Khotbah Mazmur 13
Oleh Danny A. Gamadhi
Adegan 1: Ketika mengalami kesesakan, apa respons kita?
Bertahun-tahun
yang lalu, sebelum telepon selular menjadi benda yang lazim, seorang
pemimpin seminar bertanya kepada para pesertanya, “Jika seseorang datang
ke pertemuan ini, memanggil nama Anda, dan berkata, ‘Ada telepon untuk
Anda,’ apakah Anda menduga telepon itu akan menyampaikan kabar baik atau
kabar buruk?” Sebagian besar dari kita mengakui bahwa kita akan
berpikir itu kabar buruk, tetapi kita tidak yakin mengapa dapat berpikir
demikian. Hal ini menunjukkan beban yang pada umumnya ditanggung banyak
orang, yakni rasa takut terhadap kabar buruk. Mengapa bisa demikian?
Karena memang pada dasarnya hidup kita hari ini dipenuhi dengan kabar
buruk, penderitaan, dan masalah yang berlarut-larut. Pengalaman
kesesakan ini membawa kita merasa seperti tengah berada di padang gurun
yang luas: gersang, panas, tidak ada pemandangan yang indah, dan tidak
tampak ujung dari gurun tersebut.
Para
teolog juga sering kali mengaitkan pengalaman kesesakan dengan suasana
di padang gurun. Oleh sebab itu, dalam perbendaharaan Teologi Spiritual
ada sebuah terminologi yang menggambarkan keadaan kekeringan rohani,
tidak ditolong Allah, dan penderitaan yang tak kunjung usai sebagai, “the wilderness”
atau padang gurun. Keadaan seperti ini dapat dipastikan dialami oleh
setiap orang percaya. Pengalaman berada di “padang gurun” dialami
seorang janda yang baru kehilangan suaminya. Pengalaman berada di
“padang gurun” dialami seorang ayah yang telah tiga bulan di-PHK dan
belum mendapatkan pekerjaan lagi. Pengalaman berada di “padang gurun”
juga dialami oleh seorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit
selama berbulan-bulan dan tak kunjung membaik. “Padang gurun” juga
dialami oleh Saudara dan saya hari ini.
(Di
sini pengkhotbah dapat memutar video yang berisi pergumulan hidup yang
berat, keputusasaan seseorang, masalah rumah tangga, masalah pergaulan,
dan kejadian-kejadian lain yang memilukan hati penderitanya.
Contoh-contoh konkret dari pergumulan sehari-hari dapat juga ditampilkan
dalam bentuk video maupun foto-foto.)
Ada
seorang gadis yang baru bertunangan dengan seorang pemuda yang bekerja
sebagai tentara. Sebagai kekasih seorang tentara, ia sangat bangga
memiliki tunangan yang gagah, tampan, dan yang terpenting sangat
mengasihi dirinya. Ketika mereka hendak menikah, mereka terpaksa menunda
tanggalnya karena sang pemuda diutus untuk berperang. Sembilan bulan
sudah sejak sang pemuda berangkat, tak sekalipun sang gadis mendengar
kabar tentangnya. Pikirannya mulai panik dan setiap sore ia berdiri di
pintu gerbang rumahnya menanti tunangannya pulang.
Suatu
sore pada bulan November yang sejuk, seorang yang pincang berjalan dari
kejauhan. Ia berjalan terus menuju rumah si gadis. Gadis tersebut
memperhatikan wajah orang ini yang hancur, kulit tubuhnya yang penuh
luka bakar, dan sebuah kaki palsu untuk menopang tubuhnya. Tapi yang
paling mengejutkan bagi si gadis ialah ia memanggil sang gadis dengan
sebutan yang hanya digunakan oleh kekasihnya. Mulutnya terkatup rapat,
“Mungkinkah dia itu …?” Pria itu memanggil sekali lagi dan sadarlah ia
seketika bahwa orang ini adalah kekasihnya yang pulang dari perang. Sang
gadis berlari mendapati kekasihnya, dan dengan mencucurkan air mata, ia
memeluknya dengan erat. Saudara tahu kata-kata apa yang pertama kali
keluar dari mulut sang gadis? Ia berkata, “Thank God, you’re alive” dan memeluk kekasihnya kembali. Di tengah tragedi yang menimpa gadis itu, ia mampu tetap bersukacita di tengah kesesakan.
Lain
halnya dengan gadis tadi, ada beberapa orang lain yang juga menghadapi
kesesakan dalam hidupnya. Pada tahun yang sama setidaknya ada empat
orang yang menjatuhkan dirinya dari lantai atas sebuah mal besar di
Jakarta. Tubuh mereka menghantam lantai yang keras dan kehilangan
nyawanya seketika. Salah satu dari mereka adalah seorang bapak berusia
61 tahun. Ia sudah lama tidak bekerja dan tidak memiliki uang lagi.
Putus asa dengan hidupnya yang berat, ia memilih untuk mengakhirinya
dengan instan. Tetapi tiga di antaranya adalah para gadis muda. Mereka
sehat, punya pendapatan, dan punya masa depan. Salah satu dari wanita
itu hatinya hancur tatkala ditinggalkan oleh kekasihnya. Ia merasa tidak
punya alasan untuk hidup lagi. Pada suatu sore ia menjatuhkan dirinya
dari sebuah balkon apartemen yang tingginya lebih dari 20 lantai.
Tubuhnya terkejang di tanah setelah menghantam aspal yang keras sampai
akhirnya ia tidak bergerak lagi.
Manusia hidup tidak lepas dari masalah dan kesesakan. Kita hidup di tengah dunia yang kompleks, demanding,
penuh intrik, melelahkan, bersaing ketat, dan jahat. Pertanyaannya
adalah, ketika mengalami kesesakan, apa respons kita? Dapatkah kita
tetap segar di tengah padang gurun?
Adegan 2: Dalam menghadapi kesesakan, Daud meratap kepada Allah (ay. 2-3)
Ketika
masalah datang, sebagian orang punya kecenderungan untuk menutupi dan
melupakan masalah itu. Ada yang berusaha menenggelamkan masalahnya
dengan minum-minuman keras tetapi mereka lupa bahwa “masalah dapat
berenang.” Ada yang melampiaskan stres mereka dengan mencari hiburan
malam. Alhasil, masalah mereka bertambah banyak. Ada yang berpikir bahwa
“time will heal” tetapi itu pun hanya mitos. Waktu tidak
menyembuhkan. Akhirnya masalah mulai merampas keceriaan, kebebasan,
waktu-waktu berkualitas, dan akhirnya kesehatan kita. Sambil
“tertatih-tatih” kita menjalani hidup yang berat di tengah dunia yang
kejam. Dunia tidak peduli dengan keadaan kita, ia memaksa kita untuk
tetap senang dan tidak memikirkan masalah. Namun sebenarnya, masalah itu
masih ada dan terus menggerogoti siang dan malam. Inilah yang terjadi
pada Raja Daud.
Suatu
kali Daud mengalami kesesakan yang sangat berat. Ia tidak memberi tahu
dengan jelas kesesakan apa yang tengah dihadapinya, ia seolah memberi
ruang bagi kita untuk meletakkan kaki kita di sepatunya. Di tengah
kesesakannya itu ia menggubah sebuah mazmur yang mengutarakan semua
kekecewaan, ketakutan, dan penderitaannya. Hari ini Daud mengundang kita
untuk masuk ke dalam pergumulan beratnya melalui Mazmur 13, sebuah mazmur ratapan.
Daud memulai ratapannya secara “to the point” dan dengan tegas menyatakan perasaannya yang terdalam, “Berapa lama lagi Tuhan
Kaulupakan aku, selamanya? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu
terhadap aku?” (ay. 2). Daud yang dikenal gemar memuji Allah kali ini
bukan dalam keadaan yang penuh iman dan bersuka karena Allahnya. Ia
sedang mengacungkan tangannya terhadap Allah dan berteriak sambil
mencucurkan air mata. Allah yang dahulu menolongnya menghadapi binatang
buas, kini meninggalkannya dalam kelemahan. Allah yang dahulu
menyertainya ketika berhadapan dengan musuh-musuhnya, kini
meninggalkannya sendirian dalam ketakutan dan kegelapan yang paling
kelam.
Daud
mengatakan bahwa Allah telah melupakan dan menyembunyikan wajah-Nya.
Wajah Allah melambangkan kehadiran Allah yang membawa berkat dan
pertolongan. Ketika Daud tak kunjung melihat wajah Allah, ia merasa
Allah berlambat-lambat dalam menolongnya atau bahkan menolak untuk
menolongnya. Oleh karena itu Daud berseru, “Berapa lama lagi Tuhan? Selamanya?” Di satu sisi Daud masih menanti dan menanti, di sisi lain hatinya mulai ragu tatkala melihat tangan yang Mahakuasa
berubah. Allah mendiamkannya. Jiwanya dipenuhi konflik antara realitas
dan iman. Imannya mengatakan untuk tetap menanti pertolongan Tuhan, namun realitas berkata lain: “Allahmu telah meninggalkan engkau!”
Penderitaan
yang Daud alami kini memasuki area yang lebih dalam. Ia bukan hanya
menderita tekanan dari luar tetapi jiwanyapun tersiksa. Dengan pilu Daud
berkata, “Berapa lama lagi aku harus merasakan kesakitan di dalam
jiwaku, kesedihan di dalam hatiku, siang dan malam. Berapa lama lagi
musuhku meninggikan diri atasku?” (ay. 3).
Setelah
Daud meratap bahwa Allah telah mengabaikan dan melupakannya, ia
terduduk dalam keputusasaan. Mulutnya terkatup. Hatinya sakit bagaikan
disayat-sayat belati. Penderitaan Daud tidak berhenti di situ. Ia
berkata bahwa ia merasakan penderitaan psikis siang dan malam, alias
setiap saat! Ia merasakan ketidakmampuan dalam menghadapi masalahnya,
musuh-musuhnya berkuasa atas dia, dan Allah? Allah, satu-satunya
Penolong yang dapat diandalkan diam seribu bahasa.
Pernahkah
Saudara mengalami pergumulan yang Daud alami? Pernahkah Saudara
disudutkan dari berbagai sisi, rekan-rekan kerja Saudara bersepakat
untuk menjerumuskan Saudara, teman-teman dekat Saudara tidak mampu
menolong dan yang lain terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Satu-satunya harapan Saudara terletak pada atasan Saudara yang bisa
menolong dan membela. Ia yang tahu bahwa Saudara tidak bersalah. Tetapi
alih-alih membela Saudara, ia malah melepaskan diri dari masalah dan
menolak untuk ikut campur. Bagaikan seorang dokter yang paling ahli
untuk mengobati penyakit Anda, tetapi alih-alih memberikan resep obat
dan memberikan perawatan, ia menutup pintu dan menolak untuk menolong
Anda. Ia meninggalkan Saudara ketika Saudara paling membutuhkan
pertolongannya.
Inilah yang Daud alami, pada saat-saat kritis ketika Daud paling membutuhkan kehadiran Tuhan,
Ia malah menghilang tanpa jejak, tidak menolong, bahkan meninggalkan
Daud sendirian. Oleh karena itu ia berseru, “Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku, selamanya? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” Oh, betapa mengerikan keadaan ini. Apabila Allah saja tidak menolong, siapa yang mampu menolong?
Bertanya
atau mempertanyakan Allah merupakan hal yang lazim dalam tradisi Israel
kuno. Dalam Kejadian 4, Kain bertanya pada Allah, “Apakah aku penjaga
adikku?” (Kej. 4:9). Abram menjawab Allah yang berjanji dengan
mengajukan pertanyaan, “Apakah
yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan
tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer,
orang Damsyik itu” (15:2). Dan dalam kitab Ayub, dicatat Ayub
mempertanyakan Allah mulai dari pasal 3 dan tidak berhenti hingga di
pasal 38 Allah akhirnya menampakkan diri padanya.
Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan bukanlah permintaan sederhana untuk mencari tahu sebuah
informasi melainkan sebuah ekspresi keraguan yang mendalam. Mereka
perlahan-lahan mulai meragukan karakter dan aktivitas Allah serta
dampaknya pada hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan produk
dan respons terhadap pengalaman the hiddenness of God, Allah
yang menyembunyikan diri-Nya. Terlebih lagi, Ia berdiam diri, menolak
untuk hadir dan bertindak sebagaimana diharapkan manusia.
Bukannya
informasi, pertanyaan-pertanyaan ini menantikan kehadiran ilahi di
tengah kesesakan yang menimpa. Pertanyaan-pertanyaan ini menantikan
tindakan nyata dari Allah. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan iman
seseorang yang masih menantikan Tuhan
tatkala pilar-pilar kepercayaannya mulai digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. Pertanyaan-pertanyaan ini
menjaga seseorang tetap waras di tengah segala tekanan berat yang
menimpanya. Dalam keadaan seperti ini, Asaf, pemazmur lainnya, juga
bertanya-tanya,
“Untuk selamanyakah Tuhan menolak
dan tidak kembali bermurah hati lagi?
Sudah lenyapkah untuk seterusnya kasih setia-Nya,
telah berakhirkah janji itu
berlaku turun-temurun?
Sudah lupakah Allah menaruh kasihan,
atau ditutup-Nyakah rahmat-Nya
karena murka-Nya?”
Maka kataku: “Inilah yang menikam hatiku,
bahwa tangan kanan Yang Mahatinggi berubah.”
(Mzm. 77:8-10)
Selain
Daud dan Asaf, di bagian dunia yang lain pada masa yang lain ada
seorang yang pernah mengalami hal tragis dalam hidupnya. Ia adalah
seorang pengacara dan dosen hukum di Chicago yang sukses dan terkenal.
Ketika menginjak usia 40, karirnya menanjak, ia menjadi kaya raya dan
menanam investasi yang sangat besar pada bisnis real estate di
pusat kota Chicago. Namun satu bulan kemudian terjadi kebakaran besar di
kota itu dan rumah-rumah di tepi sungai Michigan, tempatnya menanam
modal, hangus terbakar tak bersisa padahal belum lama sebelum kebakaran
tersebut, sang pengacara baru saja kehilangan putranya. Tidakkah hatinya
menjerit? Tetapi penderitaannya belum berakhir.
Dua
tahun setelah kebakaran, pengacara yang adalah seorang Kristen yang
melayani ini merencanakan sebuah perjalanan ke Eropa bersama
keluarganya. Ia hendak menyusul pendetanya yang pergi untuk melayani dan
mengajak serta keluarganya untuk berlibur di Eropa. Ketika mereka
hendak berangkat, tiba-tiba seorang rekan bisnis menghubunginya dan
meminta agar ia menyelesaikan transaksi bisnisnya yang tidak dapat
ditunda. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di Chicago beberapa hari
dan menyusul dengan kapal yang berikutnya.
Keluarga pengacara ini berlayar di atas kapal pesiar megah yang bernama Ville du Havre. Pada tanggal 22 November kapal ini dihantam kapal Inggris, Lockhearn,
dan tenggelam seketika dalam dua belas menit. Sembilan hari kemudian,
ia menerima telegram dari istrinya yang saat itu berada di Wales yang
berisi, “Saved alone”, “selamat sendiri.” Keempat putrinya yang turut berlayar tewas tenggelam di tengah laut.
“Di
mana Allah ketika kebakaran terjadi? Di mana Allah ketika putranya
sekarat? Di mana Allah ketika anak dan istrinya menjerit minta tolong di
tengah lautan? Di mana Allah ketika keempat putrinya kehabisan napas
dan merasakan paru-parunya terbakar karena kehabisan oksigen? Di mana
Allah? Apa yang Ia sedang lakukan? Mengapa semua ini terjadi?” Mungkin
ini juga seruan yang keluar dari mulut kita ketika bencana menimpa,
sakit-penyakit, musuh, atau kesesakan apapun menimpa, terutama ketika
Allah seakan menghilang dan tak kunjung memberikan pertolongan.
Apabila
saat-saat seperti itu datang dalam hidup Saudara, merataplah di hadapan
Tuhan. Bawa semua kesesakan Saudara pada-Nya. Jangan tahan-tahan
kepenatan yang Saudara rasakan, utarakanlah kepada Tuhan.
(Pada
bagian ini, berhentilah berkhotbah untuk beberapa saat. Lantunkanlah
musik yang tenang untuk mengiringi jemaat menyelami pengalaman hidup
mereka yang berat dan penuh pergumulan. Berikan mereka waktu untuk
merasakan kembali kesesakan yang tengah mereka alami).
Adegan 3: Tetapi Daud tidak berhenti pada ratapannya, ia memohon dengan gigih (ay. 4-5)
Setiap
orang memiliki respons yang berbeda ketika diperhadapkan dengan
masalah. Sebagian orang menjadi nekad, sebagian lagi memilih untuk
mundur dan menerima keadaan apa adanya, tetapi apa yang Daud lakukan?
Daud memilih untuk berdoa. Berdoa memohon pada Tuhan
yang empunya langit dan bumi untuk menolong. Inilah yang Daud lakukan.
Setelah menaikkan protesnya kepada Allah, Daud tidak mencuci muka lalu
pergi begitu saja. Daud berdoa, dan memohon dengan sangat, “Pandanglah
kiranya, dengarlah aku, ya Tuhan,
Allahku!” (ay. 4). Permohonan ini merupakan doa koresponden dari
ratapannya. Jikalau sebelumnya Daud merasa Allah menyembunyikan
wajah-Nya, sekarang ia memohon agar Allah memandang padanya. Jika sebelumnya Daud merasa Allah melupakannya, kini ia memohon agar Allah menjawab dan mendengarnya.
Daud “berani” memohon kepada Tuhan sebab ia memandang Tuhan
sebagai Allah yang telah mengikat perjanjian dengan umat-Nya. Hal ini
nyata ketika Daud untuk pertama kalinya dalam mazmur ini menyebut Tuhan sebagai, “My God”, “Allahku” (ay. 4a). Di sini ia mengklaim bahwa Tuhan adalah Allahnya Daud secara personal. Dengan demikian, Daud memiliki hak untuk memanggil dengan keyakinan kokoh bahwa ia akan didengarkan.
Setelah
memohon, “pandanglah,” “jawablah,” dengan keyakinan yang sama Daud
memohon lagi, “Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur
dalam kematian” (ay. 4b). Mata yang redup melambangkan habisnya kekuatan
atau bahkan kematian. Ketika memohon agar Tuhan membuat matanya bercahaya, Daud sedang memohon agar diberikan kekuatan baru dan kelepasan dari maut yang mengancamnya.
Mazmur
ini sarat dengan emosi pemazmur yang berkecamuk. Jika di bagian pertama
berulang kali Daud berseru, “Berapa lama lagi?” dalam bagian ini ia
memohon dengan gigih. Hal ini tampak bukan hanya dari tiga kata seru,
“Pandanglah … jawablah … buatlah bercahaya!” tetapi juga dari alasan
Daud, “Supaya jangan musuhku berkata: ‘Aku telah mengalahkannya,’ dan
lawanku bersukacita atas kejatuhanku” (ay. 5).
Permohonan
Daud sungguh gigih. Ia bagaikan seorang anak yang menarik tangan ibunya
dan sambil menatap ibunya, ia berkata, “Bu, dengarkan aku!” atau
seperti seorang karyawan yang memohon belas kasihan atasannya, “Pak,
saya mohon beri saya satu kesempatan lagi. Saya pasti memperbaiki
kesalahan saya. Saya mohon jangan pecat saya.” Inilah yang menjadi kunci
kemenangan Daud juga, ia memohon pada Allah. Ia memohon dengan
gigih dan tiba-tiba, ia mendapati dirinya dipenuhi dengan sukacita. Daud
meletakkan bebannya pada Allah dan ia mengalami hatinya terangkat dari
penjara ketakutan kepada pujian dan penyembahan.
Adegan 4: Permohonan Daud menghasilkan kesegaran di tengah kesesakan (ay. 6)
Daud
dipojokkan oleh musuh-musuhnya, didera sakit-penyakit, dirudung maut,
dan “ditinggalkan” Allah tetapi tiba-tiba ia berbalik arah. Hati Daud
tiba-tiba melonjak, seperti Yohanes Pembaptis yang melonjak dalam
kandungan ketika berjumpa Yesus. Kesedihannya sirna seperti embun yang
diterangi cahaya mentari. Matanya berseri-seri lagi, tangannya mengepal
dengan kekuatan, mulutnya penuh dengan tertawa, dan lidahnya penuh
dengan sorak-sorai,
Tetapi aku, di dalam kasih setia-Mu aku percaya,
hatiku bersukacita di dalam keselamatan-Mu,
aku hendak bernyanyi kepada Tuhan,
karena Ia melimpahkan kebaikan padaku.”
(ay. 6)
Ia
berdiri dan meminyaki rambut kepalanya. Ia mengenakan jubah rajanya
kembali dan mengambil alat-alat musiknya. Daud bernyanyi lagi! Kali ini
lebih girang dari sebelumnya. Ia telah menemukan rahasia besar: kesegaran di padang gurun.
Apa yang membuatnya demikian bersukacita di tengah-tengah kesesakan?
Apakah ia berhasil melupakan masalahnya? Tidak. Apakah dia pasrah saja
dan menolak memikirkannya lagi? Tidak. Apakah dia tiba-tiba mendapat
jalan keluar yang ajaib: musuh-musuhnya tersapu tsunami dan penyakitnya
hilang? Tidak.
Jawabannya adalah, Daud menemukan apa yang disebut dalam bahasa Ibrani “ḥesed āḏōnāy” atau dalam bahasa Inggris, “God’s unfailing love.” Dalam frasa ini terkandung makna loyalitas Allah terhadap suatu perjanjian. “Unfailing love”
yang dimaksud bukanlah emosi semata melainkan sebuah kesetiaan dalam
kasih itu sendiri – sebuah komitmen yang dijalankan dalam sebuah relasi
kasih antara Allah dan umat-Nya.
Daud berjumpa kembali dengan kasih setia Tuhan
Allah. Tabung imannya terisi penuh kembali dengan anak-anak panah
“pengertian akan karakter Allah” dan “kebaikan Allah pada masa lalu.”
Memorinya memanggil kembali ingatan-ingatan tentang kebesaran Tuhan
pada masa lalu. Ia mengingat bagaimana Allah memilih Israel untuk
menjadi umat-Nya dan Ia menjadi Allah mereka. Allah mengeluarkan mereka
dari perbudakan di Mesir, membelah samudera, memimpin di padang gurun
dengan tiang awan dan tiang api, memberi makan manna dan burung puyuh
setiap hari, mengeluarkan mata air dari batu, memberikan kemenangan atas
orang-orang Amon, Filistin, Amalek, Moab, Edom, dan meskipun Israel
gagal dalam memegang janji Allah, Allah tetap setia. Ia mengingat kasih
dan kebesaran Allah pada masa lalu.
Ada sepasang suami istri yang memutuskan untuk bercerai setelah dua puluh tahun menikah. Ketika mengurus pembagian harta “gono-gini”
dan perjanjian finansial, sang suami membongkar sebuah kotak tua yang
berisikan bukti-bukti pembayaran, dan cek-cek yang pernah ditulisnya.
Tiba-tiba ia menggenggam secarik nota berwarna kekuningan karena dimakan
waktu. Nota itu mencatat bukti pembayaran hotel di mana ia dan istrinya
berbulan madu setelah menikah. Ya, bulan madu mereka dua puluh tahun
yang lalu! Kemudian secarik kertas lain, kali ini sebuah bukti angsuran
mobil bekas pertama mereka. Ia juga mendapati sebuah cek pembayaran
rumah sakit untuk biaya kelahiran putri pertama mereka.
Memandangi
kertas-kertas usang tersebut, sang suami terdiam seribu bahasa. Tanpa
sadar air mata meleleh di pipinya. Perasaan tegang sekaligus senang yang
dahulu ia rasakan tatkala menulis sebuah cek untuk membayar angsuran
rumah pertama mereka, kembali memenuhi dadanya. Ingatan itu tiba-tiba
menjadi begitu jelas, seperti hari kemarin. Memori itu terus meluncur:
romantisnya berbulan madu bersama istri tercinta, tegangnya menantikan
kelahiran putri pertama, dan bangganya dapat mengangsur mobil bekas
serta membayar uang muka rumah yang mereka diami sampai hari ini.
Ia
tidak dapat melanjutkan urusannya, ia meletakkan kotak tersebut dan
tanpa menunda menelpon istrinya. Ia berkata, “Kita telah melalui banyak
hal bersama. Banyak hal indah dan ingatan itu masih begitu jelas dalam
ingatanku. Sudah terlalu banyak cinta yang kauukir dalam hidupku.
Kesetiaanmu selama dua puluh tahun tidak dapat dibayar dengan apapun.
Aku … aku ingin kita memulai hubungan kita dari awal lagi.”
Saudara,
memori akan kasih pada masa lalu membawa sukacita yang baru. Inilah
yang Daud rasakan ketika ia berkata, “Tetapi aku, di dalam kasih
setia-Mu aku percaya … Aku mau menyanyi untuk Tuhan,
karena Ia telah berbuat baik kepadaku” (ay. 6b). Ratapan Daud beralih
pada permohonan yang gigih dan setelah itu ia menemukan dirinya berada
di tengah sukacita tatkala mengingat kasih setia Tuhan pada masa lampau.
Allah tidak pernah meninggalkannya sedikitpun. Allah telah berbuat baik
kepadanya seumur hidupnya. Bukankah kedua hal ini cukup untuk
menguatkan kita? Di tengah kesesakan yang dihadapi, Allah tidak pernah
meninggalkan kita dan selama ini Ia telah berbuat baik kepada kita.
Adegan 5: Kita juga bisa tetap segar di tengah kesesakan dengan kembali memohon kepada Tuhan
Apakah
saat ini Saudara berada di “padang gurun” kesesakan? “Padang gurun”
kehilangan orang yang kita kasihi, kegagalan dalam karier, ditinggalkan
kekasih, dikhianati sahabat, sakit yang tak kunjung sembuh, dikeluarkan
dari komunitas, vonis dokter, masa depan yang tidak jelas, dan
serentetan penderitaan yang tidak akan habis disebutkan. Saudara, Anda
dapat tetap bersukacita di tengah semua ini! Anda dapat menenggak
kesegaran di padang gurun. Bawalah beban Saudara di bawah kaki salib
Kristus dengan meratap dan memohon. Tuhan Yesus sudah menanggung semua
derita kita. Oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh (Yes. 53:5). Tuhan
Yesus dapat melepaskan kita dari semua masalah kita. Yesus dan hanya
Yesus. Ia telah mematahkan kutuk atas kita dengan mati di atas kayu
salib menggantikan Saudara dan saya.
Saat
ini, apakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan
atau kesesakan atau penganiayaan atau kelaparan atau ketelanjangan atau
bahaya atau pedang? Dalam semuanya itu kita lebih dari pada pemenang.
Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun
hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang
ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di
atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan
dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus,
Tuhan kita (Rm. 8:35-39).
Saya ingin melanjutkan sedikit kisah dari pengacara yang kehilangan real estate-nya,
seorang putra, dan keempat putrinya. Ketika berlayar dari New York
untuk menjumpai istrinya di Inggris, sang kapten kapal memanggil para
penumpang kapal dan berkata, “Berdasarkan perhitungan yang tepat,
dalamnya laut di bawah Saudara adalah tiga mil dan saat ini kita berada
tepat di titik di mana kapal du Havre bertabrakan dengan Lockhearn dan
tenggelam.” Melihat pemandangan itu, sang pengacara yang bernama
lengkap Horatio G. Spafford kembali ke kabinnya dan menuliskan lirik
sebuah himne yang terkenal,
When peace, like a river, attendeth my way,
When sorrows like sea billows roll;
Whatever my lot, Thou has taught me to say:
It is well, it is well, with my soul,
It is well, with my soul,
It is well, it is well, with my soul.
(Pengkhotbah menyanyikan lagu ini atau meminta seorang yang berbakat menyanyikannya)
Di
tengah badai kehidupan, Allah adalah tempat perlindungan utama. Waktu
Tuhan adalah sempurna, tidak terlambat, tidak terlalu dini. Sambil
menunggu waktu penyelamatan Tuhan, marilah kita menanti sambil memuji
Dia. Tinggikan anugerah-Nya, puji kebaikan-Nya, dan nyanyikanlah lagu
bagi Tuhan yang layak diagungkan. Karena segala perkara dapat kutanggung
di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Flp. 4:13). Tuhan kita
adalah Allah yang hidup, mampu menolong segala persoalan Anda, dan yang
terpenting, Ia mengasihimu. Mari, bawalah pergumulanmu kepada Tuhan hari
ini. Dengan meratap dan memohon pertolongan Tuhan, hati kita akan
dipenuhi kelegaan dan sukacita bagaikan menenggak kesegaran di padang gurun.
Amin
(Dikutip dari buku Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan oleh Danny A. Gamadhi/ http://bennysolihin.blogspot.com)
Terima kasih,khotbah yang menguatkan,menyadarkan,karena dalam keterpurukan kita,dalam kegersangan hidup kita dalam kelelahan jalan kita dalam kekalutan pikiran kita dalam keputus asaan dan kegagalan kita Allah setia,menyertai dan memberi kekuatan kepada kita,Allah datang tepat pada waktunya,Tidak terlalu cepat juga tidak terlambat,itulah yang membuat Indah pada saatnya.Amen.TYM
BalasHapus