Kamis, 02 Februari 2012

Memandang Salib Rajaku


Galatia 6:14




Dalam hari-hari menjelang perayaan sengsara dan kebangkitan Yesus pada tahun ini, ada begitu banyak tugas pelayanan yang harus saya kerjakan. Mulai dari menentukan tema untuk tiga acara "besar" : Malam Getsemani (Kamis), Jumat Agung dan Minggu Paskah sampai dengan membuat liturgi kebaktian untuk acara-acara tersebut. Waktu harus memilih tema untuk Kebaktian Jumat Agung yang disertai dengan Perjamuan Kudus, maka pilihan saya jatuh ke tema "Memandang Salib Rajaku" yang juga menjadi judul renungan ini. Tema tersebut saya angkat dari salah satu lagu yang terdapat dalam Kidung Jemaat. Judul asli dari lagu yang terdapat dalam Kidung Jemaat no 169 tersebut adalah When I Survey the Wondrous Cross yang ditulis oleh Isaac Watts pada tahun 1707. Hampir 300 tahun lagu itu telah berkumandang dan akan terus menggetarkan hati banyak orang.
Dalam versi terjemahan Kidung Jemaat, pada bait pertama tertulis :
Memandang salib Rajaku yang mati untuk dunia,
Ku rasa hancur congkakku dan harta hilang harganya
Bait pertama tersebut senantiasa mengingatkan saya bahwa manusia yang tergantung di kayu salib tersebut sebenarnya adalah raja dan junjungan saya. Menyaksikan seorang raja dalam kemulian dan kejayaan adalah suatu yang biasa. Menyaksikan seorang raja dalam kehinaan dan kematiannya adalah sebuah peristiwa luar biasa. Apalagi kematian di atas kayu salib yang begitu memilukan dan memalukan. Seorang raja yang punya segala kuasa harus mati di atas kayu salib bersama-sama dengan dua orang pelaku kejahatan kelas berat. Betapa tragisnya. Ketika Manusia Punya Sedikit Kuasa
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah menyaksikan betapa kekuasaan itu identik dengan kekuatan, penghargaan dan kekayaan. Siapapun yang berkuasa akan dengan mudah mendapatkan akses yang terbuka lebar kepada tiga hal tersebut. Tidak mengherankan apabila kekuasaan selalu diperebutkan, kalau perlu dengan mempertaruhkan nyawa orang lain atau bahkan nyawa diri sendiri. Ada godaan yang begitu besar bagi setiap penguasa untuk memanfaatkan kekuasaan bagi diri dan kelomponya sendiri. Hal ini tepat seperti apa yang pernah dikatakan oleh Lord Ancton bahwa, "Power tends to corrupts and absolute power corrupts absolutely". Hampir semua orang, selain haus dengan kekuasaan juga punya kecenderungan untuk memamerkan kuasanya. Sebagai contoh sederhana adalah soal antrian mengambil atau menyetor uang di bank. Dalam satu kesempatan di tengah antrian yang begitu panjang di sebuah bank, seseorang dengan pakaian dinas dari sebuah kantor pemerintah tiba-tiba berjalan maju dan melewati begitu saja antrian orang dan kemudian menaruh buku tabungannya di teller. Seorang satpam yang mencoba mengingatkan pun hanya terseyum kecut tatkala orang yang bersangkutan dengan tenang mengatakan, "Ini urusan dinas, jangan ikut campur." Entah benar atau tidak perkataan itu, yang jelas orang bersangkutan mengatakan demikian sambil sedikit membuka jaketnya untuk menunjukkan apa yang ada di balik jaket itu : sebuah senjata api.
Silakan juga memperhatikan bagaimana ganasnya sebagian pegawai ketertiban umum dalam "menertibkan" para pedagang kaki lima. Tentu saja saya tidak bermaksud untuk membenarkan pedagang kaki lima yang melanggar aturan. Aturan memang harus ditaati dan ditegakkan, tetapi tentu dengan cara-cara yang manusiawi. Tidak jarang terdengar kabar bahwa konon-entah benar atau tidak--para petugas ketertiban umum itu juga meminta bantuan para preman untuk menjalankan tugasnya. Dalam waktu beberapa saat berhamburanlah manusia yang sedang mencari makan untuk hidupnya. Kadang ada tendangan dan pukulan, tidak jarang pula ada kerusakan barang-barang dagangan. Manusia yang sehari-hari juga makan nasi itu tiba-tiba saja bisa menjadi begitu garang dan ganas ketika sudah memakai seragam tertentu dan menenteng pentungan. Atas nama peraturan ketertiban dilakukanlah "penertiban" dengan cara yang tentu saja tidak bisa dibilang tertib itu. Sedikit lebih jauh, bukankah sebenarnya para petugas ketertiban umum itu tidak jarang harus melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hati nurani mereka. Tidak ada di antara mereka yang lahir dengan kecendurangan untuk merusak dan menginjak-injak milik orang lain. Mungkin mereka terpaksa melakukannya karena kuasa di atas mereka. Kekuasaan yang ada di atas mereka telah memaksa mereka menjadi tidak lebih dari sekedar "alat". Keberadaan para petugas ketertiban itu, menurut saya, seringkali merupakan contoh nyata betapa kekuasaan manusia itu cenderung tidak memanusiakan manusia lain.
Ingin melihat contoh yang lain? Silakan tengok pada apa yang terjadi di dalam kehidupan bergereja kita. Tidak terbilang berapa kali saya mendengar keluhan bahwa majelis di gereja tertentu begitu dan begini, juga keluhan adanya pendeta di gereja tertentu yang juga begitu dan begini. Begitu dan begini yang saya maksud tentu bukan suatu hal yang baik dan menyenangkan. Kalau Anda ingin melihat bagaimana sebetulnya sebagian besar warga gereja berperilaku, jangan memperhatikan apa yang mereka lakukan waktu mengikuti ibadah minggu pagi. Silakan aja datang dan memperhatikan-apabila diijinkan tentunya-situasi rapat kerja majelis atau komisi. Tentu saja ada di beberapa tempat di mana rapat-rapat itu menjadi sedemikian lancar dan menyenangkan. Di sisi lain, ada juga rapat-rapat seperti itu berubah menjadi ajang debat kusir yang sangat memanas plus kadang-kadang ada juga yang disertai dengan tindakan menggebrak meja-yang tentunya tidak bisa protes mengapa dirinya digebrak-gebrak. Maka terjadilah adu kefasihan lidah untuk berbicara, adu kuat dukungan pengikut dan juga mungkin adu fisik, kalau tidak segera dilerai. Semua ingin menjadi orang yang berkuasa. Semua ingin dilihat sebagai orang yang punya pengaruh dan pengikut. Dalam batas-batas tertentu keinginan tersebut adalah wajar, tetapi cara untuk mewujudkannya itulah yang seringkali menjadi masalah.

Ketika manusia berkuasa-entah di masyarakat dan bahkan gereja-ada kecenderungan untuk tidak memanusiakan manusia lain. Kuasa itu seringkali menutup manusia untuk melihat bahwa orang lain adalah juga manusia yang tentunya harus diperlakukan secara manusiawi. Satu-satunya yang dimanusiakan oleh kekuasaan itu adalah para penguasa itu sendiri. Tidak mengherankan apabila kekuasaan bisa mengubah orientasi hidup seseorang. Betapa banyak hal itu telah kita saksikan di dalam bangsa ini dan juga di dalam gereja kita.
Ketika Yesus Kristus Punya Segala Kuasa Alkitab jelas berbicara bahwa Yesus Kristus mempunyai segala kuasa di bumi dan di surga. Pada malam menjelang penangkapannya di Getsemani, Ia menghardik Petrus yang berlagak membelanya dengan pedang. Ia mengatakan bahwa jika Ia mau maka Allah akan mengirim pasukan malaikat untuk menyelamatkan-Nya. Yesus Kristus, yang punya segala kuasa itu ternyata menyerah di bawah todongan senjata prajurit-prajurit Romawi. Mulailah masa kesengsaraan bagi dirinya. Yesus Kristus yang adalah raja segala raja itu harus diadili oleh penguasa-penguasa agama dan politik yang sebenarnya hanya punya secuil kuasa. Dalam perjumpaannya dengan Pilatus yang dengan pongah berkata, "Tidakkah Engkau mau berbicara dengan aku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" Yesus mengingatkan bahwa kuasa yang dimiliki oleh Pilatus berasal dari atas. Ia berkata, "Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas" (Yoh 19).
Menjelang disalibkan pun, Yesus raja segala raja itu harus rela diolok-olok oleh para prajurit. Mereka mengenakan jubah ungu dan menaruh sebuah mahkota duri di atas kepala-Nya. Sebuah olok-olok yang sangat menyakitkan. Injil Matius menulis bahwa para prajurit itu itu memukul kepala-Nya dan juga meludahi-Nya dan berpura-pura berlutut menyembah-Nya (Mat 26:67). Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada pura-pura diperlakukan sebagai seorang raja padahal dirinya sendiri benar-benar adalah seorang raja. Ketika Yesus Kristus sudah berada di atas kayu salib, para prajurit pun tidak henti-hentinya mengolok-olok dan meminta-Nya untuk memperlihatkan kuasanya dengan turun dari atas kayu salib. Tulisan yang di pasang di atas salib itu sendiri bahkan adalah sebuah olokan bagi-Nya.
Jika Yesus benar-benar raja yang berkuasa, mengapa ia tidak segera membungkam mulut mereka yang mengolok-oloknya dengan menunjukkan sedikit saja kuasa-Nya? Bukankah Yesus yang sama juga inilah yang telah melakukan banyak mukjizat? Bukankah sepatah kata yang keluar dari mulutnya bisa menghanguskan semua manusia yang mengolok-oloknya? Bukankah sepatah kata yang keluar dari mulut-Nya bisa memanggil malaikat di surga? Tidak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Yesus. Di antara kata-kata yang tidak banyak itu tidak terdapat kutukan atau caci maki dan juga ancaman. Dari mulut-Nya itu justru keluar kata-kata kasih dan pengampunan.
Waktu saya memandang salib Yesus, kembali saya diingatkan apa artinya menjadi berkuasa atau memiliki kuasa. Menjadi berkuasa atau memiliki kuasa berarti mempunyai kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi manusia lain. Bukan untuk mengambil keuntungan dari orang lain, tetapi untuk memberi keuntungan bagi orang lain. Salib itu mengingatkan saya bahwa kekuasaaan yang sesungguhnya bertujuaan untuk menanusiakan manusia lain dan bukan hanya memanusiakan mereka yang berkuasa. Salib itu mengingatkan saya bahwa kebesaran kekuasaaan diukur bukan dengan seberapa banyak yang bisa diperoleh dengan kekuasaan itu, tetapi seberapa besar kekuasaan itu memberi kepada orang lain. Itu yang saya lihat dari salib. Itu yang saya lihat dari diri Yesus. Kuasa-Nya digunakan untuk memberi dan memanusiakan manusia lain.

 
Doa dan harapan saya, semoga di masa Pra-Paskah ini, Yesus Kristus membuka mata dan telinga kita untuk melihat betapa banyaknya korban-korban kekuasaan yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak manusia yang tidak lagi diperlakukan sebagai manusia oleh karena kekuasaan. Tidak harus jauh-jauh melemparkan pandangan ke Aceh atau Papua, tetapi mulailah di sekeliling kita. Mulailah melihat ke dalam keluarga kita sendiri. Apakah selama ini "kekuasaan" yang kita miliki telah tidak memanusiakan anak-anak atau pasangan kita sendiri? Bukankah caci-maki dan pukulan bertubi-tubi sekedar untuk melampiaskan emosi adalah tindakan yang tidak memanusiakan anak atau pasangan hidup kita? Atau bagaimana dengan situasi di kantor tempat kita bekerja? Atau gereja tempat kita menjadi anggota dan beribadah? Apakah kita telah menggunakan kuasa yang mungkin ada pada kita untuk memanusiakan manusia lain? Atau justru untuk menghilangkan kemanusiaan manusia lain? Semoga kita semua bisa menjadi seperti Yesus: seorang manusia bagi manusia lain. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar