Rabu, 14 Maret 2012

Persahabatan Sejati di Dalam Tuhan


Khotbah 1 Samuel 18:1-4
Oleh Sepridel H.T.



Pendahuluan
          Ada dua orang pria yang bersahabat.  Mereka bernama Albert Durer dan Hans.  Mereka ingin sekali masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Masalahnya, mereka tidak mempunyai uang.  Kemudian Hans mempunyai ide untuk mengatasi masalah tersebut.  Hans akan bekerja untuk membiayai kuliah Albert.  Nanti setelah Albert lulus dan menjadi pelukis, maka Albert yang akan membiayai kuliah Hans.  Hans bekerja sebagai kuli bangunan.  Lalu Albert masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Tahun demi tahun pun berlalu.  Akhirnya Albert lulus dari sekolahnya.  Dengan penuh semangat, ia pergi ke rumah Hans.
          Ketika tiba di rumah Hans, ia mengetuk pintu berulangkali, namun tidak ada jawabannya.  Lalu Albert mengintip dari jendela.  Apa yang dilihatnya?  Ternyata Hans sedang berlutut.  Kedua belah tangan sahabatnya itu mengarah ke atas.  Hans sedang berdoa sambil menangis: “Oh Tuhan, tanganku ini.  Tanganku sudah menjadi kaku dan kasar.  Tanganku sudah tidak bisa dipakai untuk melukis.  Biarlah Albert saja yang menjadi pelukis.”  Ternyata pekerjaan Hans sebagai seorang kuli bangunan telah membuat tangannya menjadi kaku dan kasar.  Ia tidak mungkin menjadi pelukis lagi.  Apa yang dilakukan Hans ini tentunya tidak bisa dilupakan Albert seumur hidupnya.  Itulah sebabnya, Albert mengabadikan kasih dan pengorbanan sahabatnya ini dengan membuat suatu lukisan yang diberi nama “Tangan Berdoa” atau Praying Hand yang sangat terkenal itu.
          Saudara-saudara, tentunya kita ingin memiliki sahabat seperti Hans.  Seorang sahabat yang penuh kasih dan rela berkorban bagi kita.  Mungkin kita juga ingin supaya kita menjadi sahabat yang terbaik bagi sahabat kita.  Persahabatan antara Albert dan Hans adalah satu dari sekian banyak contoh persahabatan sejati yang kita dambakan.  Namun, bagaimana caranya agar persahabatan ini dapat kita miliki?  Persahabatan sejati membutuhkan dasar yang kokoh.  Itulah sebabnya, kita perlu tahu bahwa persahabatan sejati dalam hidup orang percaya adalah persahabatan yang berdasarkan kasih dan kesetiaan.  Saudara-saudara, perikop yang baru saja kita baca ini juga merupakan kisah persahabatan sejati dalam Alkitab.  Mari kita melihat dasar persahabatan Daud dan Yonatan.

I. Kasih (ay 1-2)
Penjelasan
          Saudara, pada umumnya orang bersahabat karena ada kesamaan hobi, minat, sifat, suku, status sosial, tujuan, atau karena saling menguntungkan, dan lain sebagainya.  Hal ini tidaklah salah.  Namun, hal ini tidak boleh dijadikan dasar utama dari sebuah persahabatan.  Persahabatan Daud dan Yonatan tidaklah dibangun di atas dasar yang rapuh ini.
Setelah Daud mengalahkan Goliat, ia dibawa oleh Abner untuk menghadap Saul.  Daud berbicara dengan Saul tentang pertarungannya melawan Goliat.  Yonatan tampaknya juga hadir mendengarkan cerita Daud.  Yonatan tentunya sangat kagum dengan iman Daud.  Kemudian berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud.  Kata “berpadulah” berasal dari bahasa Ibrani niqserah yang berarti “melekat erat kepada sesuatu atau seseorang.”  Kata ini juga yang dipakai untuk menunjukkan kasih Yakub yang sangat mendalam terhadap Benyamin (Kej.44:30).  Sedangkan kata “jiwa” merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani nepes, yang berarti bagian terdalam dalam diri seseorang.  Dengan demikian, berpadu jiwa di sini dapat diartikan sebagai adanya ikatan yang sangat kuat antara jiwa atau roh Yonatan dan Daud seperti seorang saudara.
Tidak cukup sampai di situ, Yonatan juga mengasihi Daud seperti jiwanya sendiri.  Kata “mengasihi” ini berasal dari bahasa Ibrani ahav.  Kata ahav biasanya dipakai untuk menggambarkan kasih serta kemurahan Allah dalam hubungan perjanjian dengan umat-Nya.  Selain itu, kata ini juga dipakai untuk menunjukkan kasih yang mendalam dari orangtua kepada anaknya, misalnya kasih Abraham kepada Ishak dan kasih Yakub kepada Yusuf (Kej. 22:2, 37:3).  Dengan demikian, kasih Yonatan kepada Daud adalah kasih persaudaraan.  Kasih ini timbul karena adanya kualitas iman dalam diri Daud yang dilihat oleh Yonatan.  Baik Daud maupun Yonatan, mereka adalah adalah orang-orang yang mengasihi Allah.  Kasih Allah dalam diri mereka inilah yang menyatukan hati mereka.
Saudara-saudara, kita melihat bahwa betapa dalamnya kualitas kasih antara Daud dan Yonatan.  Namun demikian, ada orang yang menyalahartikan kedalaman kasih ini.  Seorang penafsir yang bernama Tom Horner, mengatakan bahwa kasih antara Daud dan Yonatan ini menunjukkan relasi homoseksual.  Namun, sebenarnya kata ahav tidak pernah dipakai untuk mengekspresikan keinginan atau aktifitas homoseksual.  Dalam Perjanjian Lama, biasanya memakai kata yada (“to know”) dalam pengertian hubungan seksual (Kej. 19:5, Hak. 19:22) dan kata yada ini tidak pernah dipakai dalam relasi antara Daud dan Yonatan.  Dengan demikian, kasih antara Yonatan dan Daud ini adalah murni kasih persahabatan yang mendalam.  
Saudara-saudara, ternyata setelah Daud mengalahkan Goliat, Saul menahan dia di istana.  Ini berarti bahwa sejak saat itu Daud mempunyai tempat dan posisi khusus di istana sehingga ia tinggal di situ.  Dalam pasal 16:21, dikatakan bahwa Saul sangat “mengasihi” Daud.  Saul tetap mengasihi Daud sampai sebelum ia mulai merasa iri hati dan takut kalau jabatan raja akan jatuh ke tangan Daud (ay.8).  Inilah perbedaan antara Yonatan dengan Saul.  Yonatan mengasihi Daud walaupun dia tahu bahwa Daud kelak akan menjadi raja Israel.  Padahal, Yonatan punya alasan yang kuat untuk membenci Daud karena kehadiran Daud membahayakan posisi Yonatan sebagai putra mahkota.  Namun, yang terjadi justru Saul yang merasa terancam dengan kehadiran Daud.  KalauYonatan mengasihi Daud seumur hidupnya, Saul justru membenci Daud seumur hidupnya.  Kasih Yonatan ini terbukti dengan berbagai usaha yang ia lakukan untuk melindungi Daud dari rencana ayahnya untuk membunuh Daud (1 Sam. 19-20).  Daud juga menyatakan bahwa kasih Yonatan lebih baik daripada kasih seorang perempuan.  Dia juga menyebut Yonatan sebagai saudara laki-lakinya ketika ia meratapi kematian Yonatan (2 Sam. 1:26).
Saudara-saudara, dalam Amsal 17:17 dikatakan bahwa “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”  Ayat ini mau mengatakan bahwa sahabat sejati adalah seseorang yang terus-menerus mengasihi sahabatnya dan menjadi orang terdekat yang mendukung ketika mengalami kesusahan.  
Saudara-saudara, Yesus juga mengatakan bahwa tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.  Ia juga menyebut kita adalah sahabat-sahabat-Nya (Yoh. 15:13-14).  Oleh karena Kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, Yesus rela mati di kayu salib.  Bahkan, Yesus mengasihi kita sampai selama-lamanya.  Kasih Allah yang ada di dalam diri setiap orang percaya yang akan menyatukan ikatan persahabatan.  Inilah dasar yang kokoh dalam sebuah persahabatan.

Ilustrasi
          John dan Andy bersahabat sejak kecil.  Saat mereka remaja, pecahlah perang dunia kedua.  Mereka berdua harus ikut wajib militer.  Mereka ditugaskan di garis depan medan perang.  Pada suatu pagi yang berkabut, kapten mereka memimpin mereka untuk menyerang markas musuh.  Namun, sinar matahari telah menghapus kabut itu sebelum mereka sampai di dekat markas musuh.  Mereka pun langsung terlihat oleh musuh.  Musuh segera menembak mereka secara membabi buta.  Mereka kemudian berusaha lari menyelamatkan diri, termasuk John dan Andy.  Sesampainya di markas, ternyata John tidak ada.  Andy segera meminta ijin kepada kaptennya untuk mencari Andy di daerah musuh.  Tentu saja kapten itu menolak karena itu sangat berbahaya.  Bisa jadi John juga telah meninggal.  Namun, Andy tidak menghiraukan larangan kaptennya.  Ia pergi mencari John.
          Setengah jam kemudian Andy kembali dengan berlumuran darah.  Sang kapten pun marah besar dan berkata: “Apa kubilang, John sudah mati dan kau pun tertembak.  Sungguh sia-sia”  Andy berkata: “Tidak sia-sia, karena aku mendengar kata-kata terakhirnya”  Karena penasaran, sang kapten bertanya lagi” “Memangnya apa yang ia katakan sampai kau rela mempertaruhkan nyawamu?”  John berkata: “Saya tahu kau pasti akan kembali mencariku, aku mengasihimu sahabatku”  Dia mengatakannya sambil tersenyum puas.  Oleh karena kasihnya kepada John, Andy rela mempertaruhkan nyawanya untuk mencari sahabatnya ini.  Memang usaha Andy ini tampaknya sia-sia karena Andy tertembak dan John meninggal.  Namun, sebenarnya hal ini tidak sia-sia karena sampai akhir hidupnya, John melihat bahwa Andy, sahabatnya ini tetap mengasihi dia.

Aplikasi
          Saudara-saudara, apakah kasih yang murni ini telah menjadi dasar dari persahabatan kita?  Kualitas kasih ini akan terlihat melalui tindakan kita.  Kasih ini yang bisa membuat kita memaafkan sahabat kita ketika dia menyakiti hati kita, bersukacita ketika dia berbahagia, menangis ketika dia menangis, kagum dan bangga dengan prestasi atau kesuksesannya tanpa membuat kita iri hati, menerima kelemahannya, memberi semangat ketika dia lemah, mendorong dia untuk terus bertumbuh dalam Tuhan, rela memberikan waktu untuk mendengarkan keluhan-keluhannya, memberikan tenaga ketika ia butuhkan, bahkan memberikan uang kita ketika ia mengalami kesulitan keuangan.  Kasih jugalah yang membuat kita berani menegur sahabat kita ketika ia melakukan kesalahan!  Janganlah kita bersahabat demi memperoleh keuntungan pribadi!
Saudara-saudara, lalu apa dasar selanjutnya dari suatu persahabatan?

II. Kesetiaan (ay 3-4)
Penjelasan
          Saudara, Les & Leslie Parrot dalam bukunya yang berjudul Relationships memaparkan hasil survei tentang sifat yang paling dihargai orang dalam sebuah persahabatan.  Hasil survey ini cukup mengejutkan.  Ternyata, kesetiaan menempati posisi paling atas.  Kalau kesetiaan itu tidak ada lagi, maka yang ada hanyalah pengkhianatan!  Kesetiaan ini juga yang kita lihat dalam persahabatan Daud dan Yonatan.
Yonatan sendiri yang berinisiatif mengikat perjanjian dengan Daud karena kasihnya kepada Daud.  Mereka mengikat janji persahabatan di hadapan Allah. (1 Sam. 20:23, 42).  Perjanjian ini menjadi tanda kesetiaan dalam persahabatan mereka.
Seperti Abraham yang memberikan binatang kepada Abimelekh (Kej. 21:27 dst) sebagai tanda kesetiaannya, demikian pula Yonatan memberikan sesuatu kepada Daud.  Ketika Yonatan memberikan jubah, baju perang, pedang, panah, dan ikat pinggangnya, ini menunjukkan bahwa secara resmi ia dengan rela hati menyerahkan hak takhtanya kepada Daud.  Di sisi lain, di dalam Alkitab, ada beberapa bagian yang menggambarkan bahwa perpindahan jubah adalah tanda perpindahan otoritas.  Misalnya: pakaian Harun kepada anaknya, yaitu Eleazar (Bil. 20:24-28) atau jubah Elia kepada Elisa (1 Raj. 19:19-21)  Dengan kata lain, Yonatan menyadari bahwa Daud adalah raja yang diurapi oleh Allah untuk menggantikan Saul.  Yonatan tidak merasa tersaingi oleh Daud karena ia tahu bahwa Allah sendiri yang telah memilih Daud sebagai raja.
Lebih jauh lagi, kesetiaan persahabatan mereka sungguh terbukti.  Yonatan berusaha menolong Daud dari rencana pembunuhan yang dirancangkan Saul (1 Sam. 19-20).  Bahkan Yonatan hampir di bunuh oleh Saul karena ia membela Daud.  Nantinya, karena janji persahabatan inilah, Daud memberikan tanah Saul kepada Mefiboset, anak Yonatan yang cacat kakinya dan Daud membiarkan dia hidup sebagai anak raja serta lolos dari tragedi yang menimpa keluarga Saul (2 Sam. 9; 21:7).  Daud terus setia pada janji persahabatan mereka walaupun Yonatan telah mati.  Dengan demikian, baik Yonatan maupun Daud sama-sama menunjukkan kesetiaan yang tak lekang oleh tantangan maupun waktu.
Saudara-saudara, Edgar De Witt Jones mengatakan: “Sahabat adalah seseorang yang tetap ada bersama kita ketika semua orang pergi meninggalkan kita.”  Hal ini menunjukkan bahwa sahabat sejati adalah seseorang yang terus setia bersama kita dalam keadaan apapun.  Sahabat tidak meninggalkan kita saat kita susah, gagal atau jatuh.  Kalau ada sahabat yang pergi meninggalkan kita saat kita susah, itu berarti bahwa ia bukanlah sahabat sejati kita.
          Saudara-saudara, Yesus adalah sahabat kita yang setia.  Bahkan ketika kita tidak setia kepada-Nya, Ia tetap setia (2 Tim. 2: 13).  Dia tidak pernah meninggalkan kita.  Dia selalu menyertai kita.  Kesetiaan menjadi dasar yang kokoh dalam sebuah persahabatan.  Kesetiaan ini akan teruji ketika ada kesulitan atau tantangan.
Ilustrasi
          Saudara-saudara, Dean Acheson adalah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Harry Truman.  Acheson membuat kegemparan di Amerika Serikat ketika ia mengunjungi sahabatnya Alger Hiss di penjara.  Hiss adalah seorang pengkhianat yang dijatuhi hukuman penjara.  Apa yang dilakukan Acheson ini dinilai bisa membahayakan posisinya.  Namun, ketika para politisi menyalahkan Acheson di depan umum, Acheson hanya berkata: “Seorang sahabat tidak meninggalkan sahabatnya hanya karena ia berada di penjara.”  Sahabat yang setia tidak meninggalkan sahabatnya yang jatuh atau gagal.  Ia tetap mendukung sahabatnya meskipun ia mungkin dikritik oleh banyak orang atau tindakannya itu bisa membahayakan karir politiknya.

Aplikasi
          Saudara, bagaimana dengan persahabatan kita?  Apakah kita setia menemani sahabat kita ketika ia gagal atau tertekan?  Ataukah kita malu mengakui dia sebagai sahabat kita lalu meninggalkan dia?  Ketika sahabat kita sedih karena nilai ujiannya jelek, kita bisa menguatkannya dengan tepukan lembut di pundaknya supaya dia merasakan bahwa kita tetap mendukung dia.  Ketika sahabat kita melakukan kesalahan sehingga ia di cela oleh banyak orang, mungkin kita bisa terus berada di sisinya untuk menolong dia menyelesaikan masalah itu.  Ketika sahabat kita jatuh dalam dosa, kita bisa menegur dia dan terus mendorong dia untuk bangkit dan bertumbuh di dalam Kristus.  Kesetiaan kita bukan teruji ketika kondisi baik-baik saja, tetapi ketika salah satu diantaranya mengalami kesulitan atau kegagalan.  Sahabat sejati akan tetap setia berada bersama kita dalam kondisi apapun. 

Penutup
          Dasar dari persahabatan sejati adalah kasih dan kesetiaan.  Hal ini bisa terwujud jika kedua orang yang bersahabat ini sama-sama mengasihi Tuhan sehingga kasih Tuhan inilah yang menyatukan persahabatan mereka.  Lebih jauh lagi, Yesus adalah sahabat sejati kita.  Kasih dan kesetiaan-Nya terbukti dalam hidup kita.  Selain itu, Ia juga mau supaya kita menjadi seorang sahabat sejati bagi sahabat kita.  Hal ini berati bahwa kasih dan kesetiaan yang menjadi dasar persahabatan itu bukan sekedar diucapkan.  Namun, semua itu harus nampak dalam setiap tindakan kita bahkan hal tersebut teruji ketika masing-masing mengalami kesulitan atau kegagalan.  Hal ini tidak mudah, karena itu berarti kita harus membuang egoisme kita.  Namun, Ia menantang saudara dan saya untuk belajar dari Dia.  Jika kita mau belajar, maka Roh Kudus akan menolong kita sehingga kita boleh menjadi sahabat sejati bagi sahabat kita. (http://bennysolihin.blogspot.com)

Bahaya Individualisme

 
Saudara-Saudara, saya pernah membaca sebuah cerita dongeng dari negeri Tiongkok. Alkisah ada orang tua yang memiliki tujuh orang anak kembar. Setiap anak diberikan kekuatan ajaib oleh orang tuanya. Ada yang memiliki kekuatan api, tanah, air, angin dan lain sebagainya. Suatu kali orang tuanya memberikan suatu tugas khusus kepada anak-anak-Nya. 
 
Untuk menyelesaikan tugas ini, mereka harus bekerja sama dan menggunakan kekuatan mereka masing-masing. Sebelum menyelesaikan tugas tersebut, menguji coba dulu kekuatan mereka. Masing-masing menunjukkan kekuatan mereka. Ketika melihat saudara kembarnya yang lain, yang satu mulai berpikir bahwa kekuatan dirinyalah yang lebih baik dari yang lain. Kemudian masing-masing menganggap diri mereka lebih unggul dari yang lainnya. 
Mereka mulai memandang negatif saudara kembar yang lainnya. Mereka mulai adu kekuatan dan saling melukai. Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan melupakan tugas yang diberikan oleh orang tuanya yang harus mereka kerjakan bersama-sama.
 
Saudara-Saudara, ketujuh anak kembar ini lupa bahwa mereka adalah saudara kembar, yang mempunyai orang tua yang sama. Kekuatan yang berasal dari orang tua mereka. Mereka juga lupa untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebenarnya di mana letak permasalahannya sehingga mereka bisa melupakan semuanya itu? 
 
Masalahnya berawal ketika ketujuh anak kembar ini memiliki pikiran bahwa diri mereka sendirilah yang paling hebat. Ketika mereka mulai mengeksklusifan diri mereka.
 
Saudara-Saudara, dari cerita ini, kita bisa menarik sesuatu yang baik, bahwa dengan mengeksklusifkan diri itu dapat menimbulkan masalah. Kita harus waspada karena kita bisa saja terjebak pada pemikiran yang sama, bahwa bisa saja kita menganggap bahwa saya atau kelompok saya lebih baik dari yang lain. Cerita ketujuh anak kembar ini ingin menyampaikan masalah moralitas saja. Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.

Kasih Sejati

John dan Andy bersahabat sejak kecil.  Saat mereka remaja, pecahlah perang dunia kedua.  Mereka berdua harus ikut wajib militer.  Mereka ditugaskan di garis depan medan perang.  Pada suatu pagi yang berkabut, kapten mereka memimpin mereka untuk menyerang markas musuh.  Namun, sinar matahari telah menghapus kabut itu sebelum mereka sampai di dekat markas musuh.  Mereka pun langsung terlihat oleh musuh.  Musuh segera menembak mereka secara membabi buta.  Mereka kemudian berusaha lari menyelamatkan diri, termasuk John dan Andy.  Sesampainya di markas, ternyata John tidak ada.  Andy segera meminta ijin kepada kaptennya untuk mencari Andy di daerah musuh.  Tentu saja kapten itu menolak karena itu sangat berbahaya.  Bisa jadi John juga telah meninggal.  Namun, Andy tidak menghiraukan larangan kaptennya.  Ia pergi mencari John. 

Setengah jam kemudian Andy kembali dengan berlumuran darah.  Sang kapten pun marah besar dan berkata: “Apa kubilang, John sudah mati dan kau pun tertembak.  Sungguh sia-sia”  Andy berkata: “Tidak sia-sia, karena aku mendengar kata-kata terakhirnya”  Karena penasaran, sang kapten bertanya lagi” “Memangnya apa yang ia katakan sampai kau rela mempertaruhkan nyawamu?”  

John berkata: “Saya tahu kau pasti akan kembali mencariku, aku mengasihimu sahabatku”  Dia mengatakannya sambil tersenyum puas.  Oleh karena kasihnya kepada John, Andy rela mempertaruhkan nyawanya untuk mencari sahabatnya ini.  Memang usaha Andy ini tampaknya sia-sia karena Andy tertembak dan John meninggal.  Namun, sebenarnya hal ini tidak sia-sia karena sampai akhir hidupnya, John melihat bahwa Andy, sahabatnya ini tetap mengasihi dia.

Persahabatan Sejati

 
Ada dua orang pria yang bersahabat.  Mereka bernama Albert Durer dan Hans.  Mereka ingin sekali masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Masalahnya, mereka tidak mempunyai uang.  Kemudian Hans mempunyai ide untuk mengatasi masalah tersebut.  Hans akan bekerja untuk membiayai kuliah Albert.  Nanti setelah Albert lulus dan menjadi pelukis, maka Albert yang akan membiayai kuliah Hans.  Hans bekerja sebagai kuli bangunan.  Lalu Albert masuk ke sekolah seni lukis dan pahat.  Tahun demi tahun pun berlalu.  Akhirnya Albert lulus dari sekolahnya.  Dengan penuh semangat, ia pergi ke rumah Hans. 

Ketika tiba di rumah Hans, ia mengetuk pintu berulangkali, namun tidak ada jawabannya.  Lalu Albert mengintip dari jendela.  Apa yang dilihatnya?  Ternyata Hans sedang berlutut.  Kedua belah tangan sahabatnya itu mengarah ke atas.  Hans sedang berdoa sambil menangis: “Oh Tuhan, tanganku ini.  Tanganku sudah menjadi kaku dan kasar.  Tanganku sudah tidak bisa dipakai untuk melukis.  Biarlah Albert saja yang menjadi pelukis.”  Ternyata pekerjaan Hans sebagai seorang kuli bangunan telah membuat tangannya menjadi kaku dan kasar.  Ia tidak mungkin menjadi pelukis lagi.  Apa yang dilakukan Hans ini tentunya tidak bisa dilupakan Albert seumur hidupnya.  Itulah sebabnya, Albert mengabadikan kasih dan pengorbanan sahabatnya ini dengan membuat suatu lukisan yang diberi nama “Tangan Berdoa” atau Praying Hand yang sangat terkenal itu. 

Saudara-saudara, tentunya kita ingin memiliki sahabat seperti Hans.  Seorang sahabat yang penuh kasih dan rela berkorban bagi kita.  Mungkin kita juga ingin supaya kita menjadi sahabat yang terbaik bagi sahabat kita.  Persahabatan antara Albert dan Hans adalah satu dari sekian banyak contoh persahabatan sejati yang kita dambakan.  Namun, bagaimana caranya agar persahabatan ini dapat kita miliki?  Persahabatan sejati membutuhkan dasar yang kokoh.  Itulah sebabnya, kita perlu tahu bahwa persahabatan sejati dalam hidup orang percaya adalah persahabatan yang berdasarkan kasih dan kesetiaan.  Saudara-saudara, perikop yang baru saja kita baca ini juga merupakan kisah persahabatan sejati dalam Alkitab.  Kisah ini mirip dengan persahabatan Daud dan Yonatan di 1 Samuel 18:1-. 
.

Menanti Dengan Setia

Ilustrasi
Bertahun-tahun yang silam, seorang pemuda dengan kekasihnya datang ke pantai di malam hari untuk saling berpisah.  Sang pemuda hendak berlayar ke negeri yang jauh di seberang lautan dan mengadu nasib.  Ia mengumpulkan kayu bakar, menyalakan api unggun dan membicarakan rencana mereka.  Ia berjanji ketika ia kembali nanti, ia akan mengambil kekasihnya sebagai isteri.  Kemudian sang pemuda meminta kekasihnya untuk menyanyikan lagu kesayangan mereka, lagu cinta yang yang amat mereka sukai.  Setelah saling berucap janji setia untuk menanti, ia meminta kekasihnya untuk menyanyikan lagu itu satu kali lagi.  Ia berkata, “Aku akan kembali untukmu, dan aku akan membawamu ke sebuah rumah yang indah di pulau nan jauh di sana ke mana aku akan pergi.  Tapi sementara aku jauh darimu, aku akan kesepian, mungkin putus asa, dan setiap hari di waktu seperti ini, aku akan memikirkanmu dan mengingat kembali malam perpisahan ini.  Kemudian aku akan kembali di waktu yang sama seperti sekarang, dan ketika aku melihat api unggunmu dan mendengar nyanyianmu, aku tahu bahwa kamu telah setia dan tekun menanti.”  Dengan bercucuran air mata, sang gadis berjanji dan sambil mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya, sang pemuda naik ke kapal dan berlayar di tengah gelapnya malam.  Ia pergi jauh untuk mengadu nasib dan entah apa yang akan ia dapat.
Keesokan malamnya, sesuai dengan janji, sang gadis datang ke pantai itu.  Ia berdiri di sisi api unggun dan menyanyikan lagu mereka sambil memikirkan dengan lembut kekasihnya yang telah pergi di kejauhan laut.  Malam demi malam ia memegang janjinya.  Bulan-bulan pun berlalu, kemudian tahun demi tahun, tapi setiap malam ia berdiri di samping api unggun dan menyanyikan lagu cinta mereka.  Teman-temannya menasehati agar ia berhenti datang ke pantai dan mencari orang lain.  Mereka mengatakan bahwa tentulah sang pemuda telah lupa akan janjinya dan tidak akan pernah kembali.  Tapi sang gadis memiliki keyakinan yang kokoh pada kekasihnya.  “Ia telah berjanji, maka ia pasti akan kembali untukku,” kata sang gadis.  Jumlah tahun yang banyak telah mengukir jejaknya di wajah dan rambut sang wanita, tapi tetap, kekasihnya tak kunjung datang.
Suatu malam, lebih semangat dari biasa, sang wanita datang ke tempat biasa di malam hari.  Harapan telah pupus rasanya, tapi dalam hatinya ia tahu bahwa ia harus setia.  Api meredup tertiup angin pantai, dan iapun mengumpulkan kayu bakar sekali lagi.  Ia menyanyikan kembali lagu yang telah dinyanyikan ribuan kali.  Ketika ia hendak pulang ke rumahnya, ia mendengar suara dayuhan kapal di kejauhan.  Mungkin seorang nelayan yang pulang malam.  Tapi pengharapan cinta wanita ini membuatnya gigih, ia menyalakan api yang baru sekali lagi, dan sekali lagi menanyikan lagu cinta mereka.  Kapal itu mendekat dan semakin mendekat.  Dan pemuda itu yang juga telah menjadi tua datang.  Ia turun dari kapal dan mengenggam tangan kekasihnya, “Aku telah menunggu untuk melihat apimu dan mendengar lagu kita,” ia berkata.  “Dan aku tahu, engkau dengan siap sedia senantiasa menanti.  Marilah kita pergi ke rumah indah yang telah kubangun untukmu di seberang sana.”
Sang wanita menanti dengan siap sedia, karena ia melakukan apa yang diinginkan oleh kekasihnya.  Ia menyalakan api dan menyanyikan lagu mereka.  melakukan apa yang diinginkan kekasihnya karena ia mengenal kekasihnya.  Sebagai orang Kristen, kita juga sedang menantikan Kekasih kita.  Dalam penantian itu, dibutuhkan lebih dari sekadar penantian pasif, yaitu sebuah kesiap-sediaan.  Untuk dapat siap sedia, kita harus tahu apa yang Ia inginkan ketika Ia mendapati kita?  Demi mengetahuinya, kita harus mengenal Dia. 

Mengapa Sebuah Khotbah Tidak Mudah Dimengerti?

Oleh Benny Solihin

Andil Bersama
Pada suatu hari Minggu, sepulang dari kebaktian, seorang ibu ditanya oleh anak gadisnya, “Bu, Pak Pendeta khotbah tentang apa pagi ini?” Ibu tersebut menjawab dengan kesal, “Ibu engga tahu deh dia ngomong apa. Tiap kali Pendeta kita berkhotbah, Ibu engga bisa ngerti. Bicaranya ketinggian.” Sang anak bertanya lagi, “Ketinggian apa ngalor-ngidul?” Dengan gemas si ibu menjawab, “Maksud ibu, ngalor-ngidulnya ketinggian.” Ungkapan serupa ini mungkin telah sering kita dengar walau dengan format kalimat yang berbeda. Intinya, apa yang dikhotbahkan oleh si pengkhotbah dari mimbar tidak bisa dimengerti oleh jemaat. Hal seperti ini pasti sering kita alami, tapi pernahkah Anda berpikir, apa yang menyebabkan sebuah khotbah sering kali tidak mudah dimengerti? Jika kita fair, jawaban pertanyaan ini terletak tidak melulu pada diri si pengkhotbah, tetapi juga pada diri jemaat atau pendengar. 

Andil Pendengar
            Hal pertama yang perlu kita ingat adalah untuk mendengar dan mengerti suatu khotbah dibutuhkan konsentrasi yang baik; konsetrasi yang baik sangat tergantung pada keadaan fisik seseorang. Bila seseorang dalam kondisi fisik yang lelah, mungkin disebabkan kurang tidur karena malam minggu yang terlalu panjang, atau banyak pikiran, stress, maka ia tidak mudah menangkap makna sebuah khotbah. Apalagi, jika ia mendengar khotbah itu di Minggu pagi. Oleh karena itu, perlu suatu wawasan yang baru bagi kita semua bahwa datang ke rumah Tuhan memerlukan persiapan, baik rohani maupun fisik.
            Andil lain dari pendengar yang membuat ia tidak bisa mengerti khotbah yang didengarnya adalah persepsi yang ia miliki terhadap hamba Tuhan yang berkhotbah itu. Persepsi yang tidak baik, misalnya ia sudah mengecap bahwa si pengkhotbah bukan seorang pembicara yang baik, membuat ia, entah sadar atau tidak sadar, enggan untuk mendengar firman yang akan dikhotbahkan. Hasilnya? Tentu saja ia pulang dalam ketidakmengertian. Terlebih lagi bila persepsi negatif itu sudah bersangkut-paut dengan karakter si pengkhotbah, maka sudah dapat kita duga bahwa pendengar itu akan pulang bukan hanya dengan membawa kesia-siaan, tapi juga segudang gerutuan. Iblis sangat pandai mencuri benih firman Tuhan dari diri kita, bahkan sebelum benih itu kita dengar ia sudah mencurinya dengan kunci palsu yang bernama persepsi negatif. Mengingat hal ini, perlu bagi kita untuk datang lebih awal dalam kebaktian yang kita ikuti, guna menenangkan diri dalam saat teduh sekaligus memohon supaya Tuhan membersihkan hati kita untuk siap menerima firman Tuhan, terlepas dari siapa pun yang menyampaikannya.
            Faktor terakhir yang sering tidak disadari oleh jemaat atau pendengar tentang mengapa ia tidak mengerti sebuah khotbah adalah pengetahuan iman Kristennya tidak bertumbuh. Pengetahuan iman Kristen meliputi pengetahuan tentang Alkitab dan doktrin-doktrin kristiani. Salah satu ciri seorang Kristen yang bertumbuh adalah mempunyai kerinduan dan disiplin untuk membaca Alkitab dan buku-buku Kristen yang membangun.  Pengetahuannya akan Allah tidak pernah berhenti, tetapi terus berkembang. Pengetahuan inilah yang memberikan kepadanya kemudahan untuk dapat mengikuti dan mengerti apa yang dikatakan oleh seorang pengkhotbah. Sebagai contoh, suatu hari seorang pengkhotbah di sebuah persekutuan pemuda dengan begitu antusias selama 45 menit mengkhotbahkan tentang kefrustrasian Musa terhadap bangsa Israel yang menyembah patung anak lembu emas. Seusai persekutuan, seorang pemuda bertanya dengan lugunya, “Pak Pendeta, ngomong-ngomong yang namanya Musa itu siapa sih?” Setelah menjawab pertanyaan itu dengan singkat, sang pendeta pulang dengan perasaan frustrasi sama seperti Musa yang frustrasi terhadap bangsa Israel yang bebal. Ketidakmengertian jemaat dalam mendengar suatu khotbah mungkin juga terjadi bukan karena khotbah itu rumit dan tinggi, tapi karena pengetahuan iman Kristen jemaat yang tidak memadai sehingga apa yang didengar tidak nyambung sama sekali. 

Andil Pengkhotbah
Di pihak lain, sebuah khotbah bisa menjadi sulit dimengerti karena faktor yang ada pada diri si pengkhotbah itu sendiri. Pertama-tama, pengkhotbah tidak jelas dengan apa yang mau ia sampaikan. Proses awal pembuatan sebuah khotbah dimulai dengan memilih teks yang akan dikhotbahkan. Setelah itu, dilanjutkan dengan menyelidiki dan menafsirkan berita dari teks tersebut dalam konteks pembaca mula-mula, dalam hal ini adalah orang Yahudi, khususnya dalam Perjanjian Lama, dan Gereja, khususnya dalam Perjanjian Baru. Pada tahap ini seorang pengkhotbah perlu belajar mendengar suara Tuhan dalam teks yang sedang ia pelajari. Fred Craddock berkata bahwa berkhotbah itu pertama-tama berurusan dengan persoalan mendengarkan. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi bila seorang pengkhotbah belum mendengarkan dengan jelas suara Tuhan, kemudian ia naik mimbar dan berkhotbah. Hasilnya? Jelas, sama-sama tidak jelas; tidak jelas bagi pengkhotbah dan juga tidak jelas bagi jemaat. 
Kejelasan berita teks, yang muncul dari seni mendengarkan, menuntut seorang pengkhotbah merumuskan amanat teks dari bagian Alkitab yang diselidikinya tersebut dalam satu kalimat utuh yang jelas. Ini yang disebut amanat khotbah. Kemudian, dari situ ia membuat tujuan, dan outline khotbahnya. Memang masih ada proses panjang yang harus dilalui oleh seorang pengkhotbah sebelum ia sampai pada suatu naskah khotbah yang utuh, namun demikian perumusan amanat khotbah, tujuan, dan outline sudah mengarahkan pikiran seorang pengkhotbah untuk berbicara dengan jelas. Mungkin beberapa pengkhotbah merasa cukup dengan ide samar-samar yang ada di benak mereka pada waktu mereka akan berkhotbah, selebihnya mereka mengadalkan pimpinan Roh Kudus. Pertanyaan kita adalah mengapa mereka tidak minta pimpinan Roh Kudus untuk mempersiapkan diri mereka beberapa hari sebelum mereka naik ke mimbar, ketika mereka berada dalam ruang belajarnya atau mereka? Kita perlu kritis membedakan antara ketergantungan yang penuh kepada Roh Kudus dan kemalasan hamba Tuhan untuk duduk mendengarkan suara “Tuannya.” Hamba Tuhan yang demikian mungkin perlu mendengar apa yang Haddon Robinson katakan, “Para pengkhotbah sering menilai terlalu tinggi keantusiasan jemaat dalam mendengar khotbah mereka, tetapi sering menilai terlalu rendah kecerdasan jemaat akan firman Tuhan.”
Hal lain yang membuat sebuah khotbah sukar dimengerti adalah bahasa yang digunakan oleh si pengkhotbah. Bahasa adalah sarana penyampaian ide sekaligus power yang mampu mengubah hidup seseorang. Allah menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan maksud-Nya dengan bahasa. Pada Yohanes 1:1, Yesus disebut Firman (logos = word). Yesus datang ke dalam dunia dan mengubah banyak orang dengan kata-kata-Nya. Dengan kata-kata-Nya Ia menyembuhkan orang sakit, menenangkan angin ribut, membangkitkan orang mati, dan mengampuni orang berdosa. Ia menggunakan bahasa yang penuh kuasa dan komunikatif. 
Bahasa yang komunikatif adalah bahasa yang hidup dan bisa dimengerti oleh kedua pihak, baik oleh si pembicara ataupun para pendengar. Dengan kata lain, pembicara dan pendengar menggunakan kosakata yang sama. Sebagian pengkhotbah, entah sengaja atau tidak sengaja, mempunyai kecenderungan menggunakan kata-kata yang begitu wah (yang dalam pengertian si ibu tadi adalah ngalor-ngidulnya ketinggian) sampai-sampai jemaat bingung apa maksudnya. Mungkin sebagian pengkhotbah melakukan hal itu tanpa sadar; tetapi sebagian lainnya melakukan dengan kesadaran penuh untuk mendatangkan nilai tambah bagi dirinya dengan mencoba memberi kesan kepada pendengar bahwa ia mengerti banyak tentang teologi. Padahal dengan melakukan hal seperti itu ia sedang menghalangi pendengar untuk mengerti khotbahnya. 
Ahli-ahli komunikasi tidak pernah berselisih dalam mengatakan bahwa seorang pembicara harus berbicara dengan bahasa pendengar jika si pembicara ingin didengar, dimengerti, dan bisa mempengaruhi orang yang mendengarnya. Pernahkah Anda bertanya kepada seorang astrolog tentang apa yang disebut “bintang jatuh” itu, dan kemudian ia menjelaskan kepada Anda tentang berlaksa-laksa bintang di langit beserta segala riwayatnya dalam bahasa Astrologi? Atau seorang ahli komputer yang menerangkan kepada Anda dengan bahasa program yang rumit ketika Anda bertanya mengapa komputer Anda sering hang. Bagaimana perasaan Anda ketika mendengarkan begitu banyak kosakata asing muncul dan Anda tidak mengetahui artinya? Seperti itulah yang terjadi dengan para pendengar ketika mereka sedang mendengarkan khotbah yang banyak menggunakan bahasa wah. Harus kita akui bahwa banyak kata teologis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pun artinya masih belum jelas bagi kebanyakan orang Kristen. Kata-kata seperti “karunia,” “nubuat,” “penebusan,” “pengudusan,” “mezbah,” “tabut Allah,” “hari Sabat,” “tahun Yobel,” mungkin artinya dimengerti secara samar-samar. Apalagi kata-kata seperti “sanctification, incarnation, Eksistensialisme, Liberalisme, Postmodernisme, saya percaya tidak banyak jemaat yang paham tentang hal itu. Untuk itu, para pengkhotbah perlu memikirkan secara serius bagaimana cara menyampaikan firman dengan lebih masuk ke bahasa pendengar.
Sementara sebagian hamba Tuhan mencoba untuk membuat hal-hal yang sederhana menjadi rumit dalam khotbah mereka, dalam Injil, Tuhan Yesus telah mencontohkan bagaimana Ia menceritakan hal-hal tentang Kerajaan Surga yang begitu rumit dengan bahasa yang sederhana dari kejadian sehari-hari pada saat itu. Ia berkata, “Hal Kerajaan Surga seumpama orang yang menabur benih yang baik di ladangnya.” Atau “Hal Kerajaan Surga seumpama harta yang terpendam di ladang.” Ia berbicara dari sudut yang telah dikenal akrab oleh pendengar, seperti ladang, gembala, domba, kebun anggur, bunga bakung di ladang atau burung-burung di langit.  Sehingga tidak heran dalam Matius 7:28-29 dicatat tentang kesan pendengar-Nya, “Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa ….” Salah satu kuncinya adalah Ia berbicara dengan bahasa pendengar, sebab bagaimana mungkin mereka dapat mengatakan bahwa Ia mengajar dengan penuh kuasa jika mereka tidak mengerti apa yang Ia katakan. 
Yang perlu kita cermati secara kritis adalah membedakan antara bahasa yang rumit dan pemikiran yang mendalam dari sebuah khotbah. Khotbah yang mempunyai pemikiran mendalam dan berbobot tidak selalu menuntut bahasa yang rumit sebagai media komunikasinya. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang rumit tidak pernah identik dengan khotbah yang mengandung pemikiran mendalam dan berbobot. Membuat yang sederhana menjadi rumit bukanlah pekerjaan yang sulit, tetapi membuat yang rumit menjadi sederhana adalah pekerjaan seniman besar. Tuhan Yesus telah memperlihatkan seni berkhotbah yang tiada taranya: sederhana, gamblang, dan mengena.

Sama-sama Introspeksi Diri
            Mendengar sebuah khotbah yang kita tidak mengerti apa pesan yang mau disampaikan dapat membuat kita pulang dari gereja bukan dengan membawa shalom atau damai sejahtera tapi pulang dengan membawa sungut-sungut.  Tidak jarang kita menyalahkan pengkhotbahnya.  Di pihak lain, pengkhotbah juga bisa berdalih bahwa kesalahan bukan terletak di atas pundaknya, sebab jemaat tidak mau belajar makan makanan yang keras.  Akhirnya, kedua belah pihak tidak belajar sesuatu apapun untuk memperbaiki keadaan yang tidak baik itu.  Perlu kita sadari bahwa seorang pengkhotbah memerlukan pendengar; demikian juga jemaat memerlukan pengkhotbah.  Tuhan mengutus hamba-hamba-Nya untuk berkhotbah menyampaikan suara-Nya dan Ia memerintahkan jemaat-Nya untuk berkumpul dalam rumah ibadah dan mendengarkan suara-Nya. Kedua belah pihak saling membutuhkan dan terikat pada Allah yang satu; keduanya mempunyai keinginan yang sama: pengkhotbah ingin khotbahnya dapat dimengerti dan jemaat ingin dapat mengerti khotbah hamba Tuhannya. Bila sebuah khotbah tidak bisa dimengerti, biarlah masing-masing kita mengintrospeksi diri sebelum menjatuhkan kesalahan kepada pihak lain.  Semoga Roh yang sama memimpin kita untuk memperbaiki setiap kelemahan kita. (http://bennysolihin.blogspot.com)

Senin, 05 Maret 2012

Nikmati Penyakitmu

Pdt. Bigman Sirait
PTIDAK ada orang yang mau sakit. Apalagi orang modern yang hanya ingin bisa hidup serba mudah dan sistematis, akhirnya benci terhadap  penyakit. Kemajuan teknologi membuat orang mengubah konsep hidupnya. Orang-orang jaman dulu sangat  familiar dengan kepahitan dalam kehidupan, sehingga dalam menyikapi penyakit pasti jauh berbeda dibanding orang-orang masa kini. Jadi, kalau orang-orang jaman sekarang disuruh “menikmati” penyakit, sudah pasti tidak akan ada yang mau.
.
Orang-orang modern tidak akan tersenyum jika sedang sakit. Tidak heran jika banyak orang Kristen yang mengatakan bahwa penyakit itu dari setan, maka harus didoakan dengan menumpangkan tangan atau ditengking. Mereka tidak rela menerima penyakit itu dengan lapang dada. Penyakit itu akan selalu datang menghampiri semua orang, sekalipun sudah berusaha dengan segala cara dan upaya untuk menghindari penyakit, lewat cara hidup cara makan, dsb. Maka tiada jalan lain bagi kita untuk “menikmati” saja penyakit itu.

Dalam 2 Korintus 12: 7–10, diceritakan tentang Rasul Paulus yang bergumul sehubungan dengan adanya duri dalam dagingnya. Dikatakan bahwa penyakit dalam tubuh Paulus, yaitu duri dalam dagingnya, memang sengaja diijinkan oleh Tuhan. Paulus diijinkan Tuhan untuk menderita penyakit tersebut yang terus ada sampai akhir hayatnya. Penyakit ini menjadi satu kesaksian yang indah, yang diijinkan Tuhan  supaya Paulus tidak memegahkan diri atau terjerumus pada keadaan yang bisa saja membuat dia menjadi sombong. Bahwa penyakit itu diperlukan oleh Paulus, hal ini harus dipahami. Mungkin kita berpikir bahwa penyakit tersebut harus dibuang, tetapi Paulus justru merasa perlu menyimpan penyakitnya. Sebab dia sadar kalau penyakit yang diijinkan itu pun untuk menyatakan kemuliaan Allah.
.
Dalam ayat 9, Paulus meminta kesembuhan tapi Tuhan mengatakan, “Cukup kasih karunia-Ku bagimu, karena dalam kelemahanmu, kuasa Tuhan menjadi nyata.” Itu lebih baik bagi Paulus, karena dalam kelemahan, hadirnya kekuatan Allah adalah lebih baik daripada kekuatan dosa yang hadir. Dalam ayat 10, Paulus mengatakan bahwa ia senang dan rela dalam kelemahan.

Waktu kita menyadari bahwa penyakit itu merupakan kehendak Allah, maka kita menemukan satu momentum yang membuat kita merasakan itu sebagai sebuah kenikmatan dan kesenangan. Dengan demikian kita rela menanggung semua rasa sakit itu. Jika penyakit membuat orang lain sedih, maka kita tetap tersenyum di kala menderita sakit. Penyakit itu diperlukan, dan diijinkan Tuhan dalam sepanjang hidup kita. Jika kita sakit, bukan berarti Tuhan tidak mendengar doa kita, tetapi juga bukan berarti setiap penyakit itu kehendak Allah. Yang kita bicarakan saat ini adalah penyakit yang berkaitan dengan kehendak Allah sehingga Allah mengijinkan penyakit itu terjadi. Karena itu perlu kita menyadari hikmat dari Tuhan, bukan buru-buru mencari kesembuhan yang  akhirnya membuat kita tidak bisa menikmati penyakit yang Tuhan berikan itu. Tapi kalau penyakit timbul karena salah sendiri, maka belajarlah baik-baik dan berani menanggung risiko.

Kita juga harus ingat bahwa penyakit bukan aib. Penyakit bukan aib, jika sesuai kehendak Allah. Tetapi kalau tidak sesuai dengan kehendak Allah, itu salah sendiri, obati sendiri lalu minta ampun pada Tuhan. Misalnya hujan sedang turun, tetapi kita tetap keluar rumah tidak memakai payung. Lain halnya jika mau pergi ke pelayanan, tidak memakai payung karena memang tidak punya, maka itu merupakan bagian dari kesulitan penderitaan kita. Dapat dikatakan bahwa kondisi seperti ini merupakan salib yang harus dipikul karena ada kepentingan yang lebih serius untuk dikerjakan sementara fasilitas seperti payung tidak punya.

Proses pembentukan
Penyakit bukan kematian yang ditakuti. Dalam Filipi 1: 21 dikatakan: Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan, lalu kenapa kita harus takut jika sedang sakit? Penyakit bukan kematian yang harus ditakuti, bahkan kematian pun tidak perlu ditakuti.  Ini harus dipahami. Menikmati penyakit itu bukan masalah, tetapi sikap kita terhadap penyakitlah yang menjadi masalah. Kenapa? Karena kita ingin kehendak kita yang jadi supaya sembuh bukannya kita memahami kehendak Allah bahwa penyakit itu harus kita alami. Dan karena kita ingin kehendak kita yang jadi, akhirnya kita  marah dan meragukan Tuhan.

Kita harus sadar bahwa penyakit merupakan proses pembentukan. Jika dipahami, penyakit merupakan proses pembentukan, memberikan pertumbuhan iman. Teta-pi sebaliknya jika kita me-lihat penyakit itu sebuah permasalahan, maka iman tidak bertumbuh. Bahkan penyakit adalah sebuah kehormatan,  kalau kita sanggup menanggungnya di dalam Tuhan. Seperti kata Paulus, “Aku senang dan rela dalam kelemahan, di dalam siksaan, dalam kesukaran dan dalam penganiayaan oleh karena Kristus.”

Karena itu mari kita mengubah konsep yang salah agar kita tidak menyamarkan berkat-berkat yang diberikan Tuhan sebagai sesuatu yang harus menjadi milik orang percaya. Berkisahlah tentang sukses:  sukses berbuah dengan Tuhan, sukses menanggung kesulitan yang ada, sukses hidup jujur, sukses berjalan pada jalan yang benar, sukses tidak berkompromi dengan dunia. Harta itu relatif, bisa ada hari ini, besok tidak ada. Semua orang dunia juga mencari harta benda, mencari kesembuhan. Tetapi yang dimiliki Allah lebih daripada itu yaitu kebenaran dan ketenangan dalam hidup dan dalam jiwanya yang bebas yang tidak dapat ditekan oleh apa pun. Itulah yang penting. Inilah konsep kristiani.

Belajarlah, mungkin Tuhan mau memberikan suatu kesempatan kepada kita yang dapat dipahami sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan paradigma baru tentang penyakit di dunia. Dunia ini sakit dalam segala-galanya. Karena itu mari kita beri paradigma baru pada dunia ini dengan berkata: Jangan menangis pada waktu sakit. Karena apa? Karena waktu sakit pun kita bisa senang, bahkan menikmatinya.

Jika kita sedang sakit, berdoalah agar Tuhan menolong. Dengan pertolongan Tuhan itu kita mengejutkan dunia. Dunia terkejut, karena dalam keadaan sakit pun kita tetap bersukacita dan tersenyum. Jangan mengharapkan kesembuhan hanya untuk bersaksi bahwa kita sembuh karena Tuhan. Dalam keadaan sakit pun kita bisa bersaksi dan menjadi alat yang luar biasa. Nikmatilah penyakit dalam paradigma baru dan tersenyumlah dalam kelemahanmu itu, karena itulah yang membangkitkan dan menumbuhkan imanmu. v
(Diringkas dari kaset khotbah oleh Hans P Tan/http://reformata.com/)

Sabtu, 03 Maret 2012

Absennya Allah Dalam Persoalan Hidup Kita

Khotbah Mazmur 42:1-6
Oleh Benny Solihin


Pengantar
Mazmur 42 dan 43 sebenarnya adalah satu mazmur. Ayat 10cd dari pasal 42 sama dengan ayat 2bc dari pasal 43. Tambah lagi, refrain kedua mazmur ini juga sama, yaitu ayat 6, 12, dan 43:5. Namun, karena keterbatasan tempat dan waktu,  khotbah ini hanya berfokus pada  pasal 42:1-6 saja.

Pendahuluan
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Itulah pribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam kehidupan seorang ibu yang saya akan cerita ini. Dulu suaminya adalah seorang pengusaha. Mereka hidup bahagia dan berkecukupan. Suatu hari suaminya menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan. Semua usahanya dilepaskan dan dia menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi. Setelah lulus, suaminya melayani sebuah gereja yang sederhana. Income mereka menurun drastis, pengeluaran membengkak, bukan karena mereka bertambah boros, melainkan karena hati mereka tidak pernah bisa tahan melihat jemaat yang berkekurangan.
Pada suatu pagi, suaminya berpamitan untuk pergi pelayanan ke suatu daerah. Tiga jam kemudian, ia menerima kabar bahwa suaminya mendapat kecelakaan, tertabrak sebuah bus yang ngebut dengan kecepatan tinggi. Suaminya terlempar dan meninggal seketika. Tragisnya, menurut beberapa saksi mata, suamiya tertabrak saat menolong seorang pengendara sepeda motor yang menjadi korban tabrak lari. Setelah pemakaman selesai, ibu ini masih berpikir bahwa Allah memiliki rencana lain bagi dirinya. Ia tampak begitu tabah.
Beberapa bulan setelah suaminya meninggal, putri pertamanya, seorang importir alat-alat rumah tangga,  mengalami masalah. Ia ditipu oleh rekan bisnisnya sehingga hampir seluruh modalnya habis, bahkan ia harus menjual rumah dan mobilnya untuk membayar hutang-hutang perusahaannya. Rumah tangga putrinya pun tergoncang dan  berakhir dengan perceraian. Hati ibu pendeta ini tercabik melihat badai kelam yang menimpa putrinya. Namun, ia merasa harus tetap tegar agar dapat menguatkan iman putrinya.
Namun, rupanya kesusahan belum berhenti mengikuti hidup ibu pendeta ini. Suatu hari, ia mendapati putranya yang kuliah di semester terakhir muntah-muntah dan seluruh tubuhnya mengigil di kamarnya. Segera ia melarikan ke rumah sakit. Betapa terkejutnya ia ketika dokter mengatakan bahwa putranya sedang sakau dan telah menjadi pecandu berat narkoba. Hati ibu pendeta ini hancur. Demi putranya, ia terpaksa menjual rumahnya untuk membiaya rehabilitasi putranya dan tinggal di rumah kontrakan yang kecil. Setelah setengah tahun di pusat rehabilitasi, anaknya dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang. Namun sebulan kemudian, ia ditangkap polisi dengan tuduhan sebagai pengedar narkoba. Pengadilan menjatuhinya hukuman tiga tahun penjara. Hati ibu manakah yang tidak akan patah mengalami persoalan seperti ini? Namun, ia masih berharap bahwa Tuhan akan memulihkan keadaan anaknya.
Kehidupan ibu pendeta ini semakin susah. Perekonomiannya morat-marit. Saudara-saudara kandungnya yang tidak seiman mencemoohkan dia sebagai orang kurang berhikmat karena mengizinkan suaminya menjadi hamba Tuhan. Jiwanya semakin tertekan dan kesehatannya menurun.  Keadaan ginjalnya yang sejak dulu lemah, mulai sering kambuh. Beberapa kali ia harus ke luar masuk rumah sakit. Sampai akhirnya, ia gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah seminggu sekali. Runtuhlah seluruh kekuatannya.  
Tengah malam di ranjang rumah sakit, tangisnya pecah. Ia tidak kuat lagi menanggung beban yang terlampau berat. Ia menjerit memanggil-manggil nama suaminya, bukan Allah. Ia sudah terlalu kecewa kepada Allah; baginya Allah tidak dapat dipercaya. Allah kejam membiarkan semuanya terjadi, padahal Dia dapat mencegahnya. Dalam tangisannya ia mengajukan satu pertanyaan kepada Allah, “Di manakah Engkau, Tuhan?”  Tak ada jawaban sama sekali. Ibu pendeta itu hanya mendengar suara tangisannya sendiri sampai ia tertidur dalam kesunyian dini hari.

Halaman I: Absennya Allah dalam Persoalan Hidup Orang Kristen Masa Kini
Apa yang dialami oleh ibu pendeta tadi merupakan kenyataan hidup yang bisa terjadi pada setiap orang percaya. Tuhan kadang kala tidak mudah ditemui. Pengalaman hidup kita mengatakan demikian. Yang lebih membuat frustrasi, justru di saat-saat kita sangat membutuhkan-Nya, Ia absen dari hidup kita. Sebagaimana seorang anak yang lepas dari tangan bapaknya di tengah-tengah keramaian orang, demikianlah kita. Kita merasa sendirian tanpa pegangan. Allah sama sekali tidak peduli dengan apa yang kita alami. Tak jarang saat kita menghadapi situasi-situasi yang sulit, kita meragukan Allah. Seorang pengubah lagu, James Bignon, mengungkapkannya dengan sangat menyentuh dalam lagunya Answer me. Sebagian liriknya berbunyi demikian:

Answer me, sweet Jesus
Don't you hear me calling you?
I need you lord

Lord, I've run out of words to say
All I can do right now is moan
I cannot pray, like all of the sudden
But let me know my prayer's being heard

Lord, I've held on a long time
And all my actions depends upon you
I’
ve been patient and highly understanding
Now I don't
know what there is left to do

Halaman II: Absennya Allah dalam Persoalan Hidup Pemazmur
Pemazmur yang menulis Mazmur 42 ini juga mengalami pergumulan absennya Tuhan dalam kesulitan hidup yang ia alami. Jiwanya gelisah dan tertekan. Melalui lirik-lirik yang memilukan, ia mengungkapkan perasaan hatinya.  Maka, lahirah Mazmur Ratapan ini.  
Besar kemungkinan, saat itu ia dan orang-orang  Israel lainnya menjadi tawanan kerajaan Babel dan hidup dalam pembuangan di sana.  Bila demikian, kita bisa membayangkan bahwa perlakuan yang tidak manusiawi, seperti kerja paksa, makian, dan cemoohan menjadi bagian hidup sehari-hari mereka. Jiwa mereka tertekan. Kebanggaan bahwa mereka pernah menjadi bangsa yang besar, umat kesayangan Allah, hanya  menjadi kenangan. Bertahun-tahun mereka hidup menderita. Berulang-ulang mereka berseru kepada Allah, memohon kemurahan-Nya, tetapi Allah tak menjawab seolah Dia tak lagi hadir dalam kehidupan umat-Nya.
Kerinduan untuk bertemu dengan Allah melanda hati umat Allah dan kerinduan ini diwakili oleh sang pemazmur dalam ungkapannya, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (ay. 2). Ketika para pelukis mengambil rusa sebagai obyek lukisan, biasanya mereka cenderung memanjakan mata orang dengan menonjolkan segi keindahannya. Namun, dalam simile ini, saya kira pemazmur tidak bermaksud melukiskan rusa yang demikian; tetapi, seekor rusa yang berada di sebuah hutan yang kering kerontang terbakar kemarau panjang. Tak ada lagi daun yang hijau, tak ada lagi kupu-kupu yang terbang, tak ada lagi burung-burung yang berkicauan, dan tak ada lagi rumput yang hijau, selain petak-petak tanah kering dan retak-retak.
Dalam imaginasi saya, rusa itu berjalan dengan gontai sambil menyeret tubuhnya.  Pandangan matanya sayu penuh kekecewaan; perasaannya tertekan dan gelisah. Telah berhari-berhari ia berjuang menahan haus. Kekeringan menyengat tenggorokan dan seluruh jaringan tubuhnya. Tidak ada kebutuhan lain yang ada di dalam dirinya, kecuali menemukan sungai yang berair. Ia sadar, tanpa air hidupnya akan berakhir.  Itulah pelukisan jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan Allah.
Ratapan kerinduannya akan Allah diungkapkan lebih lanjut dengan berkata, “Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ay.3). Sekarang ia melukiskan kerinduannya dengan suatu pengontrasan yang menggugah. Jiwanya yang haus dibandingkan dengan Allah yang hidup. Perkataan “Allah yang hidup” melukiskan bahwa Allah adalah Pribadi yang hidup yang berbeda dengan dewa-dewa Babel yang mati, dan juga menyatakan bahwa Allah adalah sumber kehidupan dari segala sesuatu di mana jiwa pemazmur sendiri bergantung kepada-Nya. Tanpa Allah, ia akan binasa.
Di tengah-tengah keadaan seperti itu ia bertanya, “Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”  Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena kebutuhan yang sangat besar dan mendesak. “Bilakah” atau “Kapankah” menunjukkan bahwa kehausan pemazmur sudah berlangsung demikian lama dan permohonannya telah diajukan berulang-ulang. Namun, respon dari Allah tak pernah ada.
Andaikata mazmur-mazmur dalam Alkitab disertai dengan audio CD atau DVD seperti buku-buku masa kini, niscaya kita dapat menangkap mode pengucapannya sehingga bisa ikut merasakan perasaan pemazmur di balik kata-kata yang ditulisnya. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati. Dalam menafsir mazmur memang diperlukan kecerdasan emosi untuk menerka mode-nya sehingga perasaan pemazmur yang sedang curhat kepada Allah dapat kita ketahui.
Apabila pertanyaan pemazmur, “Bilakah aku boleh melihat Allah?” diekspresikan dengan mode kemarahan atau otoritatif, tentu akan terasa janggal. Nada perintah membuat pemazmur menjadi penguasa dan Allah menjadi bawahannya. Padahal, keadaannya sedang terpuruk dan ia membutuhkan kehadiran Allah. Juga sukar dibayangkan bila pertanyaan ini diekspresikan dengan mode sinis atau pun intimidatif. Jika kita setuju bahwa konteks sejarah mazmur ini adalah masa pembuangan di Babel, pemazmur pasti menyadari siapakah dirinya dan siapakah Allahnya.  Dirinya adalah orang berdosa dan hukuman; sedangkan, Allah adalah Pribadi yang kudus dan berdaulat. Bila Allah tidak berkenan ditemui, tidak seorang pun yang dapat berjumpa dengan-Nya. Jelas, nada intimidatif tidak sesuai dengan konteksnya. Satu-satunya mode yang paling tepat adalah mode permohonan, mode yang mengharapkan belas kasihan seperti seorang pengemis yang mengharapkan sedekah dari seorang tuan yang kaya raya. “Bilakah aku boleh melihat Allah?” lebih mungkin  diucapkan dengan nada minor yang memilukan.
            Sekarang Israel, yang diwakili oleh diri pemazmur, baru bisa menghargai apa artinya bersekutu dengan Tuhan itu. Dulu mereka mengabaikan Allah, tidak menaruh perhatian pada kehadiran-Nya, firman-Nya, teguran-Nya, dan kasih-Nya. Sekarang Israel tiba pada pemahaman bahwa bersekutu dengan Tuhan itu merupakan suatu anugerah. Mereka tidak mempunyai hak apapun  untuk memaksa Allah meresponi mereka.
Pemazmur hanya bisa  mengharap belas kasihan Allah dan meratapi kerinduannya. Ia berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” Di dalam pembuangan, menerima perlakuan yang tidak enak sudah menjadi hal yang umum, mungkin juga, termasuk tekanan untuk menyembah dewa-dewa orang-orang Babel. Ketika pemazmur berusaha mempertahankan imannya, mereka mencemoohkannya, “Di mana Allahmu?” Cemoohan itu menghancurkan hatinya. Bagai anak ayam kehilangan induknya, ia tidak punya tempat untuk berlindung. Karenanya, ia berkata, “Air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Sepanjang hari ia berduka, dirundung kesedihan. Celakanya, Allah pergi entah ke mana.
Daud juga pernah merasakan kehilangan Allah dalam hidupnya, sampai-sampai ia meratap kepada Allah, “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (Mzr. 63:2). Di tengah-tengah kesusahannya, Ayub pun pernah tidak dapat melihat kehadiran Allah. Dalam dukacitanya ia mengeluh, “Sesungguhnya, kalau aku berjalan ke timur, Ia tidak di sana; atau ke barat, tidak kudapati Dia; di utara kucari Dia, Ia tidak tampak, aku berpaling ke selatan, aku tidak melihat Dia” (Ayb. 23:8-9). Bahkan, Yesus Kritus mengalami absennya Allah justru saat Ia sekarat di salib, saat Ia paling membutuhkan penyertaan dan penghiburan-Nya. Di situlah Ia menjerit, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 15:34).
            Kita bisa memiliki pengalaman yang sama seperti mereka, yaitu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Sebagian dari kita mungkin diam-diam menyimpan kepahitan terhadap Allah. Hanya kita merasa  tidak pantas untuk  mengungkapkannya secara terbuka dalam doa-doa kita, ataupun menceritakannya kepada orang-orang dekat kita.  Namun, hal itu pelan-pelan membuat kita semakin jauh dari Allah.
            Saya pikir wajar bila kita pernah merasa kecewa kepada Allah; kita merasa ditinggalkan dan diabaikan oleh Tuhan. Juga wajar bila kita mengeluh dan meratap, mengekspresikan secara verbal perasaan kecewa kita kepada-Nya seperti yang dilakukan oleh pemazmur ini dan ibu pendeta tadi. Saya percaya Allah dapat memahami sepenuhnya kekecewaan, kesakitan, kesedihan, ataupun ketakutan yang kita rasakan. Dia bukan Allah yang mudah tersingung dan pemarah. Namun, jangan cuma berhenti sebatas meratap, iman kita akan terpuruk,  tetapi majulah sambil berharap. Inilah yang dilakukan oleh pemazmur.

Halaman III dan IV:  Belajar dari Pemazmur, Kita mengubah Ratapan Menjadi Genderang Kemenangan

Mengingat masa-masa indah bersama dengan Allah
Setelah sekian lama pemazmur membiarkan jiwanya terpuruk, ia memutuskan untuk tidak membiarkan  keadaannya berlarut-larut. Ia mengarahkan mata imannya kembali kepada Allah dan menembus kegelapan di hadapannya. Karena itu ia berkata, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan” (ay. 5).
Apa maksud perkataannya ini? Rupanya pemazmur ingin mengingat masa-masa indah bersama dengan Allah dulu, sebelum bangsa Israel dijajah dan dibuang ke Babel. Pada waktu itu, mereka seringkali mengadakan perayaan atau kebaktian di Bait Allah, di Yerusalem.  Sebagai salah satu penyanyi dari bani Korah, ia memimpin umat Israel berjalan ke rumah Tuhan. Dalam kepadatan umat yang berduyun-duyun datang untuk bersembahyang, ia berjalan mendahului mereka dengan sorak sorai dan nyanyian syukur, melangkah untuk bertemu dan menyembah Allah. Di sana Allah telah menanti mereka, seperti seorang bapak menanti kedatangan anak-anaknya. Kehadiran dan penerimaan Allah mendatangkan sukacita besar bagi umat-Nya. Allah bukanlah Allah yang dingin, acuh tak acuh, tak peduli pada apa yang dialami oleh umat-Nya. Sebaliknya, Ia adalah Allah yang hangat, menikmati persekutuan, dan penuh perhatian pada umat-Nya.  Inilah saat-saat manis bersama dengan Allah.
Mengenang saat-saat manis bersama dengan Allah penting bagi pemazmur dan juga bagi kita, khususnya saat jiwa kita gundah gulana dan meragukan kasih Allah. Kenangan ini memaksa kita melihat lagi “album foto” kenangan kita dengan Allah. Ada banyak momen-momen indah yang telah kita lewatkan bersama-sama dengan-Nya. Saat-saat di mana kita merasa kagum kepada pribadi-Nya, kasih-Nya, kebaikan-Nya. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Ia adalah Allah yang selalu menepati janji-Nya. Nah, kenangan-kenangan manis inilah yang akan menjadi starting step mengembalikan iman kita kepada-Nya.
Setiap kita pasti mempunyai “album foto” kenangan bersama dengan Allah. Begitu juga dengan saya. Setelah 34 tahun bergaul dengan Allah, “album foto” itu bertambah banyak. “Foto-foto” itu mengisahkan cerita yang berbeda-beda, tetapi pesan yang dikandungnya sama: Allah mengasihi saya. Saya masih ingat tatkala saya baru menjadi orang Kristen, suatu pagi saya mengendarai motor saya untuk mengikuti ujian negara. Di tengah jalan, tiba-tiba motor itu mogok. Saya telah berusaha keras untuk menghidupkannya kembali, tetapi tak berhasil. Keringat menetes membasahi sekujur tubuh saya. Saya melihat jam tangan saya, sepuluh menit lagi ujian akan dimulai. Saya duduk di trotoar dalam kebingungan. Apa yang harus saya perbuat? Kalau saya menitip motor saya pada seseorang yang tidak saya kenal, saya kuatir motor itu akan hilang. Kalau saya mendorongnya sampai ke tempat ujian, saya akan sangat terlambat. Dalam kebingungan terlintas suatu pikiran, “Mengapa tidak berdoa? Bukankah sekarang saya mempunyai Tuhan yang berkuasa atas segalanya?” Namun, saya masih ragu. Saya percaya Tuhan itu Maha Kuasa, tetapi apa urusannya dengan motor saya? Namun, karena tidak ada jalan lain, saya mencoba untuk berdoa, “Tuhan saya mau ujian, tapi motor saya mogok. Mau enggak Tuhan memperbaiki motor saya? Tolong ya, Tuhan. Dalam nama Yesus, Amin.” Segera setelah itu, saya menghampiri motor saya dan mulai menstarterya. Apa yang terjadi? Ajaib, motor itu hidup kembali. Tanpa membuang waktu, saya kebut motor itu dan sampai ke tempat ujian.
Kenangan manis itu saya jepret dalam kamera ingatan saya. Setiap kali saya melihatnya lagi, saya selalu berkata pada diri saya sendiri,  “Tuhan itu sangat mengasihi saya, sampai-sampai Ia rela menjadi montir saya.”  Ini adalah salah satu “foto” kenangan saya bersama dengan Allah. Bila saya melihat “foto-foto” kenangan yang lain, hati saya penuh dengan rasa haru atas kebaikan Allah yang melimpah. Hal ini sangat menolong saya untuk tetap percaya kepada Allah, khususnya saat saya  menghadapi kelamnya kehidupan.
Pada waktu persoalan hidup yang berat dan beruntun datang dalam hidup kita, kebanyakan kita akan cenderung terpaku pada persoalan-persoalan tersebut. Ketika tidak mendapatkan solusinya, kita cenderung  menyalahkan Allah. Kita kecewa kepadanya dan meragukan kasih-Nya. Kita lupa bahwa Ia adalah Allah yang selalu mengasihi kita. Lihatlah kembali “album foto” kenangan Saudara bersama dengan Allah! Masihkah Saudara akan menganggap Ia jahat?

Mengendalikan perasaan dengan pikiran
Hal kedua yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali ialah mengendalikan perasaannya dengan pikirannya. Kepada jiwanya Pemazmur bertanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah dalam diriku?” (ay. 6a).  Dalam diri  pemazmur seolah-olah ada dua pribadi yang saling silang pendapat, yaitu pikiran dan jiwa. Pikiran mewakili pengenalannya akan Allah; sedangkan, jiwa mewakili perasaannya yang berespon terhadap persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Selama ini diri pemazmur dikuasai oleh perasaannya sehingga imannya terombang-ambing.  Namun, setelah membuka kembali album kenangan bersama Allah dan memperoleh keyakinan bahwa selama ini Allah adalah Pribadi yang baik dan setia, ia menegur jiwanya, “Mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah dalam diriku?” Tampak jelas ada nada ketidaksenangan di dalam pertanyaan ini. Walaupun tampaknya Allah absen, tidak peduli, tidak bertindak apa-apa untuk menolong dia dan bangsanya, itu bukan berarti bahwa Allah tidak setia. Pemazmur menyadari bahwa ia tidak boleh dikendalikan oleh perasaannya sendiri.
Setelah Elia memperoleh kemenangan iman yang besar dengan mengalahkan 450 nabi Baal dan membunuh mereka semua, ia dikuasai oleh perasaan takut mendengar acaman pembunuhan yang diberikan oleh Izebel. Segera ia bangkit dan melarikan diri ke Bersyeba, ke padang gurun. Dalam kefrustrasian menanggung tantangan hidup yang berat, ia merasa ingin mati. Elia larut dalam perasaannya. Ia merasa cemas, gelisah, dan sendiri. Pikirannya atau pengenalannya akan Allah dikalahkan oleh perasaannya. Padahal, dengan mata kepala sendiri, ia baru saja menyaksikan  api Tuhan menyambar habis korban bakaran yang menandakan kuasa Allah lebih besar daripada kuasa siapa pun. Pengalamannya bersama dengan Allah itu seharusnya meneguhkan imannya. Tetapi sayangnya perasaaannya lebih banyak berperan, maka terombang-ambinglah dia.
Jerry Bridges, seorang tokoh dari Navigator, berkata, “Ketika kita menghadapi situasi-situasi yang sulit, emosi kita menguasai pikiran kita. Ketika kita merasa Allah sangat jauh, maka Allah akan menjadi sangat jauh. Ketika kita merasa kesepian, maka Allah tidak akan berserta dengan kita.” Tentu saja ia tidak bermaksud mengatakan bahwa keberadaan Allah ditentukan oleh perasaan kita, melainkan betapa riskannya apabila teologi kita ditentukan oleh perasaan kita. Perasaan itu subyektif. Penilaiannya sering didasarkan bukan pada benar atau salah, melainkan mana lebih menyenangkan, lebih nyaman. Lagi pula, ia mudah berubah-ubah tergantung situasi. Oleh karena itu, bila iman kita didasarkan atas perasaan bukan pada pikiran atau pengenalan yang kokoh, sulitlah bagi kita untuk mempunyai iman yang stabil dalam menghadapi badai gelombang hidup kita.
Saya yakin seharusnya teologi kita dibangun atas pengetahuan  akan Allah sebagaimana yang dinyatakan oleh Alkitab. Dari firman-Nya kita mengetahui Allah berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Ini adalah janji Allah. Pengkhotbah Puritan Thomas Lye menjelaskan bahwa dalam bahasa Yunaninya kalimat ini memiliki lima kata tidak, sehingga dapat diterjemahkan demikian, “Aku tidak akan, tidak mungkin membiarkanmu; juga tidak, tidak akan, tidak mungkin meninggalkanmu.” Lima kali Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Dia menginginkan kita memahami kebenaran ini tanpa ragu. Setelah mengetahui kebenaran tentang Allah tersebut, kita harus memutuskan apakah kita akan mempercayai kebenaran ini atau kita akan mengikuti perasaan kita. Jika kita mempercayai Allah, kita harus berkata, “Aku percaya kepada-Mu meski aku tidak merasakan kehadiran dan tidak melihat pertolongan-Mu.”

Menaruh Harapan kepada Allah sebagai satu-satunya sumber pertolongan
Hal ketiga yang diperbuat pemazmur untuk membangkitkan imannya kembali ialah dengan berharap lagi kepada Allah sebagai penolong dan Allahnya. Setelah pemazmur menegur jiwanya yang terombang-ambing, dengan mantap ia memerintahkannya, “Berharaplah kepada Allah!” (ay. 6a). Sekarang pengenalannya akan Allah mulai mendominasi perasaan pesimisnya. Ia bangkit dari perasaan mengasihi diri sendiri dan kembali percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Walaupun doanya belum terjawab, permohonannya belum terpenuhi, dan keadaannya belum berubah, ia beriman bahwa Allah hadir sama seperti ketika dulu di Yerusalem. Itulah sebabnya, ia berkata, “Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku” (ay. 6b). Suatu komitmen telah dibuat, komitmen untuk bersyukur kepada Tuhan seperti dulu. Eugene Peterson menerjemahkan “Allahku, Penolongku” dengan “He Puts a smile on my face, He is my God”  yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi, “Ia menaruh sebuah senyuman di wajahku, Ia adalah Allahku.” Wajah pemazmur yang dirundung ratapan, kini berubah menjadi sukacita karena ia kembali berharap kepada Allah.
Menunggu 11 tahun lahirnya seorang anak dalam pernikahan bukan waktu  yang singkat dan mudah, tetapi akhirnya apa yang diharapkan pasutri ini tiba juga. Betapa tak terkiranya kebahagiaan mereka. Sebut saja nama mereka Naomi dan David, dua orang anak Tuhan yang setia dalam melayani Tuhan. Hati yang penuh dengan luapan syukur mendorong mereka untuk bersaksi di mana-mana bahwa Allah itu kasih dan mukjizat itu nyata dalam diri mereka.
Semuanya berjalan dengan baik sampai memasuki bulan kelima, suatu pagi perut Naomi terasa sakit, pendarahan terjadi, dan suhu tubuhnya meninggi. Segera ia menelpon suaminya dan pergi ke rumah sakit dengan taksi. Atas instruksi dokter kandungan, ia dilarikan ke Unit Gawat Darurat.
Setelah beberapa jam melewati pemeriksaan, USG, dan diinfus, akhirnya dokter dengan sangat hati-hati memberitahukan bahwa bayinya telah meninggal. Melihat kondisi Naomi yang mengkuatirkan, dokter menyarankan kepada David untuk  mengizinkan istrinya dioperasi darurat. Pasutri ini berpelukan sambil menangis. Pengharapan akan hadirnya si kecil hilang sudah.
Paskah operasi, pasutri ini tenggelam dalam dukacita yang panjang. Mereka sungguh tidak siap menerima kenyataan yang menimpa mereka. Hal yang lebih buruk terjadi pada Naomi. Ia tak mampu membendung duka yang selalu bergejolak dalam hatinya. Ada kemarahan kepada Allah dalam hatinya. Baginya sungguh tidak masuk di akal bila Allah yang Maha Kuasa tak mampu menjaga bayinya. Yang benar adalah Allah tak mau menjaganya.
Selama dua tahun Naomi tidak dapat berdoa kepada Tuhan. Ia pun tidak  mau melayani lagi. Sering kali ia bermimpi menggendong bayinya, tersenyum dan tertawa bersama dengannya. Kala ia bangun dan menemukan realita, hidupnya kehilangan harapan.
Berharap kepada Allah di masa-masa sulit, apalagi setelah Allah  tampak mendiamkan kita dalam pergumulan yang panjang, bukanlah hal mudah. Saya percaya itu tidak semudah seperti kita memutuskan akan pergi ke Mall atau tidak. Namun, menjalani masa-masa sulit tanpa harapan, ibarat sebuah sampan yang terkatung-katung tanpa arah di tengah lautan luas dan buas. Harapan kepada Allah adalah keyakinan bahwa apa yang Allah firmankan atau janjikan akan terjadi dalam hidup kita. Harapan berkaitan dengan iman. Ketika kita percaya kepada Allah dengan segala perkataan-Nya, kita mempunyai harapan.
Berharap kepada  Allah tidak berarti kesulitan-kesulitan hidup selesai,  kadang malah memberat. Namun semangat hidup berubah, kita mendapat keyakinan.  Kita tidak lagi seperti orang yang meraba-raba dalam gelap, tetapi berjalan dalam kepastian. Dalam kepedihan Yesus menjerit “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Suatu pertanyaan absah yang lahir dari hati yang tersayat: digantung oleh manusia dan ditinggalkan Allah. Allah, satu-satunya tempat perlindungan yang diharapkan dapat menaungi-Nya, malah memalingkan wajah-Nya. Namun, beberapa saat sebelum hembusan nafas terakhirnya, Ia kembali menyatakan iman dan pengharapan-Nya kepada Allah. Ia berkata, “Bapa, kepada-Mu kuserahkan nyawa-Ku.” Penderitaan dan kematian tidak berlalu, tetapi pengharapan-Nya kepada Tuhan memberi Dia keberanian dan damai sejahtera untuk menjalani semua yang harus Dia jalani. Dalam kalimat terakhir-Nya, “Sudahlah genap”, kita mendapati Yesus telah mengubah nada ratapan-Nya menjadi kemenangan.
Ratapan dukacita Naomi baru berubah menjadi sukacita ketika suatu kali ia berbicara dengan seorang gadis kecil yang baru saja kehilangan adiknya karena leukemia. Gadis itu berkata, “Tante Naomi tahu enggak? Saat adikku sangat menderita dan tak ada dokter yang dapat meringankan sakitnya, Tuhan Yesus datang memeluknya.  Begitu sayang Tuhan sama adikku, lalu digendongnya ia ke sorga.” Tenggorokkan Naomi tersekat sampai-sampai ia tidak dapat berbicara apa-apa. Pemahaman teologi gadis kecil itu membuka selaput mata imannya yang selama ini tertutup dengan kepicikan. Ia tidak pernah melihat seperti gadis kecil ini melihat Allah. Tuhan tidak jahat, Ia baik; Tuhan tidak absen, Ia selalu hadir dan bertindak. Sepanjang perjalanan  pulang, entah bagaimana album kenangan bersama dengan Allah tiba-tiba terbuka dalam pikirannya. Ia melihat lagi satu per satu “foto-foto” itu. Derai air matanya mengalir, hatinya berbisik kepada Tuhan, “Engkau baik, Tuhan!” Ajaib sekali, tiba-tiba ia merasakan pelukan Tuhan. Suatu pelukan yang memberikan rasa damai yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ada air yang mengalir dalam tubuhnya, dan ia sepenuhnya telah terhubung dengan sumber air itu. Pengharapannya terbangun kembali.

Penutup
Pada hari puncak perayaan Pondok Daun, hari yang ke-7, Yesus berdiri di tengah-tengah orang Yahudi dan berseru, “Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum.” Orang-orang Yahudi dalam perayaan tersebut mengharapkan air hujan untuk panen mereka, tetapi Tuhan mengetahui kebutuhan mereka yang paling utama: air hidup yang memberikan kelegaan atas kehausan rohani mereka. Karena itu, Ia mengundang siapa saja yang merasa dahaga dan kekeringan akan hadirat Allah untuk datang kepada-Nya dan menerima kelegaan. Dalam Wahyu 21:6 Yesus berkata, “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang-orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan.” Yesuslah sumber air kehidupan itu sendiri.
Datanglah kepada Yesus! Berharaplah kepada-Nya! Jangan biarkan diri kita berlarut-larut dalam kesedihan, hidup kita akan hancur! Tetaplah percaya dan berharap  kepada Allah sebagai penolong kita meskipun Ia tampak absen di tengah-tengah pergumulan hidup kita yang berat. Tiba waktunya Ia akan mengubah ratapan kita menjadi genderang kemenangan.

                                                      Amin



Doa

Tuhan, tak mampu lagi aku hidup
dalam  kehampaan masa silam.
Sekadar berada di suatu tempat
yang lama telah Kaulupakan.
Aku harus bangkit ... sekali lagi.
Bukan lagi untuk berkubang dalam kepedihan
tapi untuk mengubur masa lalu yang sudah mati;
rasa bersalah yang semu atas kegagalan
yang masih kutanggung hingga hari ini.

Tuhan, berilah aku keberanian
untuk mengatasinya tanpa rasa takut
menghadapinya tanpa kemarahan
dan meninggalkannya tanpa rasa malu.
Berilah aku hikmat
untuk bangkit tanpa mengasihi diri sendiri
percaya tanpa kompromi
dan terus maju tanpa rasa bersalah

Bapa, beri akau pengertian
hingga akhirnya kuperoleh
masa depan yang layak kudapat.
Berdiri teguh dalam imanku;
dan menjawab tantangan.


(Maria Krugh Leaser)

(Dikutip dari buku: Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan oleh Danny A. Gamadhi/ http://bennysolihin.blogspot.com/)