Pdt. Robert R. Siahaan. M.Div.
KAPAN
pengudusan dimulai dalam diri seorang Kristen, siapa yang
mengerjakannya dan kapan pengudusan itu akan berakhir? Hal apa atau
siapa yang menentukan seseorang kudus sebagaimana yang Allah mau?
Apakah perbuatan baik cukup untuk mencapai kekudusan dan apakah
seorang Kristen dapat mencapai kekudusan yang sempurna (perfection)
hingga mencapai kesempurnaan yang dimiliki Allah (the moral perfection
of God). Siapakah yang memiliki peran utama yang mengerjakan pengudusan
tersebut? Hak apakah yang dimiliki orang Kristen andaikata ia mencapai
level kekudusan tertentu dan apakah tujuan utama pengudusan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan di atas penting untuk dijawab dengan tepat
sebagaimana diajarkan Alkitab, dan jawabannya akan sangat menentukan
sikap dan tindakan seorang Kristen terhadap kekudusan Allah dan dalam
menghidupi kekudusan itu.
Pembenaran dan Pengudusan
Pengudusan orang Kristen dimulai ketika ia lahir baru, yaitu pada
saat ia menerima anugerah keselamatan Allah yang dikerjakan oleh Roh
Kudus yang memimpinnya menyadari keberdosaannya (bertobat) dan menerima
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya (Ef. 2:8; Yoh 1:12).
Banyak hal yang dianugerahkan secara bersamaan (simultan) pada saat
seseorang menerima anugerah keselamatan di dalam Yesus Kristus, secara
simultan pada saat bersamaan ia menerima hak-hak dan kekayaan rohani
yang luar biasa dari Allah, ia menerima: iman dan keselamatan (Efe
2:8-9); hak menjadi anak Allah (Yoh 1:12); Roh Kudus (Gal 4:6);
pertobatan (Kis 11:18); pengampunan dosa (1 Yoh 1:9); keselamatan kekal
(1 Yoh 5:11-13); penyertaan Allah (Ibr 13:5), dsb. Dalam peristiwa ini
pengudusan merupakan konsekuensi langsung dari pengampunan Allah
melalui karya penebusan Kristus (redemption) di kayu salib (1Pet
1:18-19). Melalui proses inilah seorang Kristen dinyatakan kudus atau
dibenarkan dan memiliki hak waris di sorga (Roma 8:15-17).
Di dalam Alkitab konsep pembenaran memiliki tempat yang sangat
penting untuk dipelajari orang Kristen. Seseorang hanya dapat disebut
kudus apabila ia terlebih dahulu telah dibenarkan oleh Allah melalui
karya kematian Kristus. Istilah yang dipakai oleh Martin Luther adalah
justification by faith alone. Luther mengalami pergumulan berat dalam
mencapai kepuasan rohani melalui usaha keras dalam doa, puasa, membaca
Kitab Suci dan berbuat baik, namun tidak ada bukti dan keyakinan bahwa
dengan itu semua ia merasa mendapat pengampunan. Hingga ia tiba pada
surat Roma 1:16-17, Roh Kudus membuka mata rohaninya untuk melihat bahwa
hanya oleh kuasa Allah seseorang bisa diselamatkan melalui iman.
“Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,
pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya
nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman,
seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Roma
1:16-17). Dibenarkan artinya dinyatakan benar, tak bersalah, tidak
berdosa, dibebaskan dari semua tuntutan dan segala akibatnya karena
semua itu telah dibayar (ditebus) dalam kematian Kristus di kayu salib
(Roma 3:24; 5:1,9).
Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa manusia tidak dibenarkan
(diampuni) dengan melakukan hukum Taurat atau melalui perbuatan baik
(Gal. 2:16), tetapi hanya melalui iman yang dianugerahkan Allah.
Agustinus (pertengahan abad ke-4) menegaskan bahwa manusia berdosa
tidak mungkin meresponi kehendak Allah tanpa anugerah Allah, anugerah
Allah mendahului respon atau kata-kata kita untuk menerima Kristus
dalam doa kita (grace is prior to our respond). Dengan kata lain
mustahil seseorang bisa bertobat dan percaya kepada Allah kecuali jika
Roh Kudus telah bekerja terlebih dahulu dalam diri orang tersebut, jadi
Allah yang terlebih dahulu aktif dan berinisiatif menyelamatkan kita.
Dengan demikian pengudusan berasal dari inisiatif Allah, tidak seorang
pun di dunia ini memiliki kelayakan untuk dibenarkan atau dikuduskan
sehingga beroleh keselamatan. Hanya oleh Allah melalui iman yang
dianugerahkan seseorang dibenarkan, dikuduskaan dan diselamatkan.
Haleluya!
Pengudusan Sempurna
Apakah orang Kristen bisa mencapai kekudusan yang sempurna (moral
perfection) tanpa dosa sama sekali, dan apakah dapat dibenarkan jika
ada yang mengajarkan demikian? J.C. Ryle dalam bukunya “Aspects of
Holiness” mengatakan: “Saya terpaksa menyimpulkan bahwa orang-orang
yang mempercayai kesempurnaan tanpa dosa dalam kehidupan di dunia ini
adalah orang yang tahu sedikit sekali tentang natur dosa atau kesucian
Allah. Saya memprotes ajaran yang tidak Alkitabiah seperti ini karena
merupakan khayalan yang berbahaya.” Orang-orang Kristen atau hamba
Tuhan yang mengajarkan bahwa kekudusan yang sempurna tanpa dosa bisa
dicapai di dunia ini, akan berkhayal dan menyombongkan dirinya, merasa
dirinya layak di hadapan Allah atau bahkan menganggap dirinya paling
suci, dan orang lain paling berdosa.
Kitab Suci tidak pernah mengajarkan hal demikian, pada satu sisi
memang orang Kristen telah memiliki status kudus melalui lahir baru
(definitive sanctification), tapi pada sisi lain di dalam dunia ini
orang Kristen masih berada dalam tubuh yang memiliki keinginan daging
untuk berbuat dosa. Seperti dikatakan Luther “simul iustus et pecator,”
pada saat bersamaan orang Kristen adalah orang kudus dan orang
berdosa. Dalam hal ini kita perlu membedakan antara “status” (telah
dikuduskan/dibenarkan) dan “kondisi” yang terus-menerus menuntut
pengudusan (progressive sanctification). Dengan demikian hidup kudus
adalah suatu proyek ketaatan dan penyerahan diri penuh pada Tuhan
secara terus menerus seumur hidup, kekudusan adalah usaha untuk
mempersembahkan tubuh yang tidak dicemari oleh dosa (Roma 12:1-2),
memiliki motivasi hidup hanya untuk kemuliaan Allah (1Kor 10:31),
melakukan pelayanan tanpa mencuri kemuliaan Allah, menyatakan kasih dan
kebaikan yang tulus tanpa pamrih. Kekudusan yang sempurna
(sinlessness) hanya akan terjadi ketika Yesus Kristus datang untuk
keduakalinya dan akan menyatakan kemuliaan-Nya (glorification) bagi
umat-Nya (Roma 8:29-30; 1 Tes 4:16-17; 1Kor 15).
Yehovah Mekeddeshem
Istilah
“Yehovah Mekeddeshem” banyak muncul dalam Perjanjian Lama yang
menyatakan bahwa Allah adalah tokoh utama dalam pengudusan hidup orang
percaya: “Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan
melakukannya; Akulah TUHAN yang menguduskan kamu” (Imamat 20:8). Allah
memerintahkan agar semua orang Kristen hidup dalam dalam kebenaran dan
kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:24). Hanya Tuhan yang berhak
menyatakan seseorang kudus dan kekudusan itu sendiri tidak dapat dicapai
tanpa pertolongan Allah. Sebuah sikap yang harus dicontoh yang tampak
dalam diri Rasul Paulus: “…aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku
telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang
telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.”
(Fil 3:13).
Dengan demikian tidak ada orang Kristen yang boleh sombong jika ia
hidup kudus sehingga merasa paling benar, merasa paling layak dekat
Tuhan, paling akrab dengan Tuhan. Tujuan hidup kudus adalah untuk
memuliakan Allah, bukan untuk kemuliaan diri manusia. Kekudusan sejati
tidak pernah statis, kekudusan itu sendiri mewajibkan adanya ketaatan
dan pertumbuhan terus-menerus, tidak cepat puas diri, tapi terus
berusaha dan berjuang untuk menjadi semakin kudus (Ef. 4: 17-32; Kol.
3:1-10; 2Pet 1:1-9). Hidup kudus adalah perintah yang mutlak: “Allah
memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang
kudus. Karena itu siapa yang menolak ini bukanlah menolak manusia,
melainkan menolak Allah yang telah memberikan juga Roh-Nya yang kudus
kepada kamu” (Ef. 4:7-8).
Kiranya Tuhan mengaruniakan kuasa dan belas kasihanNya untuk
menolong kita agar senantiasa hidup dalam kekudusanNya. “Be ye holy,
for I am Holy” (Lev 19:2).
Sumber http://www.reformata.com/0243-yehovah-mekeddeshem-allah-sang-pengudus-.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar