Oleh Wahyu Pramudya
Galatia 6:14
Dalam hari-hari menjelang
perayaan sengsara dan kebangkitan Yesus pada tahun ini, ada begitu banyak
tugas pelayanan yang harus saya kerjakan. Mulai dari menentukan tema untuk
tiga acara "besar" : Malam Getsemani (Kamis), Jumat Agung dan Minggu Paskah
sampai dengan membuat liturgi kebaktian untuk acara-acara tersebut. Waktu
harus memilih tema untuk Kebaktian Jumat Agung yang disertai dengan
Perjamuan Kudus, maka pilihan saya jatuh ke tema "Memandang Salib Rajaku"
yang juga menjadi judul renungan ini. Tema tersebut saya angkat dari salah
satu lagu yang terdapat dalam Kidung Jemaat. Judul asli dari lagu yang
terdapat dalam Kidung Jemaat no 169 tersebut adalah When I Survey the
Wondrous Cross yang ditulis oleh Isaac Watts pada tahun 1707. Hampir 300
tahun lagu itu telah berkumandang dan akan terus menggetarkan hati banyak
orang.
Dalam versi terjemahan Kidung Jemaat, pada bait pertama tertulis :
Dalam versi terjemahan Kidung Jemaat, pada bait pertama tertulis :
Memandang salib Rajaku yang
mati untuk dunia,
Ku rasa hancur congkakku
dan harta hilang harganya
Bait pertama tersebut senantiasa mengingatkan saya bahwa manusia yang
tergantung di kayu salib tersebut sebenarnya adalah raja dan junjungan
saya. Menyaksikan seorang raja dalam kemulian dan kejayaan adalah suatu
yang biasa. Menyaksikan seorang raja dalam kehinaan dan kematiannya adalah
sebuah peristiwa luar biasa. Apalagi kematian di atas kayu salib yang
begitu memilukan dan memalukan. Seorang raja yang punya segala kuasa harus
mati di atas kayu salib bersama-sama dengan dua orang pelaku kejahatan
kelas berat. Betapa tragisnya. Ketika Manusia Punya Sedikit Kuasa
Dalam kehidupan sehari-hari kita telah menyaksikan betapa kekuasaan itu
identik dengan kekuatan, penghargaan dan kekayaan. Siapapun yang berkuasa
akan dengan mudah mendapatkan akses yang terbuka lebar kepada tiga hal
tersebut. Tidak mengherankan apabila kekuasaan selalu diperebutkan, kalau
perlu dengan mempertaruhkan nyawa orang lain atau bahkan nyawa diri
sendiri. Ada godaan yang begitu besar bagi setiap penguasa untuk
memanfaatkan kekuasaan bagi diri dan kelomponya sendiri. Hal ini tepat
seperti apa yang pernah dikatakan oleh Lord Ancton bahwa, "Power tends
to corrupts and absolute power corrupts absolutely". Hampir semua
orang, selain haus dengan kekuasaan juga punya kecenderungan untuk
memamerkan kuasanya. Sebagai contoh sederhana adalah soal antrian
mengambil atau menyetor uang di bank. Dalam satu kesempatan di tengah
antrian yang begitu panjang di sebuah bank, seseorang dengan pakaian dinas
dari sebuah kantor pemerintah tiba-tiba berjalan maju dan melewati begitu
saja antrian orang dan kemudian menaruh buku tabungannya di teller.
Seorang satpam yang mencoba mengingatkan pun hanya terseyum kecut tatkala
orang yang bersangkutan dengan tenang mengatakan, "Ini urusan dinas,
jangan ikut campur." Entah benar atau tidak perkataan itu, yang jelas
orang bersangkutan mengatakan demikian sambil sedikit membuka jaketnya
untuk menunjukkan apa yang ada di balik jaket itu : sebuah senjata api.
Silakan juga memperhatikan bagaimana ganasnya sebagian pegawai ketertiban
umum dalam "menertibkan" para pedagang kaki lima. Tentu saja saya tidak
bermaksud untuk membenarkan pedagang kaki lima yang melanggar aturan.
Aturan memang harus ditaati dan ditegakkan, tetapi tentu dengan cara-cara
yang manusiawi. Tidak jarang terdengar kabar bahwa konon-entah benar atau
tidak--para petugas ketertiban umum itu juga meminta bantuan para preman
untuk menjalankan tugasnya. Dalam waktu beberapa saat berhamburanlah
manusia yang sedang mencari makan untuk hidupnya. Kadang ada tendangan dan
pukulan, tidak jarang pula ada kerusakan barang-barang dagangan. Manusia
yang sehari-hari juga makan nasi itu tiba-tiba saja bisa menjadi begitu
garang dan ganas ketika sudah memakai seragam tertentu dan menenteng
pentungan. Atas nama peraturan ketertiban dilakukanlah "penertiban" dengan
cara yang tentu saja tidak bisa dibilang tertib itu. Sedikit lebih jauh,
bukankah sebenarnya para petugas ketertiban umum itu tidak jarang harus
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hati nurani mereka.
Tidak ada di antara mereka yang lahir dengan kecendurangan untuk merusak
dan menginjak-injak milik orang lain. Mungkin mereka terpaksa melakukannya
karena kuasa di atas mereka. Kekuasaan yang ada di atas mereka telah
memaksa mereka menjadi tidak lebih dari sekedar "alat". Keberadaan para
petugas ketertiban itu, menurut saya, seringkali merupakan contoh nyata
betapa kekuasaan manusia itu cenderung tidak memanusiakan manusia lain.
Ingin melihat contoh yang lain? Silakan tengok pada apa yang terjadi di
dalam kehidupan bergereja kita. Tidak terbilang berapa kali saya mendengar
keluhan bahwa majelis di gereja tertentu begitu dan begini, juga keluhan
adanya pendeta di gereja tertentu yang juga begitu dan begini. Begitu dan
begini yang saya maksud tentu bukan suatu hal yang baik dan menyenangkan.
Kalau Anda ingin melihat bagaimana sebetulnya sebagian besar warga gereja
berperilaku, jangan memperhatikan apa yang mereka lakukan waktu mengikuti
ibadah minggu pagi. Silakan aja datang dan memperhatikan-apabila diijinkan
tentunya-situasi rapat kerja majelis atau komisi. Tentu saja ada di
beberapa tempat di mana rapat-rapat itu menjadi sedemikian lancar dan
menyenangkan. Di sisi lain, ada juga rapat-rapat seperti itu berubah
menjadi ajang debat kusir yang sangat memanas plus kadang-kadang ada juga
yang disertai dengan tindakan menggebrak meja-yang tentunya tidak bisa
protes mengapa dirinya digebrak-gebrak. Maka terjadilah adu kefasihan
lidah untuk berbicara, adu kuat dukungan pengikut dan juga mungkin adu
fisik, kalau tidak segera dilerai. Semua ingin menjadi orang yang
berkuasa. Semua ingin dilihat sebagai orang yang punya pengaruh dan
pengikut. Dalam batas-batas tertentu keinginan tersebut adalah wajar,
tetapi cara untuk mewujudkannya itulah yang seringkali menjadi masalah.
Ketika manusia berkuasa-entah di masyarakat dan bahkan gereja-ada kecenderungan untuk tidak memanusiakan manusia lain. Kuasa itu seringkali menutup manusia untuk melihat bahwa orang lain adalah juga manusia yang tentunya harus diperlakukan secara manusiawi. Satu-satunya yang dimanusiakan oleh kekuasaan itu adalah para penguasa itu sendiri. Tidak mengherankan apabila kekuasaan bisa mengubah orientasi hidup seseorang. Betapa banyak hal itu telah kita saksikan di dalam bangsa ini dan juga di dalam gereja kita.
Ketika manusia berkuasa-entah di masyarakat dan bahkan gereja-ada kecenderungan untuk tidak memanusiakan manusia lain. Kuasa itu seringkali menutup manusia untuk melihat bahwa orang lain adalah juga manusia yang tentunya harus diperlakukan secara manusiawi. Satu-satunya yang dimanusiakan oleh kekuasaan itu adalah para penguasa itu sendiri. Tidak mengherankan apabila kekuasaan bisa mengubah orientasi hidup seseorang. Betapa banyak hal itu telah kita saksikan di dalam bangsa ini dan juga di dalam gereja kita.
Ketika Yesus Kristus Punya Segala Kuasa Alkitab jelas berbicara bahwa
Yesus Kristus mempunyai segala kuasa di bumi dan di surga. Pada malam
menjelang penangkapannya di Getsemani, Ia menghardik Petrus yang berlagak
membelanya dengan pedang. Ia mengatakan bahwa jika Ia mau maka Allah akan
mengirim pasukan malaikat untuk menyelamatkan-Nya. Yesus Kristus, yang
punya segala kuasa itu ternyata menyerah di bawah todongan senjata
prajurit-prajurit Romawi. Mulailah masa kesengsaraan bagi dirinya. Yesus
Kristus yang adalah raja segala raja itu harus diadili oleh
penguasa-penguasa agama dan politik yang sebenarnya hanya punya secuil
kuasa. Dalam perjumpaannya dengan Pilatus yang dengan pongah berkata, "Tidakkah
Engkau mau berbicara dengan aku? Tidakkah engkau tahu bahwa aku berkuasa
untuk membebaskan Engkau dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?"
Yesus mengingatkan bahwa kuasa yang dimiliki oleh Pilatus berasal dari
atas. Ia berkata, "Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku,
jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas" (Yoh
19).
Menjelang disalibkan pun, Yesus raja segala raja itu harus rela
diolok-olok oleh para prajurit. Mereka mengenakan jubah ungu dan menaruh
sebuah mahkota duri di atas kepala-Nya. Sebuah olok-olok yang sangat
menyakitkan. Injil Matius menulis bahwa para prajurit itu itu memukul
kepala-Nya dan juga meludahi-Nya dan berpura-pura berlutut menyembah-Nya (Mat
26:67). Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada pura-pura
diperlakukan sebagai seorang raja padahal dirinya sendiri benar-benar
adalah seorang raja. Ketika Yesus Kristus sudah berada di atas kayu salib,
para prajurit pun tidak henti-hentinya mengolok-olok dan meminta-Nya untuk
memperlihatkan kuasanya dengan turun dari atas kayu salib. Tulisan yang di
pasang di atas salib itu sendiri bahkan adalah sebuah olokan bagi-Nya.
Jika Yesus benar-benar raja yang berkuasa, mengapa ia tidak segera
membungkam mulut mereka yang mengolok-oloknya dengan menunjukkan sedikit
saja kuasa-Nya? Bukankah Yesus yang sama juga inilah yang telah melakukan
banyak mukjizat? Bukankah sepatah kata yang keluar dari mulutnya bisa
menghanguskan semua manusia yang mengolok-oloknya? Bukankah sepatah kata
yang keluar dari mulut-Nya bisa memanggil malaikat di surga? Tidak banyak
kata-kata yang keluar dari mulut Yesus. Di antara kata-kata yang tidak
banyak itu tidak terdapat kutukan atau caci maki dan juga ancaman. Dari
mulut-Nya itu justru keluar kata-kata kasih dan pengampunan.
Waktu saya memandang salib Yesus, kembali saya diingatkan apa artinya
menjadi berkuasa atau memiliki kuasa. Menjadi berkuasa atau memiliki kuasa
berarti mempunyai kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi manusia lain.
Bukan untuk mengambil keuntungan dari orang lain, tetapi untuk memberi
keuntungan bagi orang lain. Salib itu mengingatkan saya bahwa kekuasaaan
yang sesungguhnya bertujuaan untuk menanusiakan manusia lain dan bukan
hanya memanusiakan mereka yang berkuasa. Salib itu mengingatkan saya bahwa
kebesaran kekuasaaan diukur bukan dengan seberapa banyak yang bisa
diperoleh dengan kekuasaan itu, tetapi seberapa besar kekuasaan itu
memberi kepada orang lain. Itu yang saya lihat dari salib. Itu yang saya
lihat dari diri Yesus. Kuasa-Nya digunakan untuk memberi dan memanusiakan
manusia lain.
Doa dan harapan saya, semoga di masa Pra-Paskah ini, Yesus Kristus membuka
mata dan telinga kita untuk melihat betapa banyaknya korban-korban
kekuasaan yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak manusia yang tidak
lagi diperlakukan sebagai manusia oleh karena kekuasaan. Tidak harus
jauh-jauh melemparkan pandangan ke Aceh atau Papua, tetapi mulailah di
sekeliling kita. Mulailah melihat ke dalam keluarga kita sendiri. Apakah
selama ini "kekuasaan" yang kita miliki telah tidak memanusiakan anak-anak
atau pasangan kita sendiri? Bukankah caci-maki dan pukulan bertubi-tubi
sekedar untuk melampiaskan emosi adalah tindakan yang tidak memanusiakan
anak atau pasangan hidup kita? Atau bagaimana dengan situasi di kantor
tempat kita bekerja? Atau gereja tempat kita menjadi anggota dan beribadah?
Apakah kita telah menggunakan kuasa yang mungkin ada pada kita untuk
memanusiakan manusia lain? Atau justru untuk menghilangkan kemanusiaan
manusia lain? Semoga kita semua bisa menjadi seperti Yesus: seorang
manusia bagi manusia lain. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar