Semangat
pelayanan seorang hamba Tuhan tentu akan meningkat ketika ia mengetahui
bahwa khotbah-khotbahnya bukan hanya didengar dengan penuh antusias
oleh jemaat, melainkan juga mendorong
jemaat bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Yesus Kristus.
Terlebih lagi, saat menyaksikan kehidupan jemaatnya berubah. Mereka yang dulu hidup dalam kekuatiran bertumbuh menjadi jemaat yang makin beriman; mereka yang dulu tak peduli dengan pelayanan sekarang menjadi majelis gereja yang mengasihi Tuhan; juga yang rumah tangganya pernah di ambang kehancuran kini hidup
dalam kerukunan. Semua itu menjadi tanda bahwa Tuhan menyertai
pemberitaannya dan memberkati segala upaya pelayanannya. Namun sering kali realitas yang ditemui justru sebaliknya, bukan? Pada umumnya hamba Tuhan lebih sering melihat jemaat tidak bergairah mendengarkan khotbah-khotbahnya. Bertahun-tahun mereka mendengar firman Tuhan, namun tidak tampak perubahan yang konsisten; tidak ada pertumbuhan yang nyata dalam iman mereka. Kelihatannya, firman Tuhan seperti masuk telinga kiri ke luar telinga kanan. Tidak mengubah apapun.
Kita semua yakin bahwa firman Tuhan adalah firman yang hidup. Kuasanya setajam pedang bermata dua dan mampu mengubah kehidupan manusia. Seharusnyalah firman Tuhan yang kita beritakan membawa pengaruh pada kehidupan jemaat. Bila yang terjadi adalah sebaliknya, ada dua kemungkinan yang bisa menjadi penyebabnya. Kemungkinan pertama adalah karena para pendengar
mengeraskan hati mereka terhadap firman Tuhan. Seperti bangsa Israel
yang menolak firman Tuhan yang disampaikan oleh para nabi, demikianlah
pendengar masa kini. Ada berbagai alasan yang bisa mereka kemukakan, namun intinya mungkin sama, yakni mereka tidak mempunyai keinginan yang kuat agar benih firman Tuhan itu bertumbuh dan berbuah dalam hidup mereka. Kemungkinan kedua adalah adanya masalah dalam khotbah-khotbah yang disampaikan.
Walaupun kemungkinan kedua ini bisa jadi tidak terlalu nyaman untuk
diterima, namun perlu ditanggapi dengan kepala dingin agar kita dapat
menemukan akar masalah yang sesungguhnya sekaligus mencari solusi yang
tepat untuk memperbaikinya. Dengan begitu, kita berharap bahwa kelak khotbah-khotbah yang kita sampaikan sungguh-sungguh mampu mengubah kehidupan jemaat dan tentunya kehidupan kita juga. Selanjutnya, pembahasan buku ini akan difokuskan pada kemungkinan kedua.
Persoalan pada Khotbah-khotbah Masa Kini
Bila kita amati dengan cermat, setidaknya ada lima persoalan pokok yang menjadi masalah pada khotbah-khotbah masa kini.
Pertama, persoalan tentang kebergantungan pada Roh Kudus
Dewasa ini, sarana penolong dalam membuat khotbah sangat mudah diperoleh. Buku-buku tafsiran, software-softw8are Alkitab, ribuan website yang menyediakan khotbah serta ilustrasi gratis memberikan banyak kemudahan bagi pengkhotbah dalam menyusun khotbah. Buku-buku tentang sosiologi, psikologi, dan filosofi, serta berita-berita up to date dari media cetak dan eletronik dapat menolong pengkhotbah dalam menganalisis dunia pendengar. Selain itu, kecanggihan teknologi multimedia seperti PowerPoint juga membantu pengkhotbah dalam menyajikan khotbah dengan lebih menarik. Semua ini merupakan berkat yang luar biasa bagi pengkhotbah. Namun ironisnya, di tengah-tengah kemudahan tersebut, tidak jarang kita mendengar keluhan jemaat
bahwa khotbah-khotbah yang mereka dengar tidak menarik, tidak relevan,
dan tidak memiliki kuasa. Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Tentu
ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebabnya, namun kemungkinan
besar faktor utamanya adalah karena kegagalan pengkhotbah dalam memahami
peranan Roh Kudus. Pengkhotbah tidak lagi mempunyai sense of the supernatural dalam berkhotbah sehingga khotbah dirasakan hanya merupakan suatu aktivitas manusia belaka, bukan aktivitas Allah. Pada masa kini, mungkin saja berkhotbah telah dianggap sebagai suatu profesi, tugas rutin, pameran kemampuan akademis, atau dipandang sebagai suatu acara “entertainment”. Arturo G. Azurdian III dalam bukunya Spirit Empowered Preaching
menegaskan, “Saya sangat yakin bahwa kekurangan terbesar dalam
pelayanan khotbah ekspositori zaman sekarang adalah tidak adanya kuasa;
dengan kata lain, khotbah tidak mengandung daya hidup dari Roh Kudus.”[1] Ia kemudian mengutip pernyataan seorang pendeta Presbiterian yang tidak dikenal yang berkata:
Keingingan
terbesar pada zaman sekarang adalah pelayanan yang lebih kudus. Kita
tidak membutuhkan lebih banyak polemik pendukung, apologet yang hebat,
atau pengkhotbah yang berpengetahuan luas, walaupun semua ini penting.
Tetapi kita membutuhkan utusan Allah yang membawa suasana sorga ke
mimbar dan berbicara dari perbatasan dunia lain.[2]
Azurdian III lebih lanjut menjelaskan bahwa khotbah-khotbah yang membuat pendengar merasakan kuasa Allah
dan yang mendorong mereka mengasihi Tuhan adalah khotbah-khotbah yang
berasal dari penguraian firman Tuhan yang teliti dan cermat. Lebih dari itu, khotbah-khotbah itu juga dialiri oleh kuasa yang tak terbatas yang melampaui kekuatan manusia, yaitu kuasa ilahi, kuasa yang berasal dari surga sendiri.[3] Hal itu hanya terwujud bila pengkhotbahnya mempunyai kebergantungan yang penuh pada pimpinan Roh Kudus. Jemaat masa kini merindukan khotbah-khotbah yang membuat mereka merasakan hadirat Allah, di mana Allah berbicara kepada mereka secara pribadi dan kuasa-Nya mengubah hidup mereka.
Kedua, persoalan tentang isi khotbah
Persoalan
lain yang umumnya terjadi pada khotbah-khotbah masa kini adalah
persoalan isi khotbah. Alih-alih menyampaikan berita utama dari teks
Alkitab, kebanyakan khotbah isinya lebih cenderung menyampaikan ide atau imajinasi pengkhotbah terhadap teks tersebut sehingga khotbah bukanlah hasil eksegese tetapi eisegese.[4] Fungsi khotbah yang seharusnya menjadi sarana untuk menyampaikan apa yang dikatakan oleh teks itu – sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya – telah dijadikan sarana untuk menuangkan pikiran-pikiran pengkhotbah
tentang teks tersebut. Pembacaan teks Alkitab sebelum khotbah hanyalah
sekadar tradisi untuk memulai khotbah. Setelah itu, isi khotbahnya sama
sekali tidak bersangkut paut dengan berita utama dari teks Alkitab yang
dibacakan. Keadaan ini tentunya memprihatinkan. Bagaimanapun, seorang pengkhotbah
hendaknya mempunyai konsep bahwa ia harus mengkhotbahkan berita utama
teks atau yang disebut dengan amanat teks. Ia seharusnya gelisah bila menyampaikan firman Tuhan tanpa mengetahui amanat dari teks yang dikhotbahkannya itu.
Persoalan lain yang menyangkut isi khotbah adalah diabaikannya hakikat doktrin yang solid. Adakalanya pengkhotbah beranggapan bahwa doktrin atau teologi merupakan momok yang menakutkan; tidak mengherankan, khotbah hanya
dipenuhi oleh hal-hal praktis sehari-hari tanpa struktur teologi yang
jelas. Tidak salah bila suatu khotbah berisi hal-hal yang bersangkut
paut dengan kehidupan sehari-hari, itu sangat diperlukan. Tetapi
masalahnya adalah apakah kebenaran yang dikhotbahkan itu sesuai dengan
kebenaran Alkitab secara holistik. Pengabaian doktrin Alkitab akan
menghasilkan khotbah dengan muatan kebenaran Alkitab yang tidak utuh, bahkan menyimpang.
Khotbah yang benar adalah khotbah yang mempunyai kerangka teologi dari
seluruh kebenaran Alkitab. Salah satu keunikan dari
pengkhotbah-pengkhotbah besar pada masa lalu – dan hal inilah yang
membuat khotbah-khotbah mereka tetap hidup ratusan tahun meskipun mereka telah tiada – adalah khotbah-khotbah
mereka memiliki bobot doktrin yang kuat, sehingga jemaat benar-benar
berhadapan dengan kebenaran ilahi yang kokoh, bukan kebenaran parsial
dan temporal.
Sehubungan
dengan kebenaran doktrinal dalam khotbah, kita perlu berhati-hati agar
tidak jatuh pada salah satu dari dua ekstrem berikut. Ekstrem pertama, khotbah doktrinal yang tidak dilandasi pada teks dan penggalian eksegese. Khotbah seperti ini nampaknya solid dan berbobot, tetapi sangat riskan
karena pikiran atau gagasan pengkhotbah cenderung “terbang” melampaui
apa yang dikatakan oleh teks. Teks Alkitab hanya menjadi “landasan pacu”
sesaat yang “menerbangkan” pengkhotbah ke tempat yang diinginkannya. Ekstrem kedua, khotbah doktrinal yang terpaku hanya pada teks dan eksegese yang ketat tanpa menghubungkannya dengan keseluruhan doktrin Alkitab. Akibatnya, sering kali kebenaran yang dipaparkan adalah kebenaran yang segmental; kebenaran seperti itu bisa jadi bertentangan dengan teks pada bagian lain dari Alkitab. Seharusnya, berita sebuah khotbah berasal dari amanat teks dan dibangun di atas fondasi doktrin yang solid.
Ketiga, persoalan tentang aplikasi khotbah
Dalam kebanyakan khotbah masa kini, masalah aplikasi khotbah sering jatuh ke salah satu dari dua ketimpangan berikut. Pertama, khotbah dengan sedikit aplikasi. Kedua,
khotbah sarat dengan pesan-pesan moral. Pada kasus pertama, khotbah
dipenuhi penjelasan alkitabiah atau doktrinal dengan bobot akademis yang
sangat menonjol – seperti pembahasan materi di ruang
kuliah – tetapi aplikasinya hanya sekadar ada seolah-olah pengkhotbah
sendiri tidak berminat membicarakannya. Khotbah seperti itu oleh jemaat dikategorikan sebagai khotbah yang “kering” karena mereka
tidak dapat menarik relevansinya dengan kehidupan mereka. Mereka tahu
bahwa khotbah semacam itu baik dan berbobot, tetapi mereka tidak paham sangkut-pautnya
dengan kehidupan mereka. Sedangkan pada kasus yang kedua, pengkhotbah
memberondong jemaat dengan pelbagai aplikasi. Setiap ayat, bahkan setiap
kalimat “dibumbuinya” dengan pesan-pesan
moral yang sebenarnya tidak pernah dimaksudkan oleh si penulis teks.
Terlalu banyaknya nasihat membuat jemaat tidak tahu lagi mana
sebenarnya yang Tuhan ingin mereka lakukan. Alhasil, khotbah seperti
itu membuat jemaat frustrasi. Dewasa ini, jemaat sangat membutuhkan
khotbah-khotbah yang selain tinggi bobot akademisnya, juga berbicara telak ke dalam hati mereka.
Keempat, persoalan tentang cara penyajian khotbah
Cara
penyajian khotbah menjadi persoalan umum bagi pengkhotbah masa kini.
Ini pula yang banyak dikeluhkan jemaat, terlebih oleh pemuda dan remaja.
Walaupun ada berbagai cara penyajian khotbah, namun kita bisa temukan
dua ekstrem. Ekstrem pertama, khotbah-khotbah yang cara penyajiannya sangat komunikatif tetapi isinya lemah. Khotbah-khotbah semacam ini digemari oleh sebagian jemaat karena dapat membuat mereka
terpukau, termotivasi, dan mungkin juga tertawa. Namun amat
disayangkan, isinya tidak memiliki dasar penafsiran Alkitab yang kuat.
Pengkhotbah tidak mampu membawa jemaat lebih dalam mengenal Allah dan firman-Nya. Uraian khotbahnya tidak beda dengan ceramah seorang motivator yang terus menyemangati pendengarnya agar mereka tetap hidup optimis, hanya itu. Ekstrem kedua,
khotbah-khotbah yang isinya baik tetapi cara penyajiannya lemah. Isi
khotbah tidak diragukan bobotnya: sangat akademis dan bertanggung jawab,
kuat sistematika penjelasannya, ketat argumennya, dan akurat
kutipannya. Namun khotbah disampaikan dengan monoton, dengan cara membaca hampir seluruh naskah khotbah, tanpa menghiraukan apakah jemaat memperhatikannya atau tidak.
Bagaimanapun,
kedua ekstrem cara penyajian khotbah seperti ini perlu dihindari.
Masyarakat Kristen rindu mendengar khotbah-khotbah yang isinya kuat dan penyampaiannya komunikatif
serta aplikatif. Khotbah yang mengubah kehidupan bukan hanya beritanya
berasal dari teks Alkitab dan aplikasinya mengena, melainkan juga
disampaikan secara menarik.
Kelima, persoalan tentang diri pengkhotbah
Persoalan berikutnya yang dapat terjadi pada khotbah-khotbah masa kini adalah faktor pengkhotbah itu sendiri. Sejatinya, ini adalah persoalan klasik yang hadir pada setiap zaman, bahkan juga terjadi pada zaman Imam Eli. Tetapi pada zaman kini, umat Kristen lebih kritis. Meskipun tidak banyak dari mereka yang secara eksplisit mengungkapkan ketidakpuasannya kepada hamba Tuhan, tetapi secara diam-diam mereka menilainya. Hasilnya, makin lama makin berkurang hormat mereka pada figur yang berpredikat pendeta, penginjil, atau pengerja. Integritas para hamba Tuhan yang diragukan berimbas negatif bagi kepercayaan mereka pada khotbah-khotbah yang mereka dengar. Bila mereka masih mendengarkan khotbah-khotbah para hamba Tuhan, itu belum tentu karena mereka percaya kepada kehidupan para hamba Tuhan, tetapi mungkin ada banyak sebab lain.
Bagaimanapun, kehidupan pengkhotbah turut “membidani” khotbah yang mengubah kehidupan, kecuali khotbah hanya dianggap sebagai suatu seni peran. Bila pendengar percaya pada integritas seorang pengkhotbah, akan lebih mudah bagi mereka untuk menerima dan melakukan apa yang dikhotbahkan.
Sebaliknya, bila intergritas pengkhotbah diragukan, maka apapun yang
disampaikannya akan sulit diterima, apalagi membuat perubahan yang
berarti. Seorang pengkhotbah dituntut untuk memiliki integritas hidup
yang berpadanan dengan Injil. Beban tuntutan ini lebih besar dirasakan oleh pengkhotbah yang sekaligus adalah gembala sebuah gereja di mana ia berkhotbah setiap minggu pada jemaat yang sama. Ia haruslah
berupaya keras untuk memupuk integritas dan karakternya. Untuk itu,
hidup bergaul dengan Allah di dalam kekudusan-Nya merupakan syarat yang
tidak dapat dihindari.
Khotbah yang mengubah kehidupan
Kelima persoalan di atas dapat dikatakan
merupakan kenyataan sehari-hari yang dapat kita jumpai pada
gereja-gereja dewasa ini. Tentu saja, observasi ini bersifat umum. Kita
percaya masih
cukup banyak khotbah-khotbah yang baik dan hamba Tuhan yang
berintegritas, walaupun tidak dipungkiri jumlahnya makin berkurang.
Namun, keadaan seperti itu tidak boleh dibiarkan. Jemaat, sebagai umat Allah, layak mendengar firman Allah yang murni, bukan firman hasil rekaan atau karangan pengkhotbah.
Mereka rindu mendengar khotbah-khotbah yang mengubah kehidupan mereka,
bukan khotbah klise yang membosankan. Karenanya, diperlukan suatu
perubahan mendasar dalam paradigma dan cara berkhotbah para pengkhotbah masa kini.
Perubahan itu bukan kepada sesuatu yang di luar Alkitab, melainkan justru kembali ke Alkitab.
Pengkhotbah harus mempunyai keyakinan yang kuat bahwa khotbah yang
mengubah kehidupan adalah khotbah yang berakar pada Alkitab. Ia dengan
setia mengkhotbahkan amanat yang pernah diinspirasikan oleh Roh Allah
kepada para penulis Alkitab. Kemudian, secara komunikatif dan aplikatif,
ia menghubungkannya dengan kehidupan jemaat masa kini sambil mengawasi ajaran dan hidupnya sendiri di
bawah terang firman Tuhan dan Roh Kudus. Bila para pengkhotbah kembali
menjadi “corong suara” kebenaran Allah, maka Allah sendiri yang akan
membela firman-Nya. Allah berfirman, “Demikianlah firman-Ku yang keluar
dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia
akan melaksanakan apa yang Kukehendaki dan akan berhasil dalam apa yang
Kusuruhkan kepadanya” (Yes. 55:11). Hal yang senada disuarakan oleh
penulis kitab Ibrani, “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam
daripada pedang bermata dua manapun; ia menusuk sangat dalam sampai
memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan
pertimbangan dan pikiran hati kita” (Ibr. 4:12). Kuasa firman-Nya yang
mengubah – mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran – menjadi nyata baik dalam
kehidupan jemaat maupun dalam kehidupan pengkhotbah. Untuk mewujudkan
hal itu, tidak ada jalan lain kecuali kita kembali kepada pola khotbah
yang seharusnya, yaitu khotbah yang menyampaikan amanat yang pernah
Tuhan sampaikan kepada para nabi, rasul, dan penulis Alkitab untuk
umat-Nya. Khotbah yang seharusnya itu disebut khotbah ekspositori.
[1] Arturo G. Azurdian III, Spirit Empowered Preaching (Yogyakarta: ANDI, 2009), xx.
[4]
Eksegese adalah usaha untuk menemukan berita utama suatu teks Alkitab
dengan menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat di mana penafsir
memperhatikan tentang latar belakang sejarah, budaya, analisis kata, genre
suatu teks dan lain-lain. Sedangkan eisegese adalah usaha untuk
memasukkan ide penafsir ke dalam suatu teks sehingga teks itu berbicara
seperti yang dikehendaki oleh penafsirnya.
(Dikutip dari buku "7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan' oleh Benny Solihin/ http://bennysolihin.blogspot.com)
Terima kasih, anda telah mengingatkan saya untuk semaksimal mungkin berkotbah agar sesuai dengan kehendak Tuhan. GBU
BalasHapusSangat memberi pencerahan ....
BalasHapusTerima kasih telah memberi pencerahan kepada saya. Tuhan Yesus memberkatinya
BalasHapus