Oleh Pdt. Dr. Stephen Tong
Dua hari yang lalu dalam suatu kesempatan yang baik, saya bertemu
dengan dua orang saudara saya, Pdt. Dr. Caleb Tong dan Pdt. Dr. Joseph
Tong. Saya menjemput mereka di bandara dan waktu di bandara seseorang
datang kepada saya dan bertanya, “Pak Stephen ya?” Saya bilang, “Ya.”
Kami berjabat tangan. “Anda ikut kebaktian di mana?” Saya bertanya
padanya dan dia menjawab, “Ya, dulu pernah satu dua kali mendengar
khotbah Pak Stephen Tong. Kemudian saya ke gereja-gereja yang lain.
Sesudah itu keliling sini, keliling sana, tidak menetap.”Lalu saya
bertanya, “Sekarang ke gereja mana?” Jawabannya, “Tidak ke gereja.” Saya
bertanya, “Sekarang tidak ke gereja?” Dia merokok dengan satu tangannya
ditaruh di belakang. Asap rokoknya terus mengepul seraya berbicara dan
ngomong dengan saya. Saya rasa dia sudah melarikan diri dari Tuhan. Lalu
saya bertanya, “Mengapa tidak ke gereja?” Dia menjawab, “Kecewa.”
“Kecewa dengan siapa?” tanya saya. “Terus terang kecewa kepada Tuhan,”
setelah mengatakan kalimat itu, dia lalu pergi.
Saya tidak habis-habisnya memikirkan kalimat itu. Berhakkah?
Berhakkah manusia yang dicipta kecewa terhadap Sang Penciptanya? Ini
yang menjadi pemikiran saya. Who are we? We think we deserve the right
to claim we are disappointed by God. Siapakah kita yang berhak
mengatakan, “Aku dikecewakan oleh Tuhan. Aku kecewa terhadap Tuhan.”
Kalimat ini membuat saya memutar pikiran sepanjang satu hari itu.
Theologi apakah ini? Theologi ajaran apakah yang mengajar manusia,
sehingga berani mengatakan, “Allah mengecewakan saya.” Kalau Allah
mengecewakan seseorang, hanya karena beberapa sebab, yaitu: Pertama,
Allah berutang kepada saya dan Dia lupa bayar, maka saya kecewa. Kedua,
Allah menipu saya, akhirnya saya dirugikan, maka saya kecewa. Ketiga,
Allah berjanji sesuatu, akhirnya Dia tidak melunaskannya, sehingga saya
kecewa. Tiga presuposisi ini, semuanya tidak memiliki dasar Alkitab.
Allah tidak pernah berutang kepada manusia. Theologi yang benar
mengatakan, manusia berutang kemuliaan Allah dan tidak bisa membayar
sendiri. Yang seharusnya dikatakan adalah kitalah yang mengecewakan
Tuhan, bukan Tuhan yang mengecewakan kita. Allah tidak pernah
menjanjikan sesuatu yang Dia sendiri tidak melunaskannya, kecuali janji
itu adalah semacam tafsiran manusia dan “misleading” (penyesatan) dari
orang yang salah mengerti Alkitab. Jadi, Allah tidak berutang kepada
saya, Allah tidak sembarang berjanji kepada saya, Allah tidak mungkin
menipu saya.
Jika demikian apakah penyebabnya? Penyebab pertama adalah adanya
pengkhotbah-pengkhotbah yang memberikan tafsiran yang salah terhadap
ayat-ayat Alkitab. Misalnya, yang percaya kepada Tuhan pasti dapat
kekayaan, pasti dapat hidup yang subur, makmur di dalam materi. Yang
percaya kepada Tuhan pasti tidak ada marabahaya, penyakit, kesulitan,
dan kemiskinan. Misalnya lagi, jikalau engkau memberikan persembahan,
Tuhan akan mengembalikan sepuluh kali lipat ganda. Apakah saudara pernah
mendengar khotbah semacam ini? Hal ini terjadi sejak kira-kira 25 tahun
yang lalu, selangkah demi selangkah merambat masuk ke dalam
mimbar-mimbar gereja yang tidak bertanggung jawab. Tetapi setiap
statement yang tidak benar, bisa juga mendapatkan tunjangan dari Kitab
Suci. Jadi ada ayat-ayat yang sepertinya mendukung statement itu, karena
dimengerti secara fragmentaris, dan bukan secara totalitas. Karena
mengambil ayat sebagian-sebagian lalu mengkhotbahkannya, sangat mungkin
terjadi misleading bagi orang lain yang mendengarnya.
Kedua, pengertian yang tidak membandingkan antara satu ayat dengan
ayat yang lain, mengakibatkan tidak diperolehnya prinsip total Kitab
Suci. Mengambil suatu keputusan melalui bagian-bagian, lalu membuat
statement. Hal ini sangat membahayakan. Saudara sebagai pengkhotbah,
sebagai pemimpin gereja, sebagai pembawa firman, sebagai pemberita
kehendak Tuhan, harus menghindarkan diri dari hal-hal semacam itu.
Saya percaya, bukan dia saja, mungkin seluruh Indonesia berani
mengatakan, “Aku kecewa terhadap Tuhan.” Mungkin sudah puluhan juta
orang pernah mempunyai ajaran salah yang menuju pada konklusi bahwa
Allah menipu dia, Allah tidak melunaskan janji-Nya, Allah berutang
kepada dia sehingga dia berani mengatakan, “Saya kecewa kepada Tuhan.”
Tahun 1965, kalau saya tidak salah ingat, gunung Agung meletus di
Bali. Lavanya mengalir begitu cepat, sehingga banyak orang yang tidak
sempat mengungsi, mendadak terkena lava. Pada waktu itu saya berada di
Bandung, lalu seorang wartawan datang kepada saya, “Pak Stephen,
bolehkah saya tunjukkan kira-kira 180 foto yang saya ambil dengan cepat
pada waktu orang-orang terkena lava itu?” Saya sedang makan ketika
wartawan itu datang dan duduk di samping saya. Waktu saya melihat
foto-foto tersebut, rasanya saya ingin muntah. Ada orang yang sedang
tidur, lavanya datang dan saat itu juga separuh badannya menjadi tulang,
dan separuhnya masih daging. Di tengah-tengah sambungan antara daging
dan tempat tulang itu, ada satu garis putih yang besar dan bengkak,
seperti kulit babi yang digoreng jadi rambak/krupuk. Bagian yang terkena
api panas itu langsung melembung. Satu bagian masih daging biasa,
bagian yang lain, matang menjadi seperti rambak. Meskipun saya mau
muntah tapi saya dikejar oleh kuriositas, jadi satu per satu foto
tersebut saya lihat sambil mau mengeluarkan air mata, sambil mau
menangis, sambil mau berteriak, tetapi tidak bisa. Namun ada beberapa
foto yang menggugah theologi saya, yaitu lava yang sudah dekat kira-kira
tiga meter lagi, dan dalam beberapa detik akan terkena lava, tetapi
orang tersebut tidak lari, ia sedang berlutut berdoa kepada dewa. Waktu
saya lihat, saya berpikir, “Wah! Ini begitu beda dengan orang Kristen.
Mengapa ada orang Kristen pada hari lancar, dia berani berdosa. Sedikit
rugi, langsung mencaci maki Tuhan Allah. Mengapa orang kafir waktu
mereka menghadapi kecelakaan, mereka tidak memaki-maki dewa mereka.
Mereka minta pertolongan dewa, jangan sampai memusnahkan mereka. Mereka
mengaku kesalahan, mengaku dosa.” Pemikiran ini terus mempengaruhi saya
sampai sekarang, sudah lebih dari 30 tahun.
Pemikiran itu adalah, Why?…Why? … What causes that? What causes it to
be like that? Apa salahnya pemberitaan kita? Apa salahnya khotbah kita,
sehingga anggota kita selalu merasa dia sepatutnya menerima anugerah
Tuhan dan tidak boleh dirugikan apapun oleh Tuhan, kalau tidak, Allah
harus dicela, dimaki, dipersalahkan, dan akhirnya dia keluar dari
gereja.
Lalu dari situ, pemikiran saya mulai berkembang pada the theology of
suffering, the theology of worship, the theology of understanding grace,
theology of resistant to the tribulation. Berkembanglah begitu banyak
pemikiran saya semenjak melihat 180 foto tersebut. Mengapakah
orang-orang Asia dengan sedikit kesulitan, meninggalkan gereja, keluar
dari gereja? Mengapa orang Yahudi yang dibantai, dibunuh dengan gas,
dihancurkan hidupnya, enam juta setengah jiwa, di dalam holocaust,
tetapi mereka tetap menyembah Allah, tetap takut kepada Tuhan dan mereka
tidak pernah meninggalkan iman mereka? Jadi, what’s wrong? Apa yang
salah di dalam pemberitaan kekristenan? Jawaban saya adalah satu
kalimat, “Kita lebih suka memberitakan Allah itu kasih adanya, mengobral
murah kasih Allah daripada berani mengkhotbahkan Allah itu suci dan
adil, Dia akan menghakimi dosa seluruh dunia.”
Dari konklusi ini, pemikiran saya berkembang lagi, di manakah
hamba-hamba Tuhan yang berani menyatakan tahta kemarahan Tuhan, keadilan
Tuhan, kesucian Tuhan, untuk mengingatkan bangsa dan zaman ini? Semakin
lama semakin sedikit. Tetapi pendeta yang berusaha memberikan injil
palsu supaya gerejanya bertumbuh, supaya lebih banyak orang mendengar
khotbahnya dengan kalimat, “Percayalah Tuhan, semua penyakit akan
disembuhkan, semua kesulitan diatasi, semua akan diberikan kepada
engkau” begitu banyak sekali, bahkan di dalam aliran Pentakosta dan
Karismatik sudah teracun satu pikiran: dengan banyak mujizat yang
dilihat, orang akan beriman.
Namun hari ini saya akan menunjukkan dua prinsip. Prinsip pertama,
Yohanes Pembaptis tidak pernah melakukan satu mujizat pun, namun banyak
orang yang percaya melalui dia. Karena sifat lurus, jujur, berani, dan
tidak mau dipengaruhi oleh dosa sehingga dia berkhotbah dengan kuasa
luar biasa. Itu catatan Alkitab. Yohanes tidak pernah melakukan satu
mujizat pun, tetapi yang percaya karena dia banyak sekali. Kedua, Islam
adalah satu agama yang tidak pernah mengembangkan anggota mereka melalui
daya tarik mujizat. Tidak pernah hal itu terjadi. Pada zaman filsuf
David Hume, one of the greatest scepticist in the history of human
philosophy, ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang dipakai oleh orang
Kristen untuk membuktikan agama Kristen sebagai satu-satunya agama yang
sah adalah tidak adanya mujizat pada agama lain, tetapi hanya ada pada
agama Kristen dan dimuat di dalam Kitab Suci. Tetapi cara dia melawan
kekristenan justru dengan pertanyaan pernahkah mujizat yang dicatat
dalam Kitab Suci orang Kristen, terjadi? Itupun belum bisa dibuktikan.
Maka memakai bukti bahwa Kristen ada mujizat maka Kristen itu sah, pada
hakekatnya tidak pernah mempunyai dukungan bukti. Apakah yang dicatat
dalam Kitab Suci sungguh-sungguh pernah terjadi? Jadi dia menjadi
scepticist. Itu namanya to destroy from the foundation the seeking of
Christian foundation.
Orang Kristen pada zaman itu selalu memakai fondasi-fondasi yang
salah yang sebenarnya bukan fondasi untuk membangun iman. Kalau kita
membiasakan diri menjadi pemberita, hoki, fat choi, property, kesuksesan
sebagai imbalan kalau percaya kepada Tuhan, maka kita akan menciptakan
orang-orang yang akhirnya melarikan diri dari kekristenan dengan
kalimat, “Aku tidak lagi ke gereja karena aku kecewa kepada Tuhan.”
Saudara seharusnya mempersiapkan diri menjadi hamba Tuhan yang
bertanggung jawab dalam pemberitaan firman, sehingga anggotamu selalu
menuntut, “Saya jangan menipu Tuhan, saya jangan berutang kepada Tuhan,
saya harus menepati apa yang saya janjikan kepada Tuhan.” Dan bukan
berkata, “Tuhan berutang kepada saya, Tuhan menipu saya, apa yang Tuhan
janjikan, tidak saya dapatkan, maka saya berhak melawan dan kecewa
kepada Dia.” Kiranya renungan pendek ini menjadi kekuatan bagi kita
untuk menegakkan kembali kebenaran di dalam zaman ini.
Sumber: Majalah MOMENTUM No. 39 – Maret 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar