Oleh Benny Solihin
Andil Bersama
Pada suatu hari Minggu, sepulang dari kebaktian, seorang ibu ditanya
oleh anak gadisnya, “Bu, Pak Pendeta khotbah tentang apa pagi ini?” Ibu
tersebut menjawab dengan kesal, “Ibu engga tahu deh dia ngomong apa. Tiap kali Pendeta kita berkhotbah, Ibu engga bisa ngerti. Bicaranya ketinggian.” Sang anak bertanya lagi, “Ketinggian apa ngalor-ngidul?” Dengan gemas si ibu menjawab, “Maksud ibu, ngalor-ngidulnya
ketinggian.” Ungkapan serupa ini mungkin telah sering kita dengar walau
dengan format kalimat yang berbeda. Intinya, apa yang dikhotbahkan oleh
si pengkhotbah dari mimbar tidak bisa dimengerti oleh jemaat. Hal
seperti ini pasti sering kita alami, tapi pernahkah Anda berpikir, apa
yang menyebabkan sebuah khotbah sering kali tidak mudah dimengerti? Jika
kita fair, jawaban pertanyaan ini terletak tidak melulu pada diri si pengkhotbah, tetapi juga pada diri jemaat atau pendengar.
Andil Pendengar
Hal pertama yang perlu kita ingat adalah untuk mendengar dan mengerti
suatu khotbah dibutuhkan konsentrasi yang baik; konsetrasi yang baik
sangat tergantung pada keadaan fisik seseorang. Bila seseorang dalam
kondisi fisik yang lelah, mungkin disebabkan kurang tidur karena malam
minggu yang terlalu panjang, atau banyak pikiran, stress, maka ia
tidak mudah menangkap makna sebuah khotbah. Apalagi, jika ia mendengar
khotbah itu di Minggu pagi. Oleh karena itu, perlu suatu wawasan yang
baru bagi kita semua bahwa datang ke rumah Tuhan memerlukan persiapan,
baik rohani maupun fisik.
Andil lain dari pendengar yang membuat ia tidak bisa mengerti khotbah
yang didengarnya adalah persepsi yang ia miliki terhadap hamba Tuhan
yang berkhotbah itu. Persepsi yang tidak baik, misalnya ia sudah
mengecap bahwa si pengkhotbah bukan seorang pembicara yang baik, membuat
ia, entah sadar atau tidak sadar, enggan untuk mendengar firman yang
akan dikhotbahkan. Hasilnya? Tentu saja ia pulang dalam
ketidakmengertian. Terlebih lagi bila persepsi negatif itu sudah
bersangkut-paut dengan karakter si pengkhotbah, maka sudah dapat kita
duga bahwa pendengar itu akan pulang bukan hanya dengan membawa
kesia-siaan, tapi juga segudang gerutuan. Iblis sangat pandai mencuri
benih firman Tuhan dari diri kita, bahkan sebelum benih itu kita dengar
ia sudah mencurinya dengan kunci palsu yang bernama persepsi
negatif. Mengingat hal ini, perlu bagi kita untuk datang lebih awal
dalam kebaktian yang kita ikuti, guna menenangkan diri dalam saat teduh
sekaligus memohon supaya Tuhan membersihkan hati kita untuk siap
menerima firman Tuhan, terlepas dari siapa pun yang menyampaikannya.
Faktor terakhir yang sering tidak disadari oleh jemaat atau pendengar
tentang mengapa ia tidak mengerti sebuah khotbah adalah pengetahuan iman
Kristennya tidak bertumbuh. Pengetahuan iman Kristen meliputi
pengetahuan tentang Alkitab dan doktrin-doktrin kristiani. Salah satu
ciri seorang Kristen yang bertumbuh adalah mempunyai kerinduan dan
disiplin untuk membaca Alkitab dan buku-buku Kristen yang membangun.
Pengetahuannya akan Allah tidak pernah berhenti, tetapi terus
berkembang. Pengetahuan inilah yang memberikan kepadanya kemudahan untuk
dapat mengikuti dan mengerti apa yang dikatakan oleh seorang
pengkhotbah. Sebagai contoh, suatu hari seorang pengkhotbah di sebuah
persekutuan pemuda dengan begitu antusias selama 45 menit mengkhotbahkan
tentang kefrustrasian Musa terhadap bangsa Israel yang menyembah patung
anak lembu emas. Seusai persekutuan, seorang pemuda bertanya dengan
lugunya, “Pak Pendeta, ngomong-ngomong yang namanya Musa itu siapa sih?”
Setelah menjawab pertanyaan itu dengan singkat, sang pendeta pulang
dengan perasaan frustrasi sama seperti Musa yang frustrasi terhadap
bangsa Israel yang bebal. Ketidakmengertian jemaat dalam mendengar suatu
khotbah mungkin juga terjadi bukan karena khotbah itu rumit dan tinggi,
tapi karena pengetahuan iman Kristen jemaat yang tidak memadai sehingga
apa yang didengar tidak nyambung sama sekali.
Andil Pengkhotbah
Di
pihak lain, sebuah khotbah bisa menjadi sulit dimengerti karena faktor
yang ada pada diri si pengkhotbah itu sendiri. Pertama-tama, pengkhotbah
tidak jelas dengan apa yang mau ia sampaikan. Proses awal pembuatan
sebuah khotbah dimulai dengan memilih teks yang akan dikhotbahkan.
Setelah itu, dilanjutkan dengan menyelidiki dan menafsirkan berita dari
teks tersebut dalam konteks pembaca mula-mula, dalam hal ini adalah
orang Yahudi, khususnya dalam Perjanjian Lama, dan Gereja, khususnya
dalam Perjanjian Baru. Pada tahap ini seorang pengkhotbah perlu belajar mendengar
suara Tuhan dalam teks yang sedang ia pelajari. Fred Craddock berkata
bahwa berkhotbah itu pertama-tama berurusan dengan persoalan mendengarkan. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi bila seorang pengkhotbah belum mendengarkan dengan jelas suara
Tuhan, kemudian ia naik mimbar dan berkhotbah. Hasilnya? Jelas,
sama-sama tidak jelas; tidak jelas bagi pengkhotbah dan juga tidak jelas
bagi jemaat.
Kejelasan
berita teks, yang muncul dari seni mendengarkan, menuntut seorang
pengkhotbah merumuskan amanat teks dari bagian Alkitab yang
diselidikinya tersebut dalam satu kalimat utuh yang jelas. Ini yang
disebut amanat khotbah. Kemudian, dari situ ia membuat tujuan, dan outline
khotbahnya. Memang masih ada proses panjang yang harus dilalui oleh
seorang pengkhotbah sebelum ia sampai pada suatu naskah khotbah yang
utuh, namun demikian perumusan amanat khotbah, tujuan, dan outline
sudah mengarahkan pikiran seorang pengkhotbah untuk berbicara dengan
jelas. Mungkin beberapa pengkhotbah merasa cukup dengan ide samar-samar
yang ada di benak mereka pada waktu mereka akan berkhotbah, selebihnya
mereka mengadalkan pimpinan Roh Kudus. Pertanyaan kita adalah mengapa
mereka tidak minta pimpinan Roh Kudus untuk mempersiapkan diri mereka
beberapa hari sebelum mereka naik ke mimbar, ketika mereka berada dalam
ruang belajarnya atau mereka? Kita perlu kritis membedakan antara
ketergantungan yang penuh kepada Roh Kudus dan kemalasan hamba Tuhan
untuk duduk mendengarkan suara “Tuannya.” Hamba Tuhan yang
demikian mungkin perlu mendengar apa yang Haddon Robinson katakan,
“Para pengkhotbah sering menilai terlalu tinggi keantusiasan jemaat
dalam mendengar khotbah mereka, tetapi sering menilai terlalu rendah
kecerdasan jemaat akan firman Tuhan.”
Hal
lain yang membuat sebuah khotbah sukar dimengerti adalah bahasa yang
digunakan oleh si pengkhotbah. Bahasa adalah sarana penyampaian ide
sekaligus power yang mampu mengubah hidup seseorang. Allah
menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan maksud-Nya dengan bahasa. Pada
Yohanes 1:1, Yesus disebut Firman (logos = word). Yesus
datang ke dalam dunia dan mengubah banyak orang dengan kata-kata-Nya.
Dengan kata-kata-Nya Ia menyembuhkan orang sakit, menenangkan angin
ribut, membangkitkan orang mati, dan mengampuni orang berdosa. Ia
menggunakan bahasa yang penuh kuasa dan komunikatif.
Bahasa
yang komunikatif adalah bahasa yang hidup dan bisa dimengerti oleh
kedua pihak, baik oleh si pembicara ataupun para pendengar. Dengan kata
lain, pembicara dan pendengar menggunakan kosakata yang sama. Sebagian
pengkhotbah, entah sengaja atau tidak sengaja, mempunyai kecenderungan
menggunakan kata-kata yang begitu wah (yang dalam pengertian si ibu tadi adalah ngalor-ngidulnya
ketinggian) sampai-sampai jemaat bingung apa maksudnya. Mungkin
sebagian pengkhotbah melakukan hal itu tanpa sadar; tetapi sebagian
lainnya melakukan dengan kesadaran penuh untuk mendatangkan nilai tambah
bagi dirinya dengan mencoba memberi kesan kepada pendengar bahwa ia
mengerti banyak tentang teologi. Padahal dengan melakukan hal seperti
itu ia sedang menghalangi pendengar untuk mengerti khotbahnya.
Ahli-ahli
komunikasi tidak pernah berselisih dalam mengatakan bahwa seorang
pembicara harus berbicara dengan bahasa pendengar jika si pembicara
ingin didengar, dimengerti, dan bisa mempengaruhi orang yang
mendengarnya. Pernahkah Anda bertanya kepada seorang astrolog tentang
apa yang disebut “bintang jatuh” itu, dan kemudian ia menjelaskan kepada
Anda tentang berlaksa-laksa bintang di langit beserta segala riwayatnya
dalam bahasa Astrologi? Atau seorang ahli komputer yang menerangkan
kepada Anda dengan bahasa program yang rumit ketika Anda bertanya
mengapa komputer Anda sering hang. Bagaimana perasaan Anda ketika
mendengarkan begitu banyak kosakata asing muncul dan Anda tidak
mengetahui artinya? Seperti itulah yang terjadi dengan para pendengar
ketika mereka sedang mendengarkan khotbah yang banyak menggunakan bahasa
wah. Harus kita akui bahwa banyak kata teologis yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pun artinya masih belum jelas
bagi kebanyakan orang Kristen. Kata-kata seperti “karunia,” “nubuat,”
“penebusan,” “pengudusan,” “mezbah,” “tabut Allah,” “hari Sabat,” “tahun
Yobel,” mungkin artinya dimengerti secara samar-samar. Apalagi
kata-kata seperti “sanctification, incarnation,
Eksistensialisme, Liberalisme, Postmodernisme, saya percaya tidak banyak
jemaat yang paham tentang hal itu. Untuk itu, para pengkhotbah perlu
memikirkan secara serius bagaimana cara menyampaikan firman dengan lebih
masuk ke bahasa pendengar.
Sementara
sebagian hamba Tuhan mencoba untuk membuat hal-hal yang sederhana
menjadi rumit dalam khotbah mereka, dalam Injil, Tuhan Yesus telah
mencontohkan bagaimana Ia menceritakan hal-hal tentang Kerajaan Surga
yang begitu rumit dengan bahasa yang sederhana dari kejadian sehari-hari
pada saat itu. Ia berkata, “Hal Kerajaan Surga seumpama orang yang
menabur benih yang baik di ladangnya.” Atau “Hal Kerajaan Surga
seumpama harta yang terpendam di ladang.” Ia berbicara dari sudut yang
telah dikenal akrab oleh pendengar, seperti ladang, gembala, domba,
kebun anggur, bunga bakung di ladang atau burung-burung di langit.
Sehingga tidak heran dalam Matius 7:28-29 dicatat tentang kesan
pendengar-Nya, “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah
orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka
sebagai orang yang berkuasa ….” Salah satu kuncinya adalah Ia berbicara
dengan bahasa pendengar, sebab bagaimana mungkin mereka dapat mengatakan
bahwa Ia mengajar dengan penuh kuasa jika mereka tidak mengerti apa
yang Ia katakan.
Yang
perlu kita cermati secara kritis adalah membedakan antara bahasa yang
rumit dan pemikiran yang mendalam dari sebuah khotbah. Khotbah yang
mempunyai pemikiran mendalam dan berbobot tidak selalu menuntut bahasa
yang rumit sebagai media komunikasinya. Sebaliknya, penggunaan bahasa
yang rumit tidak pernah identik dengan khotbah yang mengandung pemikiran
mendalam dan berbobot. Membuat yang sederhana menjadi rumit bukanlah
pekerjaan yang sulit, tetapi membuat yang rumit menjadi sederhana adalah
pekerjaan seniman besar. Tuhan Yesus telah memperlihatkan seni
berkhotbah yang tiada taranya: sederhana, gamblang, dan mengena.
Sama-sama Introspeksi Diri
Mendengar sebuah khotbah yang kita tidak mengerti apa pesan yang mau
disampaikan dapat membuat kita pulang dari gereja bukan dengan membawa shalom
atau damai sejahtera tapi pulang dengan membawa sungut-sungut. Tidak
jarang kita menyalahkan pengkhotbahnya. Di pihak lain, pengkhotbah juga
bisa berdalih bahwa kesalahan bukan terletak di atas pundaknya, sebab
jemaat tidak mau belajar makan makanan yang keras.
Akhirnya, kedua belah pihak tidak belajar sesuatu apapun untuk
memperbaiki keadaan yang tidak baik itu. Perlu kita sadari bahwa
seorang pengkhotbah memerlukan pendengar; demikian juga jemaat
memerlukan pengkhotbah. Tuhan mengutus hamba-hamba-Nya untuk berkhotbah
menyampaikan suara-Nya dan Ia memerintahkan jemaat-Nya untuk berkumpul
dalam rumah ibadah dan mendengarkan suara-Nya. Kedua belah pihak saling
membutuhkan dan terikat pada Allah yang satu; keduanya mempunyai
keinginan yang sama: pengkhotbah ingin khotbahnya dapat dimengerti dan
jemaat ingin dapat mengerti khotbah hamba Tuhannya. Bila sebuah khotbah
tidak bisa dimengerti, biarlah masing-masing kita mengintrospeksi diri
sebelum menjatuhkan kesalahan kepada pihak lain. Semoga Roh yang sama
memimpin kita untuk memperbaiki setiap kelemahan kita. (http://bennysolihin.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar