan Stott, menekankan pada cara penafsiran teks yang mengutamakan
penemuan amanat yang sebenarnya dari penulis teks. Namun, ia melangkah
lebih maju dengan memberi penambahan pada unsur peranan Roh Kudus dan
pengkhotbah sebagai pribadi yang pertama-tama harus taat pada kebenaran
firman yang ia akan sampaikan dan juga sebagai komunikator yang harus
mempersiapkan aplikasi-aplikasi yang sesuai dan mengena kepada para
pendengarnya. Belakangan ini, para pakar homiletik lebih cenderung
mengakui
pengertian
khotbah ekspositori berdasarkan substansi; substansi jauh lebih penting
daripada etimologi dan morfologi. Khotbah ekspositori dapat mengambil
bentuk yang bermacam-macam, tetapi substansinya tidak boleh berubah.
Unsur-unsur Penting Khotbah Ekspositori
Pemahaman
tentang khotbah ekspositori berdasarkan substansi akan menjadi lebih
jelas ketika kita memahami unsur-unsur yang ada di dalam substansinya.
Unsur-unsur itu adalah amanat teks, eksegese, dan relevansi.
Amanat teks Alkitab
Amanat teks Alkitab menjadi dasar satu-satunya berita khotbah. Setiap pengkhotbah wajib memulai khotbahnya dengan membaca teks Alkitab dan dilanjutkan dengan menjelaskan amanat dari teks yang dibacanya.
Dengan begitu, dalam persiapannya, seorang pengkhotbah harus mempunyai
disiplin yang kuat untuk menjaga agar berita khotbahnya murni bersumber
dari amanat teks yang sedang diselidikinya, bukan dari luar teks
Alkitab. Ide-ide lain – ide pengkhotbah, teolog, filsuf, psikolog,
politisi, atau lain-lainnya – bisa saja dipakai sebagai tambahan argumen
pendukung, tetapi tidak layak untuk menjadi dasar berita khotbah.
“Referensi ayat-ayat Alkitab dari bagian yang lain hanya digunakan untuk
mengkonfirmasi, mendukung, atau menguraikan prinsip-prinsip yang tampak
jelas dalam
konteks dekat teks tersebut.”[14]
Seorang
pengkhotbah, menurut Robinson, perlu jujur menjawab pertanyaan, “Apakah
Anda, sebagai seorang pengkhotbah, sedang berusaha keras untuk
menundukkan pikiran Anda kepada Alkitab, atau Anda sedang menggunakan
Alkitab untuk mendukung pikiran Anda?”[15] Tiap
pengkhotbah dituntut untuk taat dan setia pada amanat dari teks yang
diselidikinya; ia tidak berhak menggantinya dengan amanatnya sendiri.
Sebagaimana tugas utama seorang duta adalah menyuarakan amanat yang
diterimanya dari orang yang mengutusnya, demikian pula seorang
pengkhotbah. Sebagai duta Allah, tugasnya hanyalah menyampaikan amanat
teks yang pernah dipercayakan kepada para penulis Alkitab.
Eksegese
Eksegese
teks secara cermat dan akurat dengan menerapkan prinsip-prinsip
penafsiran yang sehat merupakan tindakan yang harus dilakukan
pengkhotbah untuk memperoleh amanat teks.
Fokus
utama pengkhotbah pertama-tama adalah mendapatkan amanat yang
sebenarnya dari teks yang akan dikhotbahkannya. Perlu selalu diingat
bahwa setiap teks Alkitab ditulis karena adanya suatu kejadian atau
peristiwa sejarah yang melibatkan baik penulis Alkitab maupun para
pembacanya. Itu sebabnya, amanat teks hanya bisa ditemukan jika
pengkhotbah mempertimbangkan konteksnya dengan saksama. Pengabaian
konteks membuat setiap orang dapat menafsirkan ayat-ayat Alkitab sesuai
dengan keinginannya. Setiap teks dapat dijadikan khotbah apa pun sesuai
dengan kehendak pengkhotbah. Tak berlebihan jika ada orang yang
mengatakan bahwa context is the king. Konteks menentukan segalanya. Dalam khotbah ekspositori, eksegese yang objektif dalam menemukan amanat teks merupakan
unsur yang tidak boleh diabaikan.
Relevansi
Amanat
teks tersebut diberitakan kembali oleh pengkhotbah kepada para
pendengar masa kini dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan
membuat aplikasi-aplikasi yang relevan.
Amanat
teks yang telah diperoleh merupakan firman Tuhan yang pernah dikatakan
Tuhan kepada umat Allah pada masa lalu, pada zaman Alkitab. Kita
menyakini bahwa firman itu bersifat kekal untuk semua manusia pada
segala zaman. Itulah sebabnya, tugas pengkhotbah adalah membawa berita
kekal itu untuk kembali berbicara kepada manusia masa kini. Untuk
melaksanakan tugas itu dengan efektif, tentunya pengkhotbah tidak boleh
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pendengarnya agar dapat membuat aplikasi
yang mengena dari firman yang disampaikan tersebut. Khotbah ekspositori
yang mengabaikan aplikasi yang relevan bagi pendengarnya bukanlah
khotbah ekspositori, bahkan bukan khotbah sama sekali.
Pemahaman yang Salah tentang Khotbah Ekspositori
Untuk
melengkapi pengertian kita tentang khotbah ekspositori, ada baiknya
kita membahas apa yang bukan khotbah ekspositori itu. Cara ini pertama
kali dikembangkan oleh Faris D. Whitesell dalam karyanya Power in Expository Preaching.[16] Kemudian, dikembangkan oleh para ahli homiletik
lainnya. Di bawah ini, kita akan melihat pemahaman yang salah tentang khotbah ekspositori.
Khotbah ekspositori adalah khotbah yang ditentukan oleh panjang-pendeknya teks
Pendapat
Andrew W. Blackwood, yang mengartikan khotbah ekspositori sebagai
khotbah dari teks Alkitab yang panjangnya lebih dari dua atau tiga ayat
yang berurutan,[17] telah
banyak ditolak oleh para ahli homiletik yang lebih modern. Bagi mereka
esensi yang terpenting dalam khotbah ekspositori bukanlah
panjang-pendeknya teks, melainkan apakah teks yang dijadikan dasar
khotbah itu telah ditafsirkan dengan baik dan akurat oleh pengkhotbah
sehingga amanat teks yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksudkan
oleh penulisnya, ditemukan oleh pengkhotbah. Menurut Chapell, bisa jadi
seorang pengkhotbah berpikir bahwa satu unit ekspositori itu adalah sama
dengan satu atau dua paragraf, atau hanya satu perikop Alkitab.
Padahal, satu unit ekspositori itu bisa saja terdiri atas beberapa
perikop, beberapa pasal, bahkan keseluruhan kitab, sejauh teks tersebut
menyampaikan sebuah kebenaran rohani tunggal sebagaimana yang dimaksud
oleh penulisnya.[18] Jadi, panjang pendeknya teks yang dipilih
sebagai landasan khotbah tidak menentukan apakah khotbah itu khotbah ekspositori atau bukan.
Khotbah ekspositori adalah khotbah yang menjelaskan ayat per ayat
Khotbah ekspositori sering kali dianggap sebagai khotbah yang menguraikan teks Alkitab dari ayat ke ayat secara berurutan[19]
dan menjelasan kata-kata penting, baik dari sudut artinya maupun dari
sudut gramatika dan struktur sastranya. Pandangan ini sama sekali tidak
benar, karena khotbah ekspositori ditandai bukan oleh soal apakah
pengkhotbah memberi penjelasan ayat per ayat dan kata per kata,
melainkan apakah pengkhotbah menyampaikan amanat teks yang terkandung
dalam teks yang dibahasnya. Robinson menegaskan bahwa kata-kata dan
frasa-frasa tidak pernah berhenti dalam dirinya sendiri. Kata-kata hanya
akan menghasilkan suatu amanat bila dihubungkan dengan kata-kata
lainnya.[20] Amanat itu muncul dalam bentuk konsep, atau pesan dari penulis Alkitab kepada pembaca atau
pendengar mula-mulanya. Dengan cermat Robinson menyatakan:
Seorang
ekspositor mengkomunikasikan suatu konsep . . . . Karena itu, di dalam
pendekatan kita terhadap Alkitab, perhatian kita pertama-tama bukan
diarahkan pada arti kata per kata, melainkan pada maksud para penulis
Alkitab dalam menggunakan kata-kata itu. Dengan kata lain, kita tidak
dapat mengerti konsep-konsep yang ada dalam sebuah perikop hanya dengan
menganalisis kata-kata yang ada di dalamnya secara terpisah-pisah. . . .
Jika kita ingin mengerti Alkitab untuk mengkomunikasikan amanatnya,
kita harus memahaminya dalam tataran ide-ide.[21]
Jelaslah,
khotbah ekspositori bukanlah khotbah yang berisi penjelasan ayat per
ayat dan kata per kata tanpa menghiraukan amanat teks sebagai kesatuan
pesannya.
Khotbah ekspositori adalah khotbah yang selalu berbentuk poin-poin
Tidak benar bahwa khotbah ekspositori itu harus mempunyai kerangka yang berbentuk poin-poin (deductive model), atau yang lebih dikenal dengan sebutan three-point sermon. Kesalahpahaman ini membuat bentuk khotbah ekspositori menjadi monoton, membosankan, dan tidak kreatif. Padahal,
bentuk
khotbah ekspositori dapat bervariasi, kadangkala bisa dalam bentuk
deduktif, induktif (di mana salah satu bentuknya adalah narasi), atau
kombinasi keduanya. Penggunaan poin-poin dan subpoin hanyalah salah satu
cara dalam mengkomunikasikan amanat suatu khotbah dan cara itu sangat
tepat bila struktur teks itu sendiri mempunyai pola demikian, tetapi
tentu saja tidak semua teks Alkitab seperti itu.[22]
Bila teks Alkitab yang digunakan oleh pengkhotbah berasal dari
surat-surat, penggunaan model deduktif dengan memakai poin-poin dan
subpoin sangat tepat, karena pada umumnya teks-teks yang berbentuk surat
terbagi dalam pokok-pokok pikiran yang jelas. Tetapi, bila teks yang
diambil berbentuk narasi, maka penggunaan model deduktif akan membuat
teks narasi itu kehilangan sebagian kekuatannya. Dalam kasus ini, model
induktif lebih tepat dipergunakan. Karenanya, pengkhotbah perlu belajar
untuk melepaskan diri dari keharusan bentuk three-point sermon. Kesimpulannya, khotbah ekspositori
bukanlah khotbah yang selalu ditandai dengan adanya poin-poin dalam kerangkanya.
Khotbah ekspositori adalah khotbah yang didominasi oleh eksegese
Walaupun dari sudut etimologinya istilah ekspositori didominasi oleh pengertian penjelasan atau penguraian,[23] namun
tidak tepat bila kemudian dianggap bahwa khotbah ekspositori itu
semata-mata harus dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan eksegese tanpa
aplikasi yang relevan bagi pendengar. Memang khotbah seperti itu akan
terlihat sangat akademis, tetapi itu tidak berarti banyak bagi para
pendengar. Yang dibutuhkan mereka bukan sebuah ceramah tentang
fakta-fakta Alkitab, melainkan sebuah khotbah yang menyatakan apa yang
Tuhan ingin katakan kepada mereka secara pribadi.
Karenanya,
yang utama bagi seorang pengkhotbah ekspositori adalah membuat amanat
teks yang telah berbicara kepada orang-orang percaya pada masa lalu
kembali berbicara kepada umat Allah pada masa kini. Amanat teks itu
tidak akan berdampak apa-apa sampai pengkhotbah mengaplikasikan
kebenarannya ke dalam hidup para pendengar. Perlu untuk diingat bahwa
khotbah ekspositori bukanlah khotbah yang melulu berisi penjelasan
alkitabiah.
Manfaat Khotbah Ekspositori
Dalam
memahami khotbah ekspositori secara lebih menyeluruh, kita perlu
mengetahui apa manfaatnya khotbah ekspositori itu. Pada kenyataannya,
khotbah ekspositori mempunyai banyak manfaat baik bagi pengkhotbah
maupun bagi jemaat. Berikut ini kita akan melihat manfaatmanfaat bagi
keduanya.
Bagi Pengkhotbah
Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan integritas
Sesuai substansinya, khotbah ekspositori mewajibkan pengkhotbahnya untuk menyampaikan apa yang Allah katakan dan bukan apa yang pengkhotbah ingin katakan; itu sebabnya pengkhotbah tidak bisa membuat amanat teks yang mendasari khotbahnya secara akal-akalan atau rekayasa tanpa penyelidikan yang serius. Pengkhotbah yang tidak mau peduli pada amanat
teks, sesungguhnya sedang memanipulasi pendengarnya. Seperti seorang
duta, seorang pengkhotbah bukanlah seorang yang bebas; ia berbicara di
mimbar hanya untuk menyampaikan amanat yang dibawanya, bukan amanat yang
diciptanya. Penyimpangan makna teks Alkitab bisa menghasilkan iman
Kristen yang menyimpang. Itu sebabnya, tidak ada jalan lain bagi
pengkhotbah kecuali bekerja keras, “mencangkul” dan “menggali” teks
dalam konteksnya untuk mendapatkan amanat yang sesungguhnya. Tuntutan
ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan integritas pengkhotbah menjadi
seorang pemberita firman yang serius, tidak memanipulasi berita, tidak
malas, dan tidak sembarangan.
Memupuk rasa percaya diri yang benar
Otoritas yang paling kuat dari seorang pengkhotbah bukan terletak pada dirinya sendiri, melainkan pada amanat khotbah yang dibawanya. Bila amanat khotbah yang akan disampaikannya itu sungguh-sungguh amanat teks firman Tuhan, maka pengkhotbah boleh yakin bahwa Roh Kudus yang sama, yang telah menginspirasikan penulis untuk menulis teks tersebut, akan bekerja mendukung firman-Nya sendiri. Paulus mempunyai keyakinan seperti itu ketika ia berkata kepada jemaat Korintus, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang menyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1Kor. 2:4). Yang mampu mengubah hati manusia bukanlah hikmat dan kekuatan manusia, tetapi kekuatan Roh Kudus yang bekerja melalui firman-Nya. Dengan pemahaman demikian, seorang pengkhotbah ekspositori, betapapun sederhana khotbah yang disampaikannya, dapat berdiri dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Memberi dukungan wibawa dalam mengaplikasi khotbah
Salah satu sebab mengapa aplikasi suatu khotbah sering kali tidak bisa diterima oleh pendengar adalah karena aplikasi itu tidak bersumber pada amanat
teks. Aplikasi yang seperti itu membuat pendengar merasa bahwa
pengkhotbah “menembak” mereka atau paling tidak menegur mereka tanpa
alasan yang kuat. Bila aplikasi khotbah bersumber dari amanat teks, maka
wibawa yang muncul dalam diri pengkhotbah bukan berasal dari dirinya,
melainkan semata-mata dari teks Alkitab. Terlebih lagi, bila pengkhotbah
menyusun khotbah seri dari sebuah kitab, maka pendengar tidak akan
berprasangka bahwa pengkhotbah sengaja memilih suatu topik tertentu untuk
diaplikasi pada mereka. Semua teguran, imbauan, dan nasihat akan
diterima dengan wajar oleh pendengar sebagai pesan dari Tuhan sendiri.
Menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman Alkitab yang lebih menyeluruh
Perangkap
yang sering menjerat seorang pengkhotbah adalah mengkhotbahkan hanya
teks-teks atau topik-topik tertentu dari Alkitab yang disukai atau
dikuasainya. Hal ini jelaslah akan merugikan bukan hanya jemaat,
melainkan juga pengkhotbah sendiri. Kecenderungan itu menghambat
pertumbuhan pengkhotbah dalam pengetahuan dan pemahaman firman Tuhan.
Khotbah ekspositori mendorong pengkhotbahnya untuk menggali dengan
serius kekayaan teks yang akan dikhotbahkan dengan kesadaran
bahwa
setiap teks mempunyai amanat dan latar belakang yang unik. Pengkhotbah
diajak untuk melihat apa yang selama ini mungkin belum pernah diminati
atau diperhatikannya. Hasilnya, cepat atau lambat pengetahuan dan
pemahaman Alkitabnya akan bertumbuh lebih holistis dan dalam.
Menyediakan bahan khotbah yang tak pernah habis
Seorang
pengkhotbah ekspositori tidak akan pernah kehabisan bahan khotbah sebab
di dalam Alkitab ada puluhan ribu teks Alkitab yang mempunyai konteks
yang berbeda-beda. Itu berarti, materi penjelasan dan amanat setiap teks
yang dikhotbahkan tidak akan pernah sama. Sekarang, yang menjadi
tantangan pengkhotbah bukanlah soal mencari bahan-bahan khotbah, tetapi
soal menggali teks-teks itu dan membuat beritanya dirasakan lagi oleh
orang-orang zaman kini.
Mengurangi stres dalam memilih topik khotbah
Menentukan
topik khotbah, terlebih lagi bagi seorang gembala yang berkhotbah
tiap-tiap minggu di depan jemaatnya, sering kali menimbulkan tekanan
yang tidak ringan. Adakalanya beberapa hari menjelang berkhotbah, ia
masih belum dapat menemukan topik yang akan ia khotbahkan, atau mungkin
juga ia sudah beberapa kali mengganti topik tanpa kepastian. Bila
waktunya makin mendekat, stresnya pun akan makin meningkat. Dalam
keadaan demikian, hampir dapat dipastikan khotbah yang dihasilkan adalah
khotbah yang tidak “matang.” Sejatinya, pengkhotbah dapat menghindari
stres yang demikian ini dengan menyampaikan khotbah ekspositori. Ia
hanya perlu menentukan teks apa yang akan ia khotbahkan, bukan
topiknya, kemudian ia menggalinya dengan setia dan tekun. Akan lebih
memudahkan lagi bila gereja menentukan khotbah seri dari suatu kitab.
Dari Senin pengkhotbah sudah mengetahui perikop apa yang akan
dikhotbahkannya pada minggu depan. Persiapan bisa dilakukan segera dan
waktu yang tersedia baginya cukup untuk menyusun khotbah yang baik.
Bagi Pendengar
Firman Tuhan akan menjadi makanan rohani yang sehat
Seumpama
makanan, khotbah ekspositori bukanlah camilan, melainkan makanan sehat
yang kandungan gizinya mampu memenuhi kebutuhan yang diperlukan bagi
pertumbuhan rohani jemaat. Jemaat akan mendengar khotbah-khotbah
alkitabiah dan relevan yang merupakan makanan rohani yang murni yang
berasal dari firman Tuhan. Ini akan menjamin adanya pertumbuhan iman
jemaat, sebagaimana Paulus tuliskan bahwa iman timbul dari pendengaran
dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm. 10:17).
Menumbuhkan pemahaman Alkitab yang lebih baik dan utuh
Khotbah
ekspositori bukan hanya membuat pengkhotbah bertumbuh dalam pemahaman
Alkitab, melainkan jemaat pun ikut bertumbuh. Melalui
penjelasan-penjelasan yang diberikan, jemaat belajar untuk memahami
firman Tuhan berdasarkan konteksnya. Selain mengetahui apa yang Tuhan
perintahkan, mereka juga memahami latar belakang mengapa Tuhan memberi
perintah tersebut. Lambat laun, hal ini akan membentuk pola pikir yang
sehat dalam diri jemaat dalam memahami Alkitab. Jemaat tidak akan mudah
diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran sesat yang seringkali
mendasarkan pengajaran mereka dari ayat-ayat yang diambil lepas dari
konteksnya.
Memupuk kecintaan dan kekaguman pada firman Tuhan
Karena
khotbah ekspositori memfokuskan pemberitaannya pada amanat teks
Alkitab, maka perhatian jemaat selama khotbah diarahkan terusmenerus
pada apa yang dikatakan oleh Alkitab. Jemaat akan melihat kekayaan dan
keunikan Alkitab sebagai firman Allah yang tidak ada habishabisnya bagi
mereka. Wajarlah jika kesan pendengar setelah mereka mendengar khotbah
ekspositori adalah perasaan kagum pada keindahan dan kuasa firman Tuhan,
bukan pada diri pengkhotbah. Kendati tidak dapat dipungkiri bahwa
seorang pengkhotbah ekspositori yang baik akan dikagumi oleh jemaatnya,
tetapi yang utama dan pertama adalah kekaguman dan kecintaan jemaat pada
firman Tuhan.
Mendapat makanan rohani yang seimbang
Kecenderungan
pengkhotbah untuk mengkhotbahkan topik-topik atau teks-teks favoritnya
sering kali didorong oleh latar belakang teologi yang dimilikinya.
Seorang pengkhotbah yang mempunyai paham teologi kemakmuran akan lebih
banyak mengangkat ayat-ayat yang berkenaan dengan berkat dan kesuksesan.
Sebaliknya, seorang pengkhotbah yang mempunyai paham teologi
penderitaan khotbah-khotbahnya kental dengan nuansa penderitaan. Begitu
juga, seorang pengkhotbah yang mempunyai kesukaan berbicara tentang hati
Bapa akan selalu mendasari khotbahnya dengan ayatayat Alkitab yang
berhubungan dengan kasih Bapa. Kecenderungan semacam ini menimbulkan
ketidakseimbangan “gizi” rohani bagi jemaat karena mereka akan mendengar
topik yang sama berulang-ulang selama mereka menjadi jemaat di gereja
tersebut. Khotbah ekspositori, yang mendasari khotbah dengan amanat
teks, bukan amanat favoritnya, dapat menghindari pengkhotbah dari
kecenderungan tersebut. Dengan demikian, jemaat dapat menikmati makanan
rohani yang seimbang dan beragam.
Tinjauan terhadap Kritikan-kritikan yang Ditujukan pada Khotbah Ekspositori
Walaupun
pada umumnya khotbah ekspositori telah diajarkan di banyak sekolah
tinggi teologi, seminari, atau juga pada pelatihan-pelatihan khotbah,
kenyataannya tidak banyak pengkhotbah yang mempraktikkan pendekatan ini
dengan konsisten. Penyebabnya bukan karena mereka tidak mengakui bahwa
pendekatan khotbah ekspositori sangat baik, melainkan lebih karena
kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi saat mempersiapkan khotbah
ekspositori ini. Kesulitan-kesulitan inilah yang melahirkan
kritikan-kritikan pada khotbah ekspositori. Biasanya kritikan-kritikan
itu berkisar pada persoalan bahwa khotbah ekspositori membutuhkan waktu
persiapan yang panjang, kurang aplikatif, dan monoton. Sebenarnya, dalam
pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa khotbah ekspositori
tidak memiliki kelemahan-kelemahan seperti itu. Sekali lagi,
kritikan-kritikan seperti itu bukan dikarenakan pada hakikat khotbah
ekspositori, melainkan pada masalah kesulitan-kesulitan pribadi yang
melaksanakannya. Untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, berikut ini akan dibahas tujuh langkah menyusun khotbah ekspositori.
[1]Harold T. Bryson, Expository Preaching: The Art of Preaching Through a Book of the Bible (Nashville: Broadman & Holman Publisher, 1995), 15-25.
[2]Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna (Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga; Balai Pustaka, 2002]), 309.
[4] Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang berkaitan dengan satuan bentuk bahasa yang dipakai. Disarikan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, 755.
[7] Ibid, 22-26.
[8] John A. Broadus, On the Preparation and Delivery of Sermons (ed. J. B. Weatherspoon; NewYork: Harper and Row, 1944), 303.
[10] Dalam bahasa Inggris kata yang sering dipakai untuk menunjukkan pesan yang ingin disampaikan penulis dalam suatu teks adalah message.
Dalam bahasa Indonesia kata ini sering diterjemahkan dengan pesan,
berita, pengertian, gagasan, atau ide. Tetapi, dalam buku ini
dipergunakan kata “amanat” dengan pertimbangan bahwa kata amanat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.” Pengertian ini
lebih sesuai dengan makna kata message dalam bahasa Inggris.
[11] John W. R. Stott, Between Two Worlds: The Art of Preaching in the Twentieth Century (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 126.
[12] Haddon W. Robinson, Biblical Preaching: The Development and Delivery of Expository Messages (Grand Rapids: Baker, 1980), 22.
[13] Ibid., 20.
[14] Bryan Chapell, Christ-Centered Preaching: Redeeming the Expository Sermon (Grand Rapids: Baker, 1994), 131.
[16] Faris D. Whitesell, Power in Expository Preaching (Westwood, N. J. : Fleming H. Revell Co., 1967), vii.
[19] Cara pendekatan khotbah seperti ini lebih dikenal dengan sebutan homili (running commentary) atau tafsiran berjalan.
[21] Ibid.
[23] Penekanan
ini juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
mendefinisikan kata eksposisi sebagai uraian atau paparan yang bertujuan
menjelaskan maksud dan tujuan, khususnya yang bersangkut paut dengan
suatu karangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290).
http://bennysolihin.blogspot.com/2011/05/buku-7-langkah-pengertian-khotbah_30.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar