Khotbah Mazmur 42:1-6
Oleh Benny Solihin
Pengantar
Mazmur
42 dan 43 sebenarnya adalah satu mazmur. Ayat 10cd dari pasal 42 sama
dengan ayat 2bc dari pasal 43. Tambah lagi, refrain kedua mazmur ini
juga sama, yaitu ayat 6, 12, dan 43:5. Namun, karena keterbatasan tempat
dan waktu, khotbah ini hanya berfokus pada pasal 42:1-6 saja.
Pendahuluan
Mujur
tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah pribahasa yang
paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam kehidupan
seorang ibu yang saya akan cerita ini. Dulu suaminya adalah seorang
pengusaha. Mereka hidup bahagia dan berkecukupan. Suatu hari suaminya
menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan. Semua usahanya dilepaskan
dan dia menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi. Setelah lulus,
suaminya melayani sebuah gereja yang sederhana. Income mereka
menurun drastis, pengeluaran membengkak, bukan karena mereka bertambah
boros, melainkan karena hati mereka tidak pernah bisa tahan melihat
jemaat yang berkekurangan.
Pada
suatu pagi, suaminya berpamitan untuk pergi pelayanan ke suatu daerah.
Tiga jam kemudian, ia menerima kabar bahwa suaminya mendapat kecelakaan,
tertabrak sebuah bus yang ngebut dengan kecepatan tinggi.
Suaminya terlempar dan meninggal seketika. Tragisnya, menurut beberapa
saksi mata, suamiya tertabrak saat menolong seorang pengendara sepeda
motor yang menjadi korban tabrak lari. Setelah pemakaman selesai, ibu
ini masih berpikir bahwa Allah memiliki rencana lain bagi dirinya. Ia
tampak begitu tabah.
Beberapa
bulan setelah suaminya meninggal, putri pertamanya, seorang importir
alat-alat rumah tangga, mengalami masalah. Ia ditipu oleh rekan
bisnisnya sehingga hampir seluruh modalnya habis, bahkan ia harus
menjual rumah dan mobilnya untuk membayar hutang-hutang perusahaannya.
Rumah tangga putrinya pun tergoncang dan berakhir dengan perceraian.
Hati ibu pendeta ini tercabik melihat badai kelam yang menimpa putrinya.
Namun, ia merasa harus tetap tegar agar dapat menguatkan iman putrinya.
Namun,
rupanya kesusahan belum berhenti mengikuti hidup ibu pendeta ini. Suatu
hari, ia mendapati putranya yang kuliah di semester terakhir
muntah-muntah dan seluruh tubuhnya mengigil di kamarnya. Segera ia
melarikan ke rumah sakit. Betapa terkejutnya ia ketika dokter mengatakan
bahwa putranya sedang sakau dan telah menjadi pecandu berat narkoba.
Hati ibu pendeta ini hancur. Demi putranya, ia terpaksa menjual rumahnya
untuk membiaya rehabilitasi putranya dan tinggal di rumah kontrakan
yang kecil. Setelah setengah tahun di pusat rehabilitasi, anaknya
dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Namun sebulan kemudian, ia
ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba. Pengadilan
menjatuhinya hukuman tiga tahun penjara. Hati ibu manakah yang tidak
akan patah mengalami persoalan seperti ini? Namun, ia masih berharap
bahwa Tuhan akan memulihkan keadaan anaknya.
Kehidupan
ibu pendeta ini semakin susah. Perekonomiannya morat-marit.
Saudara-saudara kandungnya yang tidak seiman mencemoohkan dia sebagai
orang kurang berhikmat karena mengizinkan suaminya menjadi hamba Tuhan.
Jiwanya semakin tertekan dan kesehatannya menurun. Keadaan ginjalnya
yang sejak dulu lemah, mulai sering kambuh. Beberapa kali ia harus ke
luar masuk rumah sakit. Sampai akhirnya, ia gagal ginjal dan harus
menjalani cuci darah seminggu sekali. Runtuhlah seluruh kekuatannya.
Tengah
malam di ranjang rumah sakit, tangisnya pecah. Ia tidak kuat lagi
menanggung beban yang terlampau berat. Ia menjerit memanggil-manggil
nama suaminya, bukan Allah. Ia sudah terlalu kecewa kepada Allah;
baginya Allah tidak dapat dipercaya. Allah kejam membiarkan semuanya
terjadi, padahal Dia dapat mencegahnya. Dalam tangisannya ia mengajukan
satu pertanyaan kepada Allah, “Di manakah Engkau, Tuhan?” Tak ada
jawaban sama sekali. Ibu pendeta itu hanya mendengar suara tangisannya
sendiri sampai ia tertidur dalam kesunyian dini hari.
Halaman I: Absennya Allah dalam Persoalan Hidup Orang Kristen Masa Kini
Apa
yang dialami oleh ibu pendeta tadi merupakan kenyataan hidup yang bisa
terjadi pada setiap orang percaya. Tuhan kadang kala tidak mudah
ditemui. Pengalaman hidup kita mengatakan demikian. Yang lebih membuat
frustrasi, justru di saat-saat kita sangat membutuhkan-Nya, Ia absen
dari hidup kita. Sebagaimana seorang anak yang lepas dari tangan
bapaknya di tengah-tengah keramaian orang, demikianlah kita. Kita merasa
sendirian tanpa pegangan. Allah sama sekali tidak peduli dengan apa
yang kita alami. Tak jarang saat kita menghadapi situasi-situasi yang
sulit, kita meragukan Allah. Seorang pengubah lagu, James Bignon,
mengungkapkannya dengan sangat menyentuh dalam lagunya Answer me. Sebagian liriknya berbunyi demikian:
Answer me, sweet Jesus
Don't you hear me calling you?
I need you lord
Lord, I've run out of words to say
All I can do right now is moan
I cannot pray, like all of the sudden
But let me know my prayer's being heard
Lord, I've held on a long time
And all my actions depends upon you
I’ve been patient and highly understanding
Now I don't know what there is left to do
Don't you hear me calling you?
I need you lord
Lord, I've run out of words to say
All I can do right now is moan
I cannot pray, like all of the sudden
But let me know my prayer's being heard
Lord, I've held on a long time
And all my actions depends upon you
I’ve been patient and highly understanding
Now I don't know what there is left to do
Halaman II: Absennya Allah dalam Persoalan Hidup Pemazmur
Pemazmur
yang menulis Mazmur 42 ini juga mengalami pergumulan absennya Tuhan
dalam kesulitan hidup yang ia alami. Jiwanya gelisah dan tertekan.
Melalui lirik-lirik yang memilukan, ia mengungkapkan perasaan hatinya.
Maka, lahirah Mazmur Ratapan ini.
Besar
kemungkinan, saat itu ia dan orang-orang Israel lainnya menjadi
tawanan kerajaan Babel dan hidup dalam pembuangan di sana. Bila
demikian, kita bisa membayangkan bahwa perlakuan yang tidak manusiawi,
seperti kerja paksa, makian, dan cemoohan menjadi bagian hidup
sehari-hari mereka. Jiwa mereka tertekan. Kebanggaan bahwa mereka pernah
menjadi bangsa yang besar, umat kesayangan Allah, hanya menjadi
kenangan. Bertahun-tahun mereka hidup menderita. Berulang-ulang mereka
berseru kepada Allah, memohon kemurahan-Nya, tetapi Allah tak menjawab
seolah Dia tak lagi hadir dalam kehidupan umat-Nya.
Kerinduan
untuk bertemu dengan Allah melanda hati umat Allah dan kerinduan ini
diwakili oleh sang pemazmur dalam ungkapannya, “Seperti rusa yang
merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya
Allah” (ay. 2). Ketika para pelukis mengambil rusa sebagai obyek
lukisan, biasanya mereka cenderung memanjakan mata orang dengan
menonjolkan segi keindahannya. Namun, dalam simile ini, saya kira
pemazmur tidak bermaksud melukiskan rusa yang demikian; tetapi, seekor
rusa yang berada di sebuah hutan yang kering kerontang terbakar kemarau
panjang. Tak ada lagi daun yang hijau, tak ada lagi kupu-kupu yang
terbang, tak ada lagi burung-burung yang berkicauan, dan tak ada lagi
rumput yang hijau, selain petak-petak tanah kering dan retak-retak.
Dalam
imaginasi saya, rusa itu berjalan dengan gontai sambil menyeret
tubuhnya. Pandangan matanya sayu penuh kekecewaan; perasaannya tertekan
dan gelisah. Telah berhari-berhari ia berjuang menahan haus. Kekeringan
menyengat tenggorokan dan seluruh jaringan tubuhnya. Tidak ada
kebutuhan lain yang ada di dalam dirinya, kecuali menemukan sungai yang
berair. Ia sadar, tanpa air hidupnya akan berakhir. Itulah pelukisan
jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan Allah.
Ratapan
kerinduannya akan Allah diungkapkan lebih lanjut dengan berkata,
“Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh
datang melihat Allah?” (ay.3). Sekarang ia melukiskan kerinduannya
dengan suatu pengontrasan yang menggugah. Jiwanya yang haus dibandingkan
dengan Allah yang hidup. Perkataan “Allah yang hidup” melukiskan bahwa
Allah adalah Pribadi yang hidup yang berbeda dengan dewa-dewa Babel yang
mati, dan juga menyatakan bahwa Allah adalah sumber kehidupan dari
segala sesuatu di mana jiwa pemazmur sendiri bergantung kepada-Nya.
Tanpa Allah, ia akan binasa.
Di
tengah-tengah keadaan seperti itu ia bertanya, “Bilakah aku boleh
datang melihat Allah?” Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena
kebutuhan yang sangat besar dan mendesak. “Bilakah” atau “Kapankah”
menunjukkan bahwa kehausan pemazmur sudah berlangsung demikian lama dan
permohonannya telah diajukan berulang-ulang. Namun, respon dari Allah
tak pernah ada.
Andaikata
mazmur-mazmur dalam Alkitab disertai dengan audio CD atau DVD seperti
buku-buku masa kini, niscaya kita dapat menangkap mode
pengucapannya sehingga bisa ikut merasakan perasaan pemazmur di balik
kata-kata yang ditulisnya. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil
hati. Dalam menafsir mazmur memang diperlukan kecerdasan emosi untuk
menerka mode-nya sehingga perasaan pemazmur yang sedang curhat kepada Allah dapat kita ketahui.
Apabila pertanyaan pemazmur, “Bilakah aku boleh melihat Allah?” diekspresikan dengan mode
kemarahan atau otoritatif, tentu akan terasa janggal. Nada perintah
membuat pemazmur menjadi penguasa dan Allah menjadi bawahannya. Padahal,
keadaannya sedang terpuruk dan ia membutuhkan kehadiran Allah. Juga
sukar dibayangkan bila pertanyaan ini diekspresikan dengan mode
sinis atau pun intimidatif. Jika kita setuju bahwa konteks sejarah
mazmur ini adalah masa pembuangan di Babel, pemazmur pasti menyadari
siapakah dirinya dan siapakah Allahnya. Dirinya adalah orang berdosa
dan hukuman; sedangkan, Allah adalah Pribadi yang kudus dan berdaulat.
Bila Allah tidak berkenan ditemui, tidak seorang pun yang dapat berjumpa
dengan-Nya. Jelas, nada intimidatif tidak sesuai dengan konteksnya.
Satu-satunya mode yang paling tepat adalah mode permohonan, mode
yang mengharapkan belas kasihan seperti seorang pengemis yang
mengharapkan sedekah dari seorang tuan yang kaya raya. “Bilakah aku
boleh melihat Allah?” lebih mungkin diucapkan dengan nada minor yang
memilukan.
Sekarang Israel, yang diwakili oleh diri pemazmur, baru bisa menghargai
apa artinya bersekutu dengan Tuhan itu. Dulu mereka mengabaikan Allah,
tidak menaruh perhatian pada kehadiran-Nya, firman-Nya, teguran-Nya, dan
kasih-Nya. Sekarang Israel tiba pada pemahaman bahwa bersekutu dengan Tuhan itu merupakan suatu anugerah. Mereka tidak mempunyai hak apapun untuk memaksa Allah meresponi mereka.
Pemazmur
hanya bisa mengharap belas kasihan Allah dan meratapi kerinduannya. Ia
berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena
sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” Di dalam
pembuangan, menerima perlakuan yang tidak enak sudah menjadi hal yang
umum, mungkin juga, termasuk tekanan untuk menyembah dewa-dewa
orang-orang Babel. Ketika pemazmur berusaha mempertahankan imannya,
mereka mencemoohkannya, “Di mana Allahmu?” Cemoohan itu menghancurkan
hatinya. Bagai anak ayam kehilangan induknya, ia tidak punya tempat
untuk berlindung. Karenanya, ia berkata, “Air mataku menjadi makananku
siang dan malam.” Sepanjang hari ia berduka, dirundung kesedihan.
Celakanya, Allah pergi entah ke mana.
Daud
juga pernah merasakan kehilangan Allah dalam hidupnya, sampai-sampai ia
meratap kepada Allah, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau,
jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang
kering dan tandus, tiada berair” (Mzr. 63:2). Di
tengah-tengah kesusahannya, Ayub pun pernah tidak dapat melihat
kehadiran Allah. Dalam dukacitanya ia mengeluh, “Sesungguhnya, kalau aku
berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia;
di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke selatan, aku
tidak melihat Dia” (Ayb. 23:8-9). Bahkan, Yesus Kritus mengalami
absennya Allah justru saat Ia sekarat di salib, saat Ia paling
membutuhkan penyertaan dan penghiburan-Nya. Di situlah Ia menjerit,
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 15:34).
Kita bisa memiliki pengalaman yang sama seperti mereka, yaitu perasaan
ditinggalkan oleh Allah. Sebagian dari kita mungkin diam-diam menyimpan
kepahitan terhadap Allah. Hanya kita merasa tidak pantas untuk
mengungkapkannya secara terbuka dalam doa-doa kita, ataupun
menceritakannya kepada orang-orang dekat kita. Namun, hal itu
pelan-pelan membuat kita semakin jauh dari Allah.
Saya pikir wajar bila kita pernah merasa kecewa kepada Allah; kita
merasa ditinggalkan dan diabaikan oleh Tuhan. Juga wajar bila kita
mengeluh dan meratap, mengekspresikan secara verbal perasaan kecewa kita
kepada-Nya seperti yang dilakukan oleh pemazmur ini dan ibu pendeta
tadi. Saya percaya Allah dapat memahami sepenuhnya kekecewaan,
kesakitan, kesedihan, ataupun ketakutan yang kita rasakan. Dia bukan
Allah yang mudah tersingung dan pemarah. Namun, jangan cuma berhenti
sebatas meratap, iman kita akan terpuruk, tetapi majulah sambil berharap. Inilah yang dilakukan oleh pemazmur.
Halaman III dan IV: Belajar dari Pemazmur, Kita mengubah Ratapan Menjadi Genderang Kemenangan
Mengingat masa-masa indah bersama dengan Allah
Setelah
sekian lama pemazmur membiarkan jiwanya terpuruk, ia memutuskan untuk
tidak membiarkan keadaannya berlarut-larut. Ia mengarahkan mata imannya
kembali kepada Allah dan menembus kegelapan di hadapannya. Karena itu
ia berkata, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah
gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului
mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian
syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan” (ay. 5).
Apa
maksud perkataannya ini? Rupanya pemazmur ingin mengingat masa-masa
indah bersama dengan Allah dulu, sebelum bangsa Israel dijajah dan
dibuang ke Babel. Pada waktu itu, mereka seringkali mengadakan perayaan
atau kebaktian di Bait Allah, di Yerusalem. Sebagai salah satu penyanyi
dari bani Korah, ia memimpin umat Israel berjalan ke rumah Tuhan. Dalam
kepadatan umat yang berduyun-duyun datang untuk bersembahyang, ia
berjalan mendahului mereka dengan sorak sorai dan nyanyian syukur,
melangkah untuk bertemu dan menyembah Allah. Di sana Allah telah menanti
mereka, seperti seorang bapak menanti kedatangan anak-anaknya.
Kehadiran dan penerimaan Allah mendatangkan sukacita besar bagi
umat-Nya. Allah bukanlah Allah yang dingin, acuh tak acuh, tak peduli
pada apa yang dialami oleh umat-Nya. Sebaliknya, Ia adalah Allah yang
hangat, menikmati persekutuan, dan penuh perhatian pada umat-Nya.
Inilah saat-saat manis bersama dengan Allah.
Mengenang
saat-saat manis bersama dengan Allah penting bagi pemazmur dan juga
bagi kita, khususnya saat jiwa kita gundah gulana dan meragukan kasih
Allah. Kenangan ini memaksa kita melihat lagi “album foto” kenangan kita
dengan Allah. Ada banyak momen-momen indah yang telah kita lewatkan
bersama-sama dengan-Nya. Saat-saat di mana kita merasa kagum kepada
pribadi-Nya, kasih-Nya, kebaikan-Nya. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa
Ia adalah Allah yang selalu menepati janji-Nya. Nah, kenangan-kenangan
manis inilah yang akan menjadi starting step mengembalikan iman kita kepada-Nya.
Setiap
kita pasti mempunyai “album foto” kenangan bersama dengan Allah. Begitu
juga dengan saya. Setelah 34 tahun bergaul dengan Allah, “album foto”
itu bertambah banyak. “Foto-foto” itu mengisahkan cerita yang
berbeda-beda, tetapi pesan yang dikandungnya sama: Allah mengasihi saya.
Saya masih ingat tatkala saya baru menjadi orang Kristen, suatu pagi
saya mengendarai motor saya untuk mengikuti ujian negara. Di tengah
jalan, tiba-tiba motor itu mogok. Saya telah berusaha keras untuk
menghidupkannya kembali, tetapi tak berhasil. Keringat menetes membasahi
sekujur tubuh saya. Saya melihat jam tangan saya, sepuluh menit lagi
ujian akan dimulai. Saya duduk di trotoar dalam kebingungan. Apa yang
harus saya perbuat? Kalau saya menitip motor saya pada seseorang yang
tidak saya kenal, saya kuatir motor itu akan hilang. Kalau saya
mendorongnya sampai ke tempat ujian, saya akan sangat terlambat. Dalam
kebingungan terlintas suatu pikiran, “Mengapa tidak berdoa? Bukankah
sekarang saya mempunyai Tuhan yang berkuasa atas segalanya?” Namun, saya
masih ragu. Saya percaya Tuhan itu Maha Kuasa, tetapi apa urusannya
dengan motor saya? Namun, karena tidak ada jalan lain, saya mencoba
untuk berdoa, “Tuhan saya mau ujian, tapi motor saya mogok. Mau enggak Tuhan
memperbaiki motor saya? Tolong ya, Tuhan. Dalam nama Yesus, Amin.”
Segera setelah itu, saya menghampiri motor saya dan mulai menstarterya. Apa yang terjadi? Ajaib, motor itu hidup kembali. Tanpa membuang waktu, saya kebut motor itu dan sampai ke tempat ujian.
Kenangan manis itu saya jepret
dalam kamera ingatan saya. Setiap kali saya melihatnya lagi, saya
selalu berkata pada diri saya sendiri, “Tuhan itu sangat mengasihi
saya, sampai-sampai Ia rela menjadi montir
saya.” Ini adalah salah satu “foto” kenangan saya bersama dengan
Allah. Bila saya melihat “foto-foto” kenangan yang lain, hati saya penuh
dengan rasa haru atas kebaikan Allah yang melimpah. Hal ini sangat
menolong saya untuk tetap percaya kepada Allah, khususnya saat saya
menghadapi kelamnya kehidupan.
Pada
waktu persoalan hidup yang berat dan beruntun datang dalam hidup kita,
kebanyakan kita akan cenderung terpaku pada persoalan-persoalan
tersebut. Ketika tidak mendapatkan solusinya, kita cenderung
menyalahkan Allah. Kita kecewa kepadanya dan meragukan kasih-Nya. Kita
lupa bahwa Ia adalah Allah yang selalu mengasihi kita. Lihatlah kembali
“album foto” kenangan Saudara bersama dengan Allah! Masihkah Saudara
akan menganggap Ia jahat?
Mengendalikan perasaan dengan pikiran
Hal
kedua yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali ialah
mengendalikan perasaannya dengan pikirannya. Kepada jiwanya Pemazmur
bertanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah dalam
diriku?” (ay. 6a). Dalam diri pemazmur seolah-olah ada dua pribadi
yang saling silang pendapat, yaitu pikiran dan jiwa. Pikiran mewakili
pengenalannya akan Allah; sedangkan, jiwa mewakili perasaannya yang
berespon terhadap persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Selama ini
diri pemazmur dikuasai oleh perasaannya sehingga imannya
terombang-ambing. Namun, setelah membuka kembali album kenangan bersama
Allah dan memperoleh keyakinan bahwa selama ini Allah adalah Pribadi
yang baik dan setia, ia menegur jiwanya, “Mengapa engkau tertekan hai
jiwaku, dan gelisah dalam diriku?” Tampak jelas ada nada ketidaksenangan
di dalam pertanyaan ini. Walaupun tampaknya Allah absen, tidak peduli,
tidak bertindak apa-apa untuk menolong dia dan bangsanya, itu bukan
berarti bahwa Allah tidak setia. Pemazmur menyadari bahwa ia tidak boleh
dikendalikan oleh perasaannya sendiri.
Setelah
Elia memperoleh kemenangan iman yang besar dengan mengalahkan 450 nabi
Baal dan membunuh mereka semua, ia dikuasai oleh perasaan takut
mendengar acaman pembunuhan yang diberikan oleh Izebel. Segera ia
bangkit dan melarikan diri ke Bersyeba, ke padang gurun. Dalam
kefrustrasian menanggung tantangan hidup yang berat, ia merasa ingin
mati. Elia larut dalam perasaannya. Ia merasa cemas, gelisah, dan
sendiri. Pikirannya atau pengenalannya akan Allah dikalahkan oleh
perasaannya. Padahal, dengan mata kepala sendiri, ia baru saja
menyaksikan api Tuhan menyambar habis korban bakaran yang menandakan
kuasa Allah lebih besar daripada kuasa siapa pun. Pengalamannya bersama
dengan Allah itu seharusnya meneguhkan imannya. Tetapi sayangnya
perasaaannya lebih banyak berperan, maka terombang-ambinglah dia.
Jerry Bridges,
seorang tokoh dari Navigator, berkata, “Ketika kita menghadapi
situasi-situasi yang sulit, emosi kita menguasai pikiran kita. Ketika
kita merasa Allah sangat jauh, maka Allah akan menjadi sangat jauh.
Ketika kita merasa kesepian, maka Allah tidak akan berserta dengan
kita.” Tentu saja ia tidak bermaksud mengatakan bahwa keberadaan Allah
ditentukan oleh perasaan kita, melainkan betapa riskannya apabila
teologi kita ditentukan oleh perasaan kita. Perasaan itu subyektif.
Penilaiannya sering didasarkan bukan pada benar atau salah, melainkan
mana lebih menyenangkan, lebih nyaman. Lagi pula, ia mudah berubah-ubah
tergantung situasi. Oleh karena itu, bila iman kita didasarkan atas
perasaan bukan pada pikiran atau pengenalan yang kokoh, sulitlah bagi
kita untuk mempunyai iman yang stabil dalam menghadapi badai gelombang
hidup kita.
Saya
yakin seharusnya teologi kita dibangun atas pengetahuan akan Allah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Alkitab. Dari firman-Nya kita
mengetahui Allah berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau
dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Ini
adalah janji Allah. Pengkhotbah Puritan Thomas Lye menjelaskan bahwa
dalam bahasa Yunaninya kalimat ini memiliki lima kata tidak, sehingga
dapat diterjemahkan demikian, “Aku tidak akan, tidak mungkin
membiarkanmu; juga tidak, tidak akan, tidak mungkin meninggalkanmu.”
Lima kali Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Dia
menginginkan kita memahami kebenaran ini tanpa ragu. Setelah mengetahui
kebenaran tentang Allah tersebut, kita harus memutuskan apakah kita akan
mempercayai kebenaran ini atau kita akan mengikuti perasaan kita. Jika
kita mempercayai Allah, kita harus berkata, “Aku percaya kepada-Mu meski
aku tidak merasakan kehadiran dan tidak melihat pertolongan-Mu.”
Menaruh Harapan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber pertolongan
Hal
ketiga yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali
ialah dengan berharap lagi kepada Allah sebagai penolong dan Allahnya.
Setelah pemazmur menegur jiwanya yang terombang-ambing, dengan mantap ia
memerintahkannya, “Berharaplah kepada Allah!” (ay. 6a). Sekarang
pengenalannya akan Allah mulai mendominasi perasaan pesimisnya. Ia
bangkit dari perasaan mengasihi diri sendiri dan kembali percaya bahwa
Allah tidak pernah meninggalkannya. Walaupun doanya belum terjawab,
permohonannya belum terpenuhi, dan keadaannya belum berubah, ia beriman
bahwa Allah hadir sama seperti ketika dulu di Yerusalem. Itulah
sebabnya, ia berkata, “Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya,
penolongku dan Allahku” (ay. 6b). Suatu komitmen telah dibuat, komitmen
untuk bersyukur kepada Tuhan seperti dulu. Eugene Peterson menerjemahkan
“Allahku, Penolongku” dengan “He Puts a smile on my face, He is my
God” yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi, “Ia menaruh
sebuah senyuman di wajahku, Ia adalah Allahku.” Wajah pemazmur yang
dirundung ratapan, kini berubah menjadi sukacita karena ia kembali
berharap kepada Allah.
Menunggu
11 tahun lahirnya seorang anak dalam pernikahan bukan waktu yang
singkat dan mudah, tetapi akhirnya apa yang diharapkan pasutri ini tiba
juga. Betapa tak terkiranya kebahagiaan mereka. Sebut saja nama mereka
Naomi dan David, dua orang anak Tuhan yang setia dalam melayani Tuhan.
Hati yang penuh dengan luapan syukur mendorong mereka untuk bersaksi di
mana-mana bahwa Allah itu kasih dan mukjizat itu nyata dalam diri
mereka.
Semuanya
berjalan dengan baik sampai memasuki bulan kelima, suatu pagi perut
Naomi terasa sakit, pendarahan terjadi, dan suhu tubuhnya meninggi.
Segera ia menelpon suaminya dan pergi ke rumah sakit dengan taksi. Atas
instruksi dokter kandungan, ia dilarikan ke Unit Gawat Darurat.
Setelah
beberapa jam melewati pemeriksaan, USG, dan diinfus, akhirnya dokter
dengan sangat hati-hati memberitahukan bahwa bayinya telah meninggal.
Melihat kondisi Naomi yang mengkuatirkan, dokter menyarankan kepada
David untuk mengizinkan istrinya dioperasi darurat. Pasutri ini
berpelukan sambil menangis. Pengharapan akan hadirnya si kecil hilang
sudah.
Paskah
operasi, pasutri ini tenggelam dalam dukacita yang panjang. Mereka
sungguh tidak siap menerima kenyataan yang menimpa mereka. Hal yang
lebih buruk terjadi pada Naomi. Ia tak mampu membendung duka yang selalu
bergejolak dalam hatinya. Ada kemarahan kepada Allah dalam hatinya.
Baginya sungguh tidak masuk di akal bila Allah yang Maha Kuasa tak mampu
menjaga bayinya. Yang benar adalah Allah tak mau menjaganya.
Selama dua tahun Naomi tidak dapat berdoa kepada Tuhan. Ia pun tidak mau melayani lagi. Sering kali ia bermimpi menggendong bayinya, tersenyum dan tertawa bersama dengannya. Kala ia bangun dan menemukan realita, hidupnya kehilangan harapan.
Berharap
kepada Allah di masa-masa sulit, apalagi setelah Allah tampak
mendiamkan kita dalam pergumulan yang panjang, bukanlah hal mudah. Saya
percaya itu tidak semudah seperti kita memutuskan akan pergi ke Mall
atau tidak. Namun, menjalani masa-masa sulit tanpa harapan, ibarat
sebuah sampan yang terkatung-katung tanpa arah di tengah lautan luas dan
buas. Harapan kepada Allah adalah keyakinan bahwa apa yang Allah
firmankan atau janjikan akan terjadi dalam hidup kita. Harapan berkaitan
dengan iman. Ketika kita percaya kepada Allah dengan segala
perkataan-Nya, kita mempunyai harapan.
Berharap
kepada Allah tidak berarti kesulitan-kesulitan hidup selesai, kadang
malah memberat. Namun semangat hidup berubah, kita mendapat keyakinan.
Kita tidak lagi seperti orang yang meraba-raba dalam gelap, tetapi
berjalan dalam kepastian. Dalam kepedihan Yesus menjerit “Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Suatu pertanyaan absah yang
lahir dari hati yang tersayat: digantung oleh manusia dan ditinggalkan
Allah. Allah, satu-satunya tempat perlindungan yang diharapkan dapat
menaungi-Nya, malah memalingkan wajah-Nya. Namun, beberapa saat sebelum
hembusan nafas terakhirnya, Ia kembali menyatakan iman dan
pengharapan-Nya kepada Allah. Ia berkata, “Bapa, kepada-Mu kuserahkan
nyawa-Ku.” Penderitaan dan kematian tidak berlalu, tetapi
pengharapan-Nya kepada Tuhan memberi Dia keberanian dan damai sejahtera
untuk menjalani semua yang harus Dia jalani. Dalam kalimat terakhir-Nya,
“Sudahlah genap”, kita mendapati Yesus telah mengubah nada ratapan-Nya
menjadi kemenangan.
Ratapan
dukacita Naomi baru berubah menjadi sukacita ketika suatu kali ia
berbicara dengan seorang gadis kecil yang baru saja kehilangan adiknya
karena leukemia. Gadis itu berkata, “Tante Naomi tahu enggak?
Saat adikku sangat menderita dan tak ada dokter yang dapat meringankan
sakitnya, Tuhan Yesus datang memeluknya. Begitu sayang Tuhan sama
adikku, lalu digendongnya ia ke sorga.” Tenggorokkan Naomi tersekat
sampai-sampai ia tidak dapat berbicara apa-apa. Pemahaman teologi gadis
kecil itu membuka selaput mata imannya yang selama ini tertutup dengan
kepicikan. Ia tidak pernah melihat seperti gadis kecil ini melihat
Allah. Tuhan tidak jahat, Ia baik; Tuhan tidak absen, Ia selalu hadir
dan bertindak. Sepanjang perjalanan pulang, entah bagaimana album
kenangan bersama dengan Allah tiba-tiba terbuka dalam pikirannya. Ia
melihat lagi satu per satu “foto-foto” itu. Derai air matanya mengalir,
hatinya berbisik kepada Tuhan, “Engkau baik, Tuhan!” Ajaib sekali,
tiba-tiba ia merasakan pelukan Tuhan. Suatu pelukan yang memberikan rasa
damai yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ada air yang mengalir
dalam tubuhnya, dan ia sepenuhnya telah terhubung dengan sumber air itu.
Pengharapannya terbangun kembali.
Penutup
Pada
hari puncak perayaan Pondok Daun, hari yang ke-7, Yesus berdiri di
tengah-tengah orang Yahudi dan berseru, “Barangsiapa haus, baiklah ia
datang kepada-Ku dan minum.” Orang-orang Yahudi dalam perayaan tersebut
mengharapkan air hujan untuk panen mereka, tetapi Tuhan mengetahui
kebutuhan mereka yang paling utama: air hidup yang memberikan kelegaan
atas kehausan rohani mereka. Karena itu, Ia mengundang siapa saja yang
merasa dahaga dan kekeringan akan hadirat Allah untuk datang kepada-Nya
dan menerima kelegaan. Dalam Wahyu 21:6 Yesus berkata, “Aku adalah Alfa
dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang-orang yang haus akan Kuberi
minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” Yesuslah sumber air
kehidupan itu sendiri.
Datanglah
kepada Yesus! Berharaplah kepada-Nya! Jangan biarkan diri kita
berlarut-larut dalam kesedihan, hidup kita akan hancur! Tetaplah
percaya dan berharap kepada Allah sebagai penolong kita meskipun Ia
tampak absen di tengah-tengah pergumulan hidup kita yang berat. Tiba waktunya Ia akan mengubah ratapan kita menjadi genderang kemenangan.
Amin
Doa
Tuhan, tak mampu lagi aku hidup
dalam kehampaan masa silam.
Sekadar berada di suatu tempat
yang lama telah Kaulupakan.
Aku harus bangkit ... sekali lagi.
Bukan lagi untuk berkubang dalam kepedihan
tapi untuk mengubur masa lalu yang sudah mati;
rasa bersalah yang semu atas kegagalan
yang masih kutanggung hingga hari ini.
Tuhan, berilah aku keberanian
untuk mengatasinya tanpa rasa takut
menghadapinya tanpa kemarahan
dan meninggalkannya tanpa rasa malu.
Berilah aku hikmat
untuk bangkit tanpa mengasihi diri sendiri
percaya tanpa kompromi
dan terus maju tanpa rasa bersalah
Bapa, beri akau pengertian
hingga akhirnya kuperoleh
masa depan yang layak kudapat.
Berdiri teguh dalam imanku;
dan menjawab tantangan.
(Dikutip dari buku: Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan oleh Danny A. Gamadhi/ http://bennysolihin.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar